Senin, 05 Januari 2009

A. Pendahuluan
Perekonomian merupakan salah satu saka guru kehidupan negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menyamin kesejahteraan dan kemampuan rakyat. Salah satu penunyang perekonomian negara adalah kesehatan pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang, maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal –tanpa ada pelanggaran, monopoli misalnya– maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak fair, maka keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum. Pemerintah Islam, sejak Rasulullah SAW di madinah concern pada masalah keseimbangan harga ini, terutama pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pandapat mengenai boleh tidaknya negara menetapkan harga. Masing Masing golongan ulama ini memiliki dasar hukum dan interpretasi .Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama tersebut, tulisan ini mengkaji penetapan harga oleh negara -dalam konteks negara secara umum, negara Islam maupun bukan– dalam koridor fikih dengan mempertimbangkan realitas ekonomi secara menyeluruh.Kontroversi Pendapat Ulama Mengenai Penetapan HargaSebagian ulama menolak peran negara untuk mencampuri urusan ekonomi, di antaranya untuk menetapkan harga, sebagian ulama yang lain membenarkan negara untuk menetapkan harga. Perbedaan pendapat ini berdasarkan pada adanya hadis yang diriwayatkan oleh Anas sebagaimana berikut: “Orang orang mengatakan, wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezalimanpun dalam darah dan harta.” (HR. Abu Daud [3451] dan Ibnu Majah [2200]). Asy-Syaukani menyatakan, hadis ini dan hadis yang senada dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematokan harga) merupakan suatu kezaliman (yaitu penguasa memerintahkah para penghuni pasar agar tidak menjual barang barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut). Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas harta mereka sedangkan pematokan harga adalah pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk memelihara kemashalatan umat Islam. Pertimbangannya kepada kepentingan pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih berhak dari pertimbangan kepada kepentingan penjual dengan pemenuhan harga. Jika kedua persoalan tersebut saling pertentangan, maka wajib memberikan peluang kepada keduanya untuk berijtihad bagi diri mereka sedangkan mengharuskan pemilik barang untuk menjual dengan harga yang tidak disetujukan adalah pertentangan dengan firman Allah.Menurut Yusuf Qordhawi, letak kelemahan asy–Syaukani dalam memakai dalil ini adalah: pertama, perkataan, sesungguhnya manusia dikuasakan atas harta mereka, sedangkan pematokan harga adalah suatu pemaksaan terhadap mereka demikian secara mutlak, adalah mirip dengan perkataan kaum syu,aib. Yang benar adalah manusia dikuasakan atas harta mereka dengan syarat tidak membahayakan mereka dan orang lain, karena tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain. kedua bahwa hadis tersebut –seperti disebutkan oleh pengarang kitab Subulus Salam, ash Shanani berkenan dalam masalah khusus atau tentang kasus kondisi tertentu dan tidak menggunakan lafadz yang umum. Di antara ketetapan dalam ilmu ushul fiqh dikatakan bahwa kasus-kasus tertentu yang spesifik tidak ada keumuman hukum padanya (Qardhawi 1997: 466 467).Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa ia berpendapat membolehkan bagi seorang imam untuk mematok harga, namum hadis hadis tentang hal itu menentangkan (Qardhawi 1997-466. Berdasarkan hadis ini pula, mazhab Hambali dan Syafi’i menyatakan bahwa negara tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga. Ibnu Qudhamah al Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab Hambali menulis, Imam (pemimpin pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk, penduduk boleh menjual barang mereka dengan harga berapapun yang mereka sukai. Pemikir dari mazhab Syafi,i juga memiliki pendapat yang sama (Islahi, 1997: 111).Ibnu Qudhamah mengutip hadis di atas dan memberikan dua alasan tidak memperkenankan mengatur harga. Pertama rasulullah tidak pernah menetapkan harga meskipun penduduk menginginkan. Bila itu dibolehkan pasti rosulullah akan melaksanakannya. Kedua menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (zulm) yang dilarang. Hal ini karena melibatkan hak milik seorang, yang di dalamnya adalah hak untuk menjual pada harga berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya (Islahi 1997: 111).Dari pandangan ekonomis, Ibnu Qudamah menganalisis bahwa penetapan harga juga mengindasikan pengawasan atas harga tak menguntungkan. Ia berpendapat bahwa penatapan harga akan mendorong harga menjadi lebih mahal. Sebab jika pandangan dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dagangannya ke suatu wilayah di mana ia dipaksa menjual barang dagangannya di luar harga yang dia inginkan. Para pedagang lokal yang memiliki barang dagangan, akan menyembunyikan barang dagangan. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta barang barang dagangan dan membuatkan permintaan mereka tak bisa dipuaskan, karena harganya meningkat. Harga meningkat dan kedua pihak menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. Inilah alasannya kenapa hal itu dilarang (Islahi 1997: 111). Argumentasi itu secara sederhana dapat disimpulkan bahwa harga yang ditetapkan akan membawa akibat munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Pengawasan harga hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang lebih rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaanya, dan akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama, akan mendorang produksi dalam negeri, mencari pasar luar negeri (yang tak terawasi) atau menahan produksinya sampai pengawasan harga secara lokal itu dilarang. Akibatnya akan terjadi kekurangan suplai. Jadi tuan rumah akan dirugikan akibat kebijakan itu dan perlu membendung berbagai usaha untuk membuat regulasi harga.Argumentasi Ibnu Qudamah melawan penetapan harga oleh pemerintah, serupa dengan para ahli ekonomi modern. Tetapi, sejumlah ahli fiqih Islam mendukung kebijakan pengaturan harga, walaupun baru dilaksanakan dalam situasi penting dan manekankan perlunya kebijakan harga yang adil. Mazhab Maliki dan Hanafi, menganut keyakinan ini.Ibnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga pendapat beberapa ahli fiqih, sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah itu. Menurutnya “kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut mazhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut Syafi’i dan penganut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Hafzal-Akbari, Qadi Abu ya’la dan lainnya, mereka tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu (Islahi, 1997: 113).Kedua, dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga maksimum bagi para penyalur barang dagangan (dalam kondisi normal), ketika mereka telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan mayoritas para ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan olehnya (Taimiyah, 1983: 49).Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan harga, meskipun pengikutnya memintanya, “Itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi konpensasi yang ekuivalen (‘Iwad al-Mithl).“ (Taimiyah, 1983: 114).Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil, jika terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil (qimah al-adl) dari budak itu harus di pertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (lawakasa wa la shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan (lslahi, 1997: 114).Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya, yang dirasa mengganggunya. Ia mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan konpensasi harganya kepada pemilik pohon (Islahi, 1997: 115). Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu.” Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW menolak menetapkan harga adalah “pada waktu itu, di Madinah, tak ada kelompok yang secara khusus hanya menyadi pedagang. Para penjual dan pedagang merupakan orang yang sama, satu sama lain (min jins wahid). Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjual sesuatu. Karena penjualnya tak bisa diidentifikasi secara khusus. Kepada siapa penetapan itu akan dipaksakan?” (Taimiyah, 1983: 51). Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang tak berfungsi sebagai suplaier, sebab tak akan berarti apa-apa atau tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami.Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah sebagian besar berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk situasi. Jadi, Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi, dengan mengatakan, “Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, siapapun yang menghalanginya sangat dilarang.” Faktanya saat itu penduduk madinah tidak memerlukan penetapan harga. (Islahi, 1997: 116).Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan harga. Jika seluruh kebutuhan menggantungkan dari suplai impor, dikhawatirkan penetapan harga akan menghentikan kegiatan impor itu. Karena itu, lebih baik tidak menetapkan harga, tetapi membiarkan penduduk meningkatkan suplai dari barang-barang dagangan yang dibutuhkan, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.Tak membatasi impor, dapat diharapkan bisa meningkatkan suplai dan menurunkan harga.Urgensi Penetapan HargaIbnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga: tak adil dan tak sah, serta adil dan sah. Penetapan harga yang “tak adil dan tak sah” berlaku atas naiknya harga akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.” Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari pasar. Ibnu Taimiyah mendukung pengesampingan elemen monopolistik dari pasar dan karena itu ia menentang kolusi apapun antara orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan pembeli. Ia menekankan pengetahuan tentang pasar dan barang dagangan serta transaksi penjualan dan pembelian berdasar persetujuan bersama dan persetujuan itu memerlukan pengetahuan dan saling pengertian (Islahi, 1997: 117).Kebersaman (homogenitas) dan standarisasi produk sangat dianjurkan, ketika ia membahas pemalsuan produk itu, penipuan dan kecurangan dalam mempresentasikan penjualan itu. Ia memiliki konsepsi sangat jelas tentang kelakuan baik, pasar yang tertata, di mana pengetahuan kejujuran dan cara permainan yang jujur serta kebebasan memilih merupakan elemen yang sangat esensial. Tetapi, di saat darurat, misalnya seperti terjadi bencana kelaparan, ia merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah dan memaksa penjualan bahan-bahan dagang pokok seperti makanan sehari-hari. Ia menulis, “Inilah saatnya pemegang otoritas untuk memaksa seseorang untuk menjual barang-barangnya pada harga yang jujur, jika penduduk sangat membutuhkannya. Misalnya, ketika ia memiliki kelebihan bahan makanan dan penduduk menderita kelaparan, pedagang itu akan dipaksa menjualnya pada tingkat harga yang adil. Menurutnya, pemaksaan untuk menjual seperti itu tak dibolehkan tanpa alasan yang cukup, tetapi karena alasan seperti di atas, dibolehkan.”Dalam penetapan harga, pembedaan harus dibuat antara pedagang lokal yang memiliki stok barang dengan pemasok luar yang memasukkan barang itu. Tidak boleh ada penetapan harga atas barang dagangan milik pemasok luar. Tetapi, mereka bisa diminta untuk menjual, seperti rekanan importir mereka menjual. Pengawasan atas harga akan berakibat merugikan terhadap pasokan barang-barang impor, di mana sebenarnya secara lokal tak membutuhkan kontrol atas harga barang karena akan merugikan para pembeli. Dalam kasus harga barang di masa darurat (bahaya kelaparan, perang, dan sebagainya), bahkan ahli ekonomi modern pun menerima kebijakan regulasi harga akan berhasil efektif dan sukses dalam kondisi seperti itu (Islahi, 1997: 118).Penetapan Harga Pada Ketidaksempurnaan Pasar Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual (arbab al-sila) menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut, merekadiharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara, contoh sangat nyata dari ketidaksempurnaan pasar adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan barang-barang serupa. Dalam kasus seperti itu, otoritas harus menetapkan harganya (qimah al-mithl) untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas melaksanakan kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga yang disukainya, sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk (Islahi, 1997: 119).Dalam poin ini, Ibnu Taimiyah menggambarkan prinsip dasar untuk membongkar ketidakadilan: “Jika penghapusan seluruh ketidakadilan tak mungkin dilakukan, seseorang wajib mengeliminasinya sejauh ia bisa melakukannya. Itu sebabnya, jika monopoli tidak dapat di cegah, tak bisa dibiarkan begitu saja merugikan orang lain, sebab itu regulasi harga tak lagi dianggap cukup.Di abad pertengahan, umat Islam sangat menentang praktek menimbun barang dan monopoli, dan mempertimbangkan pelaku monopoli itu sebagai perbuatan dosa. Meskipun menentang praktek monopoli, Ibnu Taimiyah juga membolehkan pembeli untuk beli barang dari pelaku monopoli, sebab jika itu dilarang, penduduk akan semakin menderita, karna itu, ia menasihati pemerintah untuk menetapkan harga. Ia tak membolehkan para penjual membuat perjanjian untuk menjual barang pada tingkat harga yang ditetapkan lebih dulu, tidak juga oleh para pembeli, sehingga mereka membentuk kekuatan untuk menghasilkan harga barang dagangan pada tingkat yang lebih rendah, kasus serupa disebut monopoli.Ibnu Taimiyah juga sangat menentang diskriminasi harga untuk melawan pembeli atau penjual yang tidak tahu harga sebenarnya yang berlaku di pasar. Ia menyatakan, “Seorang penjual tidak dibolehkan menetapkan harga di atas harga biasanya, harga yang tidak umum di dalam masyarakat, dari individu yang tidak sadar (mustarsil) tetapi harus menjualnya pada tingkat harga yang umum (al-qimah al-mu’tadah) atau mendekatinya. Jika seorang pembeli harus membayar pada tingkat harga yang berlebihan, ia memiliki hak untuk memperbaiki transaksi bisnisnya. Seseorang tahu, diskriminasi dengan cara itu bisa dihukum dan dikucilkan haknya memasuki pasar tersebut. Pendapatnya itu merujuk pada sabda Rasulullah SAW, ”menetapkan harga terlalu tinggi terhadap orang yang tak sadar (tidak tahu, pen.) adalah riba (ghaban al-mustarsil riba) (Islahi, 1997: 120).Musyawarah untuk Menetapkan HargaPatut dicatat, meskipun dalam berbagai kasus dibolehkan mengawasi harga, tapi dalam seluruh kasus tak disukai keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga. Mereka boleh melakukannya setelah melalui perundingan, diskusi dan konsultasi dengan penduduk yang berkepentingan. Dalam hubungannya dengan masalah ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, menurutnya, Imam (kepala pemerintahan), harus menjalankan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al-suq). Pihak lain juga diterima hadir dalam musyawarah ini, karena mereka harus juga dimintai keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga seluruh penduduk. Jadi, keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka.Untuk menjelaskan tujuan gagasan membentuk komisi untuk berkonsultasi, ia mengutip pendapat ahli fikih lainnya, Abu al-Walid, yang menyatakan, “Logika di