Rabu, 31 Desember 2008

KEBIJAKAN OTODA

Bab 9
KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH
1. PENDAHULUAN
Diskusi pada bagian sebelumnya antara lain menyajikan tinjauan tentang
konsep maupun contoh praktik di beberapa negara dalam pengembangan sistem
inovasi. Di antara kesimpulan penting dari penggalian tentang ini adalah:
1. Pentingnya kerangka kebijakan inovasi yang komprehensif sebagai basis
bagi pengembangan instrumen kebijakan yang diperlukan;
2. Mengembangkan instrumen-instrumen kebijakan yang kontekstual;
3. Merancang instrumen kebijakan dengan landasan isu kebijakan yang jelas,
baik dalam bentuk ”kegagalan pasar,” “kegagalan pemerintah” maupun
“kegagalan sistemik”, dan mekanisme yang sesuai (antara lain misalnya
dengan meletakkannya dalam upaya melengkapi/memperkuat peran pasar,
bukan “menggantikannya”);
4. Senantiasa memperbaiki penadbiran kebijakan, termasuk mendorong
pembelajaran dalam proses kebijakan.
Berbagai pihak mengajukan beberapa pola kebijakan inovasi yang
dipandang penting. OECD (1999) misalnya, menetapkan tujuh tema utama
kebijakan inovasi yang dinilai penting sebagai kemungkinan respons yang baik
menyangkut tantangan kebijakan yang bersifat generik dalam konteks nasional
tertentu. Ketujuh tema kebijakan tersebut adalah:
1. Mengamankan kondisi kerangka kerja yang sesuai;
2. Membangun budaya inovasi;
3. Meningkatkan difusi teknologi;
4. Mendorong jaringan dan klasterisasi;
5. Mengungkit penelitian dan pengembangan;
6. Merespon globalisasi;
7. Memperbaiki pembuatan kebijakan.
Uni Eropa, melalui the First Action Plan for Innovation in Europe 1996 pada
awalnya menetapkan tiga prioritas, yaitu:
1. Menumbuhkembangkan budaya inovasi;
2. Menciptakan suatu kerangka legal regulasi, dan keuangan yang kondusif
bagi inovasi; dan
3. Mendorong/menggerakkan riset lebih erat dengan inovasi baik pada tataran
nasional maupun Komunitas Eropa.
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
302
Semangat mengejar ketertinggalan Uni Eropa, terutama dari Amerika Serikat, memotivasi
upaya-upaya bersama dari the Innovation Action Plan, yang pada intinya mendorong tujuan bersama
terutama mendorong inovasi di seluruh Eropa, mengembangkan regulasi yang lebih baik bagi
perkembangan inovasi, mendorong pasar yang dinamis bagi pengetahuan, meningkatkan investasi
dalam inovasi, meningkatkan keterampilan bagi inovasi, dan mengembangkan penadbiran inovasi
yang efisien.
Selanjutnya menindaklanjuti the Lisbon Strategy di tahun 2000, Uni Eropa (EC, 2000),
menetapkan lima agenda utama kebijakan, yaitu:
1. Koherensi kebijakan inovasi.
2. Kerangka regulasi yang kondusif bagi inovasi.
3. Mendorong penciptaan dan pertumbuhan perusahaan-perusahaan inovatif.
4. Memperbaiki antarmuka (interface) yang penting dalam sistem inovasi.
5. Masyarakat yang terbuka terhadap inovasi.
Sebagai agenda penyempurnaan/penguatan dari prakarsa-prakarsa sebelumnya, kemudian
ditetapkan empat agenda prioritas tambahan, yaitu (EC, 2003):
1. Interaksi dengan bidang-bidang kebijakan lainnya untuk memperbaiki lingkungan bagi
perusahaan-perusahaan inovatif.
2. Menstimulasi dinamisme pasar yang lebih besar dan memanfaatkan konsep pasar pemimpin
(lead market).
3. Mendorong inovasi dalam sektor publik.
4. Memperkuat dimensi daerah dalam kebijakan inovasi.
Uni Eropa juga mengungkapkan beberapa contoh praktik baik negara (tahun 2000) dalam
konteks tertentu. Untuk klaster dan jaringan misalnya adalah Belanda (kebijakan klaster yang relatif
termaju), Belgia (diseminasi trans-nasional yang aktif, PLATO). Sedangkan menyangkut penadbiran
inovasi, misalnya adalah Finlandia (dewan inovasi sebagai struktur koordinasi), Denmark
(reorganisasi administratif), Inggris (praktik foresight), dan Irlandia (penggunaan program-program
eksperimental).
Sementara itu, Bank Dunia mendorong negara-negara menyikapi kecenderungan
perkembangan ekonomi pengetahuan dengan kerangka K4D (Knowledge for Development) dan
menekankan pada elemen:
1. Insentif ekonomi dan rejim kelembagaan yang memberikan insentif bagi pemanfaatan
pengetahuan yang ada dan yang baru secara efisien serta menyuburkan kewirausahaan.
2. Pengembangan SDM yang terdidik, kreatif dan terampil.
3. Pengembangan infrastruktur informasi yang dinamis.
4. Penguatan sistem inovasi nasional yang efektif.
Diskusi sebelumnya juga membahas contoh praktik kebijakan inovasi di beberapa negara, yang
secara formal ditetapkan melalui dokumen formal maupun diskusi para pakar yang menyarankan
beberapa agenda utama kebijakan inovasi. Untuk Amerika Serikat misalnya, Branscomb dan Keller
(1997) menyarankan enam langkah utama kebijakan, yaitu:
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
303
1. Mendorong inovasi perusahaan.
2. Menekankan riset teknologi dasar.
3. Memanfaatkan secara lebih baik teknologi yang tersedia.
4. Menggunakan keseluruhan alat kebijakan, bukan sekedar dukungan litbang.
5. Membangkitkan globalisasi inovasi.
6. Memperbaiki efektivitas pemerintah.
Bab ini selanjutnya akan mendiskusikan kerangka kebijakan daerah secara umum, dengan
memetik pelajaran dari praktik di beberapa negara, dan menyesuaikannya dengan konteks Indonesia
secara nasional maupun daerah pada umumnya. Kerangka kebijakan yang diajukan di sini lebih
dilandaskan pada penelaahan sistem inovasi Indonesia (Bab 6), penggalian isu-isu kebijakan (Bab 7),
dan pokok-pokok pikiran tentang strategi inovasi daerah seperti yang telah disampaikan pada Bab 8.