balik ketentuan ini adalah untuk mencari –dengan cara itu- kepentingan para penjual dan para pembeli, dan menetapkan harga harus membawa keuntungan dan kepuasan orang yang membutuhkan penetapan harga (penjual) dan tidak mengecewakan penduduk (selaku pembeli). Jika harga itu dipaksakan tanpa persetujuan mereka (penjual) dan membuat mereka tidak memperoleh keuntungan, penetapan harga seperti itu berarti korup, mengakibatkan stok bahan kebutuhan sehari-hari akan menghilang dan barang-barang penduduk menyadi hancur (Islahi, 1997: 121).Ia menegaskan secara jelas kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang, tak akan memperoleh dukungan secara populer. Misalnya, akan muncul pasar gelap atau pasar abu-abu atau manipulasi kualitas barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan itu. Ketakutan seperti itu dinyatakan juga oleh Ibnu Qudamah. Bahaya yang sama, juga banyak dibahas oleh ahli-ahli ekonomi modern, karena itu disangsikan lagi, bahaya ini harus ditekan, kalau bisa dihilangkan sama sekali. Harga itu perlu ditetapkan melalui musyawarah bersama dan diciptakan oleh rasa kewajiban moral serta pengabdian untuk kepentingan umum.Penetapan Harga dalam Faktor Pasar Ketika para labourers dan owners menolak membelanjakan tenaga, material, modal dan jasa untuk produksi kecuali dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar wajar, pemerintah boleh menetapkan harga pada tingkat harga yang adil dan memaksa mereka untuk menjual faktor-faktor produksinya pada harga wajar (Jalaluddin, 1991: 103). Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika penduduk membutuhkan jasa dari pekerja tangan yang ahli dan pengukir, dan mereka menolak tawaran mereka, atau melakukan sesuatu yang menyebabkan ketidaksempurnaan pasar, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penetapan harga itu untuk melindungi para pemberi kerja dan pekerja dari saling mengeksploitasi satu sama lain.” Apa yang dinyatakan itu berkaitan dengan tenaga kerja, yang dalam kasus yang sama bisa dikatakan sebagai salah satu faktor pasar (Islahi, 1997: 122). Islahi (1997: 114) akhirnya menyimpulkan bahwa:1. Tak seorangpun diperbolehkan menetapkan harga lebih tinggi atau lebih rendah daripada harga yang ada. Penetapan harga yang lebih tinggi akan menghasilkan eksploitasi atas kebutuhan penduduk dan penetapan harga yang lebih rendah akan merugikan penjual.2. Dalam segala kasus, pengawasan atas harga adalah tidak jujur.3. Pengaturan harga selalu diperbolehkan.4. Penetapan harga hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat.Penetapan Harga Dalam Sistem Perekonomian ModernSecara teoritis, tidak ada perbedaan signifikan antara perekonomian klasik dengan modern. Teori harga secara mendasar sama, yakni bahwa harga wajar atau harga keseimbangan diperoleh dari interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran (suplai) dalam suatu persaingan sempurna, hanya saja dalam perekonomian modern teori dasar ini berkembang menyadi kompleks karena adanya diversifikasi pelaku pasar, produk, mekanisme perdagangan, instrumen, maupun perilakunya,yang mengakibatkan terjadinya distorsi pasar.Distorsi pasar yang kompleks dalam sistem perekonomian modern melahirkan persaingan tidak sempurna dalam pasar. Secara sunnatullah memang, apabila persaingan sempurna berjalan, keseimbangan harga di pasar akan terwujud dengan sendirinya. Namun sunnatullah pula, bahwa manusia – dalam hal ini sebagai pelaku pasar – tidaklah sempurna. Maka dalam praktek, banyak dijumpai penyimpangan perilaku yang merusak keseimbangan pasar (moral hazard). Di Indonesia misalnya, secara rasional, keseimbangan pasar dirusak oleh konlomerasi dan monopoli yang merugikan masyarakat konsumen, penimbunan BBM maupun beras, dan kasus terakhir bebas masuknya gula dan beras impor yang dimasukkan oleh pelaku bermodal besar, sehingga suplai gula di pasar menjadi tinggi dan akhirnya turunlah harga jualnya di bawah biaya produksinya. Kasus ini jelas merugikan petani tebu dan pabrik gula lokal. Dalam ekonomi liberal atau bebas, kasus ini sah dan dibenarkan atas prinsip bahwa barang bebas keluar masuk pasar dan kebebesan bagi para pelaku pasar untuk menggunakan modalnya. Kasus George Soros misalnya, adalah sah dalam mekanisme pasar bebas, di mana pemerintah atau negara tidak berhak melakukan intervensi terhadap pasar.Kasus-kasus di atas, hanya bisa diselesaikan secara adil apabila negara melakukan intervensi pasar, misalnya dengan memaksa penimbun untuk menjual barangnya ke pasar dengan harga wajar, menetapkan harga yang adil sehingga pelaku monopoli tidak bisa menaikkan harga seenaknya. Para ahli ekonomi modern pun menganjurkan negara untuk menetapkan harga dalam kasus-kasus tertentu seperti di atas.Kenaikan harga yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar dalam suatu perekonomian modern, terdiri atas beberapa macam berdasarkan pada penyebabnya, yakni harga monopoli, kenaikan harga sebenarnya, dan kenaikan harga yang disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan pokok. Untuk itu, adalah peran pemerintah untuk melakukan intervensi pasar dalam rangka mengembalikan kesempurnaan pasar, salah satunya adalah dengan menetapkan harga pada keempat kondisi di atas (Mannan, 1997: 153 – 158).Dalam rangka melindungi hak pembeli dan penjual, Islam membolehkan bahkan mewajibkan melakukan intervensi harga. Ada beberapa faktor yang membolehkan intervensi harga antara lain (Jalaludin, 1991: 99–100):a. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus pembeli dalam hal purchasing power. b. Jika harga tidak ditetapkan ketikapenjual menjual dengan harga tinggi sehingga merugikan pembeli. Intervensi harga mencegah terjadinya ikhtikar atau ghaban faa-hisy.c. Intervensi harga melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas karena pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili kelompok yang lebih kecil.Suatu intervensi harga dianggap zalim apabila harga maksimum (ceiling price) ditetapkan di bawah harga keseimbangan yang terjadi melalui makanisme pasar yaitu atas dasar rela sama rela. Secara paralel dapat dikatakan bahwa harga minimum yang ditetapkan di atas harga keseimbangan kompetitif adalah zalim (Karim, 2002: 143). sumber: http://msi-uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=ekonomi&baca=artikel&id=228
Diposkan oleh jahar.com di 23:05 0 komentar Link ke posting ini
Label: Ekonomi Mikro Syariah
Jumat, 2008 Juni 27
Kerangka Terori ekonomi Mikro islam
Bab IPendahuluanTugas pokok dari ilmu ekonomi adalah bagaimana menggambarkan keadaaan sesungguhnya serta memberikan analisis bahkan prediksi tentang fenomena-fenomena ekonomi yang terjadi. Namun tugas ini tidak semudah membalik tangan hal tersebut dikarnakan kekomplekan masalah-masalah manusia, tetapi paling tidak dengan adanya teori, manusia dapat mengambil keptusan yang lebih baik .Ekonomi mikro adalah salah satu cabang dari teori ekonomi yang menitik beratkan bahasannya dengan masalah-masalah dalam skup kecil atau mikro, begitu pula dengan mikro Islam yang menitik beratkan bahasaannya pada masalah tersebut diatas, meskipun begitu ada beberapa asumsi dan aksioma yang bertolak belakang diantara keduanya.A. Definisi dan ruang lingkupEkonomi mikro dapat diartikan sebagai “ilmu ekonomi yang mempelajari atau menitikberatkan pada prilaku dan aktifitas masing-masing unit ekonomi –individu,rumah tangga, dan perusahaan”. Sedangkan menurut definisi yang lain adalah “satu bidang dalam ekonomi yang menganalisis mengenai bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian” .Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa ekonomi mikro menganalisa dan memberikan prediksi bagaimana masing-masing unit saling berinteraksi dalam kegiatan ekonomi, oleh karena itu Teori ekonomi mikro dikenal pula dengan price theory (teori tentang terbentuknya harga) sehingga secara ilustratif ruang lingkupnya dapat digambarkan sebagai berikut:Gambar diatas menunjukan bagaimana hubungan antara konsumen dan produsen serta prilaku masing-masing dalam menentukan permintaam dan penawaran dipasar yang akhirnya membentuk harga baik barang maupun jasa.B. Identifikasi dan metode analisaSebelum membahas lebih jauh mengenai hal ini, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan aksioma dasar tentang prilaku konsumsi (prefences and utility) dan prinsip konsumsi seorang muslim utuk mendapatkan gambaran lebih jelas dalam menganalisa tingkah lalu manusia khususnya seorang muslim.Ada beberapa aksioma yang dikembangkan dalam menentukan pilihan-pilihan rasional individu :1. Completeness (kelengkapan): jika individu dihadapkan dua situasi A dan B maka ia akan senantiasa dapat menentukan secara pasti salah satu dari ketiga kemungkinan berikut ini: A lebih disukai dari pada B§ B. lebih disukai dari pada§ A A dan B sama-sama disukai.§Dalam hal ini individu diasumsikan dapat mengambil keputusan secara konsekuen dan mengerti akibat dari keputusan tersebut, asumsi juga mengarah pada kemungkinan bahwa individu lebih menyukai salah satu dari A dan B.2. Transitivity: jika seseorang berpendapat bahwa A lebih disukai dari pada B dan B lebih disukai dari C maka tentu ia akan mengatakan A harus disukai dari pada C. asumsi ini menyatakan bahwa pilihan individu bersifat konsisten secara internal3. Continuity: jika sesorang menganggap A lebih disukai dari pada B maka situasi yang cocok mendekati A harus juga lebih disukai dari pada BDari aksioma-aksioma dan asumsi diatas dapat dianalisa bagaimana individu dapat membuat tingkatan dari berbagai situasi pilihan atau secara singkat hal tersebut dinyatakan oleh Jeremy Bentham dalam “introduction to the principles of morals and legislation” sebagai utility (nilai guna)Bagitu pula dengan asumsi dan aksioma dalam Islam akan tetapi titik tekannya terkletak pada halal, haram, serta berkah tidaknya barang yang akan dikonsumsi sehingga jika individu dihadapkan pada dua pilihan A dan B maka seorang muslim (orang yang mempunyai prinsip keislaman) akan memilih barang yang mempunyai tingkat kehalalan dan keberkahan yang lebih tinggi, walaupun barang yang lainnya secara fisik lebih disukai. Hal diatas nampak jelas bagaimana pendekatan yang digunakan oleh ekonomi Islam dan konvensional dalam memenuhi kebutuhan seseorang.Oleh karena itu perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima perinsip :1. Prinsip keadilan: syarat ini mengandung arti ganda penting mengenai mencari rizki secara halal dan tidak melanggar hukum firman Allah “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi….(Q.S,n Al-Baqoroh: 169)” selain itu Rasulullah juga bersabda “ 1/3 adalah udara 1/3 makan dan 1/3 adalah minuman” (Al- Hadis)2. Prinsip kebersihan: prinsip yang kedua ini menghendaki makanan yang dikonsumsi harus baik atau cocok untuk dimakan tidak kotor atau menjijikan sehingga merusak selera, sekaligus Rosullah mencontohkan untuk menjaga kebersihan sesuai dengan sabdanya “makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (Tarmidzi, Mishkat) selanjutnya, Jabir meriwayatkan Abu Hamid membawa segelas susu dari Naqi. Rasulullah berkata kepadanya “Mengapa tidak kau tutup gelas itu?letakanlah sepotong kayu diatasnya” (Bukhori). Kemudian ia meriwayatkan dengan bersumber dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda “ Sebelum tidur, matikan lampu, tutup pintu dan tutupilah makanan dan minuman”. Hadis hadis diatas menjelaskan bagaimana Islam memerintahkan untuk senantiasa menjaga kebersihan makanan3. Prinsip Kesederhanaan: prinsip ini mengandung arti dalam melakukan konsumsi tidak boleh berlebih lebihan firman Allah “ Makan dan minumlah dan jangan engkau berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyikai orang-orang yang melampaui batas” selanjutnya firman Allah “ Hai orang-orang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas…” (QS Al- Maidah: 87) arti penting dari ayat-ayat ini adalah menjaga keseimbangan dan kesederhanaan (hidup sesuai dengan kemampuan) dalam konsumsi4. Prinsip Kemurahan hati: dalam hal ini Islam memerintahkan agar senantiasa memperhatikan saudara dan tetangga kita dengan senantiasa berbagi rasa bersama.5. Prinsip moralitas: selain hal-hal teknis diatas Islam juga memperhatikan pembangunan moralitas sepritual bagi manusia hal tersebut dapat digambarkan dengan printah agama yang mengajarkan untuk senantiasa menyebut nama Allah dan bersukur atas karunianya, maka hal tersebut secara tidak langsung akan membawa dampak psikologis bagi pelakunya seperti anti makanan haram baik zat maupun cara mendapatkannya maupun ketenangan jiwa.Dalam mempelajari teori konsumen ada dua pendekatan yang biasa digunakan yakni pendekatan cardinal (pendekatan dengan angka absolut) dan pendekatan ordinal (dengan kurva indeference), kedua pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:a. Pendekatan cardinal:dalam pendekatan nilai guna kardinal manfaat atau kenikmatan yang diperoleh sesorang konsumen dapat dinyatan dengan angka kuantitatif hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut, diasumsikan bahwa barang X dapat memberikan kepuasan yang terukur dalam periode tertentu sehingga dapat digambarkan dalam total utility (nilai guna total) dan marginal utiliy (nilai guna marginal) .Tabel 1: Total utilityUnit barang X yang dikonsumsi per periode waktu Total Utiliy Marginal utility0 0 -1 30 302 50 203 65 154 75 105 83 86 87 47 89 28 90 19 89 -110 85 -411 78 -7Dari tabel diatas dapat dilihat untuk angka 90 pada kolom TU menunjukan tingkat kepuasan tertinggi yang diperoleh konsumen titik ini disebut juga dengan saturation rate sedangkan untuk kolom marginal utility titik tertinggi ada pada angka 30 yang kemudian terus menurus turun hal ini dikenal pula dengan hukum Gossen I, sehingga secara grafis dapat digambarkanGambar 1Gambar diatas dapat dijelaskan setelah pada titik puncak maka konsumen tidak dapat menumbah kepuasannya jika penambahan konsumsi tetap maka yang terjadi justru menrunkan tingkat kepuasan totalnya, untuk memperjelas konsep ini dilustrasikan ketika seseorang merasa haus, dan mendapatkan satu gelas air kemudian diminum sampai habis. Ketika gelas kedua diminum, tingkat kepuasannya berkurang karena sudah dipenuhi oleh tegukan gelas pertama, maka fenomena tersebut disebut pula dengan prinsip nilai guna yang semakin menurun (principle of diminishing marginal utality). Secara matematis hubunga antara TU dan MU adalahTU = f ( Xa, Xb, Xc…Xn) sedangkan MU adalah fungsi turunan dari TU sehingga dapat dituliskan:MU =b. Pendekatan ordinal :pendakatan ini berbeda dengan pendekatan sebelumnya yakni tingkat kepuasan tidak diukur dengan quantitatif melainkan dengan bantuan kurva yang disebut kurva indeveren (Indeveren Curve) dimana kurva ini menggambarkan tingkat kepuasan dua barang (jasa) yang disukai konsumen. Semakin tinggi kurva indeferensi semakin tinggi pula tingkat kepuasan konsumen. Bentuk kurva ini cembung terhadap titik 0 (Convec) menunjukkan kepuasan yang didapat dari mengkonsumsi barang yang pertama. Barang pertama lebih disukai dari pada barang yang kedua. Sehingga secara umum dapat digambarkan:Gambar 2: kurva garis kepuasan (utality)Kurva diatas menggambarkan tingkat kepuasan yang berbeda dari mengkonsumsi barang X dan Y dimana U2 mempunyai tingkat kepuasan lebih besar dibanding dengan U1 hal ini dikarnakan pada garis U2 konsumen bisa mendapatkan barang X dan Y lebih banyak dari U1, dan individu dalam keadaan indiferen disaat barang X dan Y dalam tingkat kepuasan yang sama yakni disepanjang garis utiliy . Sehingga kurva ini mempunyai karakteristik:1). Selera konsumen terhadap barang tertentu dianggap konsisten, akibat dari asumsi ini adalah kurva indeference tidak pernah bersinggungan berpotongan (intersection) satu sama lain.2). Individu atau konsumen lebih menyukai barang dengan jumlah yang lebih banyak dari pada jumlah yang lebih sedikit, sehingga akibat dari asumsi ini adalah kurva indeference berslope negatif , yang merfleksikan prinsip umum dimana individu akan mengorbankan baraang untuk mendapatkan barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.3) kurva U pada gambar diatas juga menggambarkan efek subtitusi antara barang X dan barang Y, misalnya X dan Y mempunyai efek subtitusi 1:2 maka satu kenaikan barang X akan menyebabkan penrurunan dua unit barang Y.setelah mengidentifikasi bagaimana prilaku individu menghadapi berapakah jumlah yang harus dipilih ketika dihadapkan dengan jumlah antara x dan y, maka selanjutnya adalah bagaimana menilai pilihan tersebut jika dimasukan kendala anggaran atau Budget Constrain yakni batas yang diletakan oleh pendapatan pada kombinasi barang-barang atau jasa-jasa yang dapat dibeli individu lebih mudanhya anggaplah bahwa seseorang mempunyai pendapatan I untuk dibelanjakan barang x dan y, anggap pula Px mewakili harga barang x dan Py untuk barang y, sehingga jumlah barang X yang dapat dibeli adalah Px dikalikan jumlah barang X yang akan dibeli (Px.X). demikian pula Py.Y merupakan belanja total pada barang y, karena pendapatan tersedia harus dibelanjakan untuk barang x dan y maka dapat dituliskan dengan rumusI = Px.X + Py.Y (1)Dimana I: pendapatan untuk dikonsumsiPx: harga barang XPy: harga barang Yatau jika dirubah dalam bentuk standar persamaan linier (Y=a+bx) maka persamaan (1) menjadi:Y= - (Px / Py) X + I/ Py (2)dengan persamaan (2) memperlihatkan dengan jelas bahwa jika individu memilih membelanjakan seluruh dananya untuk Y ( berarti, jika X=0) ia dapat membeli I/Py begitu pula dengan Y = 0 maka I/Px. akhirnya slop kendala anggaran ditentukan oleh rasio harga barang-barang tersebut, - Px/ Py dimana hal ini menunjukan efek subtitusi antara barang X dan Y semakin banyak jumlah barang X yang dikonsumsi semakin kecil jumlah barang Y yang dapat diperoleh. secra grafik dapat digambarkanGambar 3: garis batas anggaran dan kurva indeference.Gambar 3 panel (a) menunjukan garis batas anggaran dimana individu hanya mampu membeli sejumlah X dan Y tergantung pada pendapatannya I. sedangkan pada panel (b) menunjukan hubungan antara garis kendala dan titik maksimum kepuasan yang ditunjukan dengan perpotongan kurva indeference antara garis batas anggaran (budget constrain) dan kurva indeference yang ditunjukan dengan U2. hal ini menganndung pengertian bahwa individu akan mencapai kepuasan maksimum jika ia membelanjakan seluruh pendapatannya pada barang X dan Y, sedangkan untuk U3 tidak mungkin dilakukan karena individu tidak dapat membeli sejumlah barang yang disaratkan pada U3, sedangkan untuk U1 hal ini mungkin bisa dilakukan akan tetapi individu tidak dapat mendapatkan kepuasan maksimum. Untuk mengetahui kepuasan maksismum analisis yang digunakan yakni dengan manggabungkan kedua pendekatan anatara ordinal dan cardinal. Setelah mengetahui tingkat subtitusi antara barang X dan Y yakni:Nilai kemiringan batas anggaran= (1)Dan subtitusi marginal antara X dan Y adalah:Nilai kemiringan kurva indeference (2)karena maksimasi kepuasan adalah persinggungan antara kurva indeference dan garis batas anggaran maka persamaan (1) dan (2) menjadi:(3)Persamaan (3) menunjukan konsumen harus mengalokasikan pendapataanya sedemikian rupa sehingga rasio antara utility marginal sama dengan rasio harga barang X dan Y. dengan menulis kembali persamaan (3), kita dapat:dengan membagi kedua ruas kanan dan kiri dengan maka didapatsehingga:(4)Persamaan diatas menunjukan rasio dari tambahan utilitas karena mengkonsumsi satu unit barang tersebut seharusnya sama untuk setiap barang. Setiap barang seharusnya memberikan tambahan utilitas sama dari tiap dolar yang dibelanjakan. Jika hal ini tidak terjadi, utilitas total dapat ditingkatkan dengan mengalokasikan kembali dana-dana dari satu barang yang relative memiliki tingkat utilitas marginal rendah perdolarnya, ke barang lain yang lebih tinggi tingkat utilitas marginalnya , contoh konsumsi ayam menghasilkan 5 util (unit utility) sementara tambahan minuman menghasilkan 2 util dengan masing-masing harga ayam Rp 1 dan minuman Rp 0,5. maka masing-masing utilnya berharga Rp 0,20 (=Rp1/5) jika ayam yang dibeli, dan Rp 0,25 (=Rp0,5/2) jika minuman ringan yang dibeli. Jelasnya ayam adalah cara yang lebih murah untuk membeli utilitas, maka konsumen seherasnya membeli banyak membeli ayam dari pada minuman sampai setiap barang memberi kepuasan yang sama.C. Analisis Prilaku Konsumsi Islami Menggunakan Pendekatan Cardinal Dan OrdinalSetelah mengetahui bagaimana prilaku konsumen dianalisis maka tibalah kita pada pembahasan bagaimana prilaku konsumen Islam, yang pada akhirnya akan mempengaruhi fungsi permintaan, namun ada beberapa catatan penting sebelum kita masuk lebih dalam menngenai hal ini pertama dalam menggunkan alat analisis konvensional akan terjadi beberapa modifikasi yang akan dilakukan mengingat alat analisis konvensional tidak secara langsung dapat diaplikaskan menggambarkan prilaku konsumsi Islam , dengan minitik beratkan pada prinsip-prinsip konsumsi yang diajukan oleh M.A Mannan dalam “Islamic economic Theory and Practice” kedua perbedaan ilmu ekonomi konvensional dan Islam terletak pada pendekatannya dalam memenuhi kebutuhannya . Islam tidak mengakui kegemaran matrialistis semata-mata dari pola konsumsi modern. Dan sekali lagi pengertian mengenai konsumsi Islami tidak terbatas pada larangan-larangan namun lebih luas dari pada itu yakni Islam memandang manusia seutuhnya tidak hanya sebatas makhluk ekonomi (Homo Economicus) ketiga adalah pertanyaan apakah setiap keputusan yang berdasarkan agama adalah rasional? Maka untuk menjawab pertanyaan ini mungkin yang paling cocok adalah argumen yang diajukan oleh Syafi’i Antonio dalam kata pengantarnya untuk bukunya Hermawan Kertajaya “Syaria Marketing” Dengan Judul “Spirituality Is The Soul Of Advanced And Integrated Marketing”, ia terlebih dahulu membandingkan pelaku pasar rasional dan pelaku pasar religius emosional ia menyebutkan bahwa asumsi yang menyatakan bahwa pelaku yang didasari spiritual adalah blindly emotional adalah asumsi yang tidak bisa diterima, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang disebut financially rational justru financially emotional. Pasar ini akan berhijrah ke lembaga atau bank lain begitu return deposito yang mereka terima berbeda dengan kisaran angka 0,5% atau 1% sekalipun. Sebaliknya nasabah dengan pertimbangan religiusnya adalah mereka yang benar-benar rasional, mereka tidak saja terdorong oleh konsederasi komersial, tetapi juga pertimbangan spiritual dan nilai-nilai luhur lainnya, pasar ini tidak akan emosi dan langsung hijrah karena beda 0,5% atau 1% pasar ini sadar betul bahwa non performing loan (kredit macet) yang dipunyai perbankan syariah lebih rendah daripada perbankan konvensional, selain itu pelaku pasar spiritual sadar betul bahwa perbankan syariah lebih anyak menyalurkan dananya kepada sector riil. Hal senada juga diutarakan oleh Umer Chapra dalam “Relevance and importance of Islamic Ecnomic” untuk menyelesaikan masalah ekonomi diperlukan analisis yang lebih komprehensif dengan memasukan apa yang seharusnya terjadi (normative statement) dan memandang manusia seutuhnya tidak hanya makhluk ekonomi, lebih lanjut dalam bukunya “The Future Of Economics an Islamic Prespective” dan “adjust Islamic monetary system” kegagalan ekonomi konvensional dalam memecahkan masalah ekonomi karena hanya memandang ekonomi dan manusia secara parsial yakni sebgai makhluk ekonomi dan sifat metode ekonomi bersifat deskripsi dan prediksi, sehingga seringkali penyelesainnya hanya pada simtomatiknya (gejala) sehingga penyelesain masalah tidak sampai akar masalah yang sesungguhnya.Dari gambaran di atas, bisa diambil kesimpulan keputusan spiritual lebih rasional hal ini bisa dilihat para pelaku pasar spiritual tidak pernah mengambil keputusan yang bisa merugikan orang lain dan hanya untuk kepentingan diri sendiri dengan kata lain keputusan spiritual akan menimbang baik buruk secara lebih luas dibanding konvensional.Setelah penjelasan dari sub bahasan diatas, maka prilaku konsumsi Islami sedikitnya bisa diidentifikasi sebagai berikut:1. Paradoks halal-haram:Sebagaimana yang kita tahu bahwa Islam sangat memperhatikan kualitas dan kesucian dari barang konsumsi yang termanifestasi kedalam Al-quran maupun Al-Hadis, hal ini selain bersifat transendental juga keduniawian karena Islam sangat memperhatikan kesucian dan kebersihan dari barang konsumsi, sehingga Paradoks ini mendorong kita pada pemahaman bahwa kepuasan seorang muslim sangat ditentukan oleh kadar kehalalan maupun kadar keharaman barang konsumsi, dengan meminjam alat analisis konvensional hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: diasumsikan konsumen muslim dihadapkan pada pilihan barang halal ( X ) dan barang haram ( Y ) dan pendapatan sebesar I, karena Y memberi utilitas 0 atau U=0 maka seorang konsumen muslim tidak pernah membelanjakan pendapatannya pada barang Y, identifikasi masalah ini adalah Y= - (Px / Py) X + I/ PyPersamaan diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa jika individu memilih membelanjakan seluruh dananya pada barang halal (Y) maka X = 0 sehingga persamaaan diatas menjadi I/Py artinya seluruh pendapatan individu muslim habis dibelanjakan hanya untuk barang Y saja. dan karena X = 0 maka antara barang X dan Y tidak pernah terjadi subtitusi (pergantian) berapapun harga dari barang Y dan berapapun murahnya harga barang X begitu pula berlaku sebaliknya. Sedangkan untuk analisa kepuasan, dengan meminjam istilah Robert H Frank sebagaimana dikutip oleh Sudarsono dalam “ekonomi konvensional sebuah pengantar” hal diatas dapat diselesaikan dengan apa yang disebut corner solution yakni keadaan dimana pendapatan individu habis digunakan hanya untuk satu barang saja dalam kasus ini adalah Y. dengan kata lain konsumen meningkatkan nilai gunanya dengan terus mengurangi konsumsi barang haram untuk mendapatkan lebih banyak barang halal, sampai pada titik dimana ia tidak dapat lagi melakukannya, yaitu pada seluruh pendapatannya digunakan untuk membeli barang halal .Pilihan antara barang halal dan barang haram dapat digambarkan dengan tingkat kepuasan yang mangkuknya terbuka ke arah kiri atas, bila kita gambarkan sumbu X sebagai barang haram, dan sumbu Y sebagai barang halal begitu pula sebaliknya jika barang Y yang haram maka kurva indeference akan tengkurap kebawah , sehingga dapat digambarkan:Gambar 4: corner solution dan maksimal utilityuntuk panel (a) I menunjukan titik kepuasan makismum yang diperoleh individu karena pendapatan habis digunakan untuk membeli barang halal Y dan tidak menyisakan untuk membeli barang haram X dengan kata lain semakin banyak barang halal yang dikonsumsi berarti menambah utility sedangkan semakin sedikit barang haram yang dikonsumsi berarti makin mengurangi disutility. Sedangkan untuk panel (b) berlaku sebaliknya dimana kepuasan tertinggi berada pada titik I diamana keseluruhan pendapatan habis digunakan untuk barang halal X2. Prinsip kemurahan hati / Pengeluaran dijalan Allah.Prinsip konsumsi seorang muslim adalah kemurahan hati dan mementingkan kepentingan social secara luas, berbeda dengan konvensional yang berprinsip pada maksimalisasi kepuasan individu dengan tidak memperdulikan orang lain selama individu tidak mengganggu kepentingan orang lain pula atau dalam ekonomi konvensional dikenal dengan optimum pareto yang dipernalkan pertama kali oleh Vilverdo Pareto.Oleh karena itu konsumen muslim tetap mendapat tingkat kepuasan maksimal walaupun pendapatannya terbagi untuk konsumsi dan pengeluaran di jalan Allah (zakat, infaq, shodakoh) contoh nyata dari hal ini adalah ketika menjumpai anak jalanan atau orang miskin dan kita mempunyai kemampuan bersedekah kemudian kita memberikan sebagian uang kepada mereka maka seringkali kita meraskan kelegaan dan kepuasan dikarnakan kita telah membantu saudara kita. secara matematis hubungan antra pembelanjaan kebutuhan sehari-hari dengan pembelanjaan dijalan Allah adalah sebgai berikut:I=Pxa Xa + Pxb Xb + Pxc Xc +…..+ Pxn Xn + ZDimana: Pa, Pb Pc…….Pn adalah harga dari barang Xa sampai Xn.Sedangkan Z adalah pembelanjaan dijalan Allah bisa berupa (zakat, infak dan sedakoh) Atau secara garfik sederhana hal ini bisa diilustrasikan sebagai berikut:Diketahui bahwa X adalah konsumsi barang sehari-hari dan Y adalah ZIS dan I adalah garis batas anggaran sehingga dapat digambarkan:Gambar 5: tingkat kepuasan dan pengeluaran dijalan AllahGambar diatas menunjukan bahwa individu tetap mendapatkan kepuasan yang maksimal meskipun sebagian pendapatannya disisihkan untuk pembelanjaan di jalan Allah (ZIS) yang ditunjukan I’ dimana garis batas anggaran bersinggungan dengan garis curva indifference I’.Lebih jauh untuk mengetahui pembelanjaan dijalan Allah juga bisa memaksimalkan kepuasan dapat dianalisis sebagai berikut: dalam jangka waktu tertentu seseorang individu muslim ingin memutuskan apakah akan membeli barang X atauY dan menyisihkan sebagian pendapatanya untuk pembelanjaan di jalan Allah dinotasikan dengan Z. diasumsikan pendapatan individu Rp 40 harga barang X Rp 3 perunit dan Y Rp 5 perunit kemudian ia dihadapkan pada kwajiban membelanjakan dijalan Allah misalnya 2.5% dan beberapa rupiah untuk infak dan sodakoh. Jika barang X mempunyai utility 54 util perunit dan barang Y 75 util dan Z 9 util maka dari data diatas dapat dibuat tabel utility nya sebagai berikutTabel:2Barang X (harga =Rp 3 Barang Y (harga = Rp 5 ZJumlah TU(utils) MU(utils) MU/Harga(utils/Rp) Jumlah TU(utils) MU/(utils) MU/HargaUtils/Rp Jml Rp utk Z TU MU(utils/Rp)0 0 0 0 0 101 54 54 18 1 75 75 15 1 19 92 99 45 15 2 135 60 12 2 26 73 129 30 10 3 175 40 8 3 29 34 138 9 3 4 200 25 5 4 31 25 141 3 1 5 215 15 3 5 32 16 138 -3 -1 6 220 5 1 6 32 0Tabel 2 diatas menunjukan bagaimana individu dengan sedemikian rupa untuk mengalokasikan Rp 40 untuk dibelikan sejumlah barang X dan Y serta menyisihkan sebagian pendapatannya itu dijalan Allah (Z) dari tabel tersebut ditemukan untuk memaksimalkan utilitas individu maka individu tersebut membelikan 4 unit barang X dan 5 barang Y kemudian menyisihkan Rp 3 untuk membelanjakan dijalan Allah, hal ini dikarnakan syarat maksimalisasi kepuasan adalah MU X / Px = MU Y / Py = MU Z yang masing-masing ditunjukan dengan rasio MU X / Px = 3 MU Y / Py = 3 dan MU Z =3. Dari serangkain percobaan diatas dapatdiambil kesimpulan bahwa dengan pengeluaran pendapatan dijalan Allah tidak pernah mengurangi tingkat kepuasan sesorang.D. Permintaan dalam IslamSetelah mempelajari bagiamana pola prilaku konsumsi Islami maka tibalah, pada pembahasan mengenai bagaimana menurunkan pola tersebut pada teori permintaan. Fungsi permintaan suatu barang secara lengkap dapat ditulis sebagai berikut :QX = f ( PX, PY, T, I, E,)Dimana:QX = Total barang X yang dimintaPX = Harga dari barang XPY = Harga barang YT = Indeks selera dan preferensi konsumenI = Daya beli individu yang diwakili oleh pendapatanE =Ekspektasi (harapan) pembeli pada haraga dimasa depan, pendapatan dan ketersediaan produk XFungsi diatas mengandung arti berapakah quantitas barang X yang diminta dengan harga PX dengan batas anggaran sebesar I dan perlu diingat pula bahwa pembelian X juga sangat dipengaruhi oleh preferensi dan selera individu (T). Selanjutnya kita uji bagaimana perubahan faktor PX, PY, dan I dalam mempengaruhi keputusan individu dalam membeli barang X serta untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat menggeser kurva permintaan, dimana kurva permintaan didefinisikan representasi grafis dari hubungan antara harga suatu barang dengan kuantitas barang yang diminta oleh sesorang dengan mengasumsikan bahwa seluruh faktor lain tidak berubah.Untuk memperjelas masalah ini dapat diilustrasikan dengan garafis berikut ini:Gambar:6 menunjukan bagaimana menyusun atau mengkonstruksi kurva permintaan seseorang untuk barang X. Pada panel (a) peta kurva indeference individu digambarkan dengan menggunakan tiga kendala anggaran yang berbeda dengan harga X yang menurun. Penurunan harga ini adalah PX’, PX’’, PX’’’. Faktor-faktor ekonomi lain yang mempengaruhi posisi kendala anggaran (harga barang Y dan pendapatan) tidak berubah (asumsi cetris paribus berlaku). Dalam bentuk garfis, semua kendala ini memiliki intersep Y yang sama. Harga X yang semakin rendah berturut-turut memutar kendala anggran ini kekanan, dengan kendala anggaran terpisah ini, pilihan individu yang memaksimumkan utilitas X dinyatakan oleh X’,X’’, X’’’ tiga pilihan ini menunjukan bahwa kuantitas X yang diminta meningkat jika harga X turun.Informsi panel (a) pada gambar diatas dapat digunakan untuk mengkonstruksi kurva permintaan sebagaimana ditunjukan oleh panel (b). Harga barang X ditunjukan oleh sumbu vertikal, dan kuantitas yang dipilih secara kontinyu ditunjukan oleh sumbu horisontal, kurva permintaan (dX) memiliki slope menurun, yang menunjukan bahwa jika harga X turun, kuantitas X yang diminta akan meningkat. Sehingga bisa ditarik simpulan bahwa jika harga naik permintaan akan turun dan jika harga turun maka permintaan akan mengalami kenaikan atau yang selama ini dikenal dengan hukum permintaan (Demand Law).Ketepatan bentuk kurva permintaan ditentukan oleh efek pendapatan dan efek subtitudi yang terjadi saat harga barang X berubah. Kurva permintaan individu dapat memiliki slope yang landai ataupun curam, tergantung peta kurva indeference. Jika barang X adalah barang yang mudah untuk disubtitusikan maka kurva permintaan akan lebih landai atau kuantitas X yang dimunta dapat turun secara substansial sebagai respon kenaikan harga X misalnya: merek HP (Hand Phone) X, karena setiap merek HP memiliki banyak merek substitusi, maka setiap kenaikan harga X akan menyebabkan individu untuk menggantinya dengan merek lain yang lebih murah.Di lain pihak, kurva permintaan individu mungkin akan memiliki slope yang curam, dengan demikian harga tidak terlalu berpengaruh terhadap permintaan barang Y misalnya. Contohnya adalah 9 bahan pokok karena 9 bahan pokok adalah barang sangat dibutuhkan maka setiap kenaikan hanya berpengaruh sangat kecil terhadap jumlah permintaan. Untuk memperjelas kasus-kasus diatas kurva permintaan individu dapat digambarkan:Gambar 7:Disisi yang lain bagimanakah jika seorang individu muslim dihadapkan pada barang X halal tetapi harganya mahal ? untuk menjawab ini adalah bagaimana kasus diluar negeri dimana daging yang berlabel halal lebih mahal dari daging yang tanpa label halal namun hal ini tidak mempengaruhi permintaan individu, dengan kata lain individu muslim tetap membeli barang X berapapun harganya, sehingga yang mempengaruhi permintaan individu muslim adalah kadar keberkahan T (preferensi / selera) namun kasus diatas bisa diterima dengan syarat adanya X (halal) dan Y (haram) dan jika X dan Y halal hukum permintaan tetap diterima apa adanya. Dengan kata lain barang halal X adalah barang yang tidak mudah disubtitusikan atau kaku terhadap perubahan harga, sehingga kurva permintaan dari kasus ini adalah berbentuk curam:Gambar 8: Kurva Permintaan X halal terhadap kenaikan hargaKurva diatas menunjukan bagaimana perubahan harag PX terhadap permintaan barang X, pada kurva tersebut terlihat garis permintaan curam hal ini berarti kenaikan harga menyebabkan pergeseran quatitas dari X1 ke X2 namun perubahan tersebut tidak terlalu besar.Setelah mengetahui bagaimana pergerakan permintaan sepanjang garis batas permintaan yang diakibatkan oleh perubahan harga, maka sekarang kita akan menganalisis faktor-faktor apakah yang menyebabkan pergeseran garis batas permintaan tersebut, setidaknya ada tiga faktor penentu dari pergeseran kurva permintaan ini pertama pendapatan individu tersebut naik kedua kenaikan barang subtitusi (pengganti) ketiga selera konsumen pada barang tersebut berubah, secara lebih jelas bagaimana ketiga factor tersebut bergeser dapat dijelaskan dengan kurva berikut:Gambar: 9 Pergeseran kurva permintaan individuPanel (a) menunjukan efek pada barang X akibat kenaikan pendapatan. Dengan asumsi bahwa barang X adalah barang normal, kenaikan pendapatan menyebabkan lebih banyak permintaan untuk barang X untuk setiap harga, misalnya pada harga P1 kuantitas X yang diminta meningkat dari X1 ke X2 dan garis batas permintaan bergeser dari dx ke dx’. Pada panel (b) pergeseran garis batas permintaan diakibatkan oleh kenaikan barang subtitusi misalnya kopi (X) dan teh (Y) maka kenaikan harga teh (Y) maka konsumen akan segera beralih menambah konsumsinya pada kopi (X) sehingga permintaan kopi dari X1 ke X2. sedangankan pada panel (c) pergeseran garis batas permintaan akibat selera konsumen terhadap barang X naik, misalnya trend baju muslim maka pada harga barang yang sama P1 permintaan baju muslim bertambah dari X1 ke X2.Bagian IITeori Produksi dan Penawaran IslamPendahuluanPada bagian ini pembaca akan diajak untuk melakukan analisa bagaimana sikap dan prilaku produsen dalam menawarkan atau bagimanakah produsen menghubungkan anatara input dan output dengan menggunakan fungsi produksi. Dalam Islam prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi selanjutnya Mannan menyatakan “ dalam sistem produksi Islam konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas, konsep kesejahteraan Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang berfaedah melalui pemanfaatan sumber-sumber daya secara maksimum baik manusia maupun benda demikian juga melalui ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi” dari pernyataan Mannan diatas jelas menggambarkan aturan main produksi dalam Islam yakni selain produsen dapat mendapatkan laba yang diinginkan juga ada sebuah aturan bahwa barang yang diproduksi adalah barang yang benar-benar berfaedah dan sesuai dengan kebutuhan manusia sesuai denagan zamannya, hal senada juga dinyatakan oleh R.H Tawney seperti yang dikutip oleh Chapra “sebagian barang yang diproduksi setiap tahun dan yang digolongkan sebagai kekayaan, pada hakekatnya adalah kemubaziran, karena barang-barang itu terdiri atas barang yang memang benar terhitung sebagai pendapatan nasional, tetapi seharusnya tidak diproduksi sampai barang yang lain diproduksi dalam jumlah yang mencukupi, atau barang-barang tersebut tidak usah diproduksi”.Dari pernyataan-pernyataan diatas memberikan kerangka bagaimana prilaku produksi dalam Islam yang mencakup kedalam tiga hal yakni input, proses dan akhirnya output produksi yang masing-masing akan dibahas menggunakan kerangka ekonomi Islam.Memakni ProduksiDr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Pandangan Rawwas di atas mewakili beberapa definisi yang ditawarkan oleh pemikir ekonomi lainnya.Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini, Abdurrahman merefleksi pemikirannya dengan mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari manfaat memakai (memproduksi) khamr.Lain halnya dengan Taqiyuddin an-Nabhani, dalam mengantarkan pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab. An-Nabhani dalam bukunya an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam me-mahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan as-Sunnah. Sebab, Rasulullah Saw pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi Saw telah membuat cincin.” (HR. Imam Bukhari). Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi Saw. telah membuat cincin yang terbuat dari emas.” (HR. Imam Bukhari). Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah Saw telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atsnya.” (HR. Imam Bukhari). Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka. Status (taqrir) dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’.Penulis mempunyai keyakinan bahwa wilayah produksi tidaklah sesempit seperti apa yang dipegangi oleh kalangan ekonom konvensional yang hanya sekedar mengejar orientasi jangka pendek dengan materi sebagai titik acuannya dan memberikan peniadaan pada aspek produksi yang mempunyai orientasi jangka panjang. Selama ini yang kita fahami tetkala membaca teks-teks buku ekonomi konvensional tidak jarang ditemukan adanya telaah terhadap kegiatan sebuah perusahaan untuk melakukan produksi dengan mengacu pada faktor produksi yang dimiliki oleh setiap perusahaan tersebut. Misal, perusahaan A akan mencapai tingkat produksi yang maksimal jika didukung oleh faktor produksi semacam modal (C), tenaga kerja (L), sumber daya alam (R), dan teknologi (T) yang difungsikan pada posisi yang optimal. Dasar pemikiran yang dibangun dalam paradigma berfikir aliran konvensional dalam berproduksi adalah memaksimumkan keuntungan (maximizing of profit) dan meminimumkan biaya (minimizing of cost) yang pada dasarnya tidak melihat realita ekonomi yang prakteknya berdasarkan pada kecukupan akan kebutuhan dan market imperfection yang berasosiasi dengan imperfect information. Hasil dari pencapaian produksi yang dilakukan oleh perusahaan konvensional adalah keinginan untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang maksimal dengan cost (biaya) yang sedikit. Apa memungkinkan? Gambaran di atas merupakan realita nyata yang terjadi di tataran aplikatif untuk melaksanakan teori produksi yang diacukan pada pemikiran konvensional.Adapun aspek produksi yang berorientasi pada jangka panjang adalah sebuah paradigma berfikir yang didasarkan pada ajaran Islam yang melihat bahwa proses produksi dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang bersifat materi-keduniaan tetapi sampai menembus batas cakrawala yang bersifat ruhani-keakheratan. Orang yang senantiasa menegakkan shalat dan melakukan ibadah lainnya merupakan wujud dari nilai produktifitas yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Seseorang yang betul-betul melaksanakan shalat dengan benar berarti ia telah melakukan aktifitas yang produktif yang selanjutnya akan membawa pada nilai lebih dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.Keshalehan dan ProduksiAda sebuah permata dalam bukunya Dr. Monzer Kahf yang berjudul The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System yang menyebutkan bahwa ‘tingkat keshalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang dilakukannya’. Jika seseorang semakin meningkat nilai keshalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktifitas yang menurun.Sebuah contoh, seorang yang senantiasa terjaga untuk selalu menegakkan shalat berarti ia telah dianggap shaleh. Dalam posisi seperti ini, orang tersebut telah merasakan tingkat kepuasan batin yang tinggi dan secara psikologi jiwanya telah mengalami ketenangan dalam menghadapi setiap permasalahan kehidupannya. Hal ini akan berpengaruh secara positif bagi tingkat produksi yang berjangka pendek, karena dengan hati yang tenang dan tidak ada gangguan-gangguan dalam jiwanya ia akan melakukan aktifitas produksinya dengan tenang pula dan akhirnya akan dicapai tingkat produksi yang diharapkannya.Selama ini, kesan yang terbangun dalam alam pikiran kebanyakan pelaku ekonomi -apalagi mereka yang berlatar belakang konvensional- melihat bahwa keshaleh-an seseorang merupakan hambatan dan perintang untuk melakukan aktifitas produksi. Orang yang shaleh dalam pandangannya terkesan sebagai sosok orang pemalas yang waktunya hanya dihabiskan untuk beribadah dan tidak jarang menghiraukan aktifitas ekonomi yang dijalaninya. Akhirnya, mereka mempunyai pemikiran negatif terhadap nilai keshalehan tersebut. Mengapa harus berbuat shaleh, sedangkan keshalehan tersebut hanya membawa kerugian (loss) bagi aktifitas ekonomi? Sebuah logika berfikir yang salah dan perlu diluruskan. Pelurusan pemikiran tersebut akan membawa hasil jika diacukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, baik yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim ataupun as-Sunnah as-Shadiqah.Orientasi ProduksiKitab suci al-Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian yang luas. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan bukannya untuk mem-produksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif. Hal ini ditegaskan al-Qur’an yang tidak memperbolehkan produksi barang-barang mewah yang berlebihan dalam keadaan apapun.Namun demikian, secara jelas peraturan ini memberikan kebebasan yang sangat luas bagi manusia untuk berusaha memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi dalam memenuhi tuntutan kehidupan ekonomi. Dengan memberikan landasan ruhani bagi manusia sehingga sifat manusia yang semula tamak dan mementingkan diri sendiri menjadi terkendali.Di dalam QS. Al-Ma’arij [70]: 19, sifat-sifat alami manusia yang menjadi asas semua kegiatan ekonomi diterangkan: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”. Sifat loba manusia menjadikan keluh kesah, tidak sabar dan gelisah dalam perjuangan mendapatkan kekayaan dan dengan begitu memacu manusia untuk melakukan berbagai aktifitas produktif. Manusia akan semakin giat memuaskan kehendaknya yang terus bertambah, sehingga akibatnya manusia cenderung melakukan kerusakan di bidang produksi.Mengacu pada pemikiran as-Syatibi, bahwa kebutuhan dasar manusia harus mencakup lima hal, yaitu terjaganya kehidupan beragama (ad-din), terpeliharanya jiwa (an-nafs), terjaminnya berkreasi dan berfikir (al-‘aql), terpenuhinya kebutuhan materi (al-mal), dan keberlangsungan meneruskan keturunan (an-nasl). Maka orientasi yang dibangun dalam melakukan produksi adalah tindakan yang seharusnya dilakukan oleh setiap pelaku ekonomi muslim dalam mengarahkan kegiatan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang lima tersebut. Jika kita gambarkan dalam bentuk bagan adalah sebagai berikut:Gambaran di atas memberikan pemahaman pada kita bahwa orientasi yang ingin dicapai oleh proses produksi menjangkau pada aspek yang universal dan berdimensi spiritual. Inilah yang menambah keyakinan bagi kita akan kesempurnaan ajaran Islam yang tertulis dalam QS. Al-Maidah [5]: 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. Tidak ada keraguan bagi seorang muslim untuk memberikan kebenaran bagi ajaran Allah Swt yang ada dalam al-Qur’an al-Karim.Penawaran Islamhttp://nuraini69.blogspot.com/

Tidak ada komentar: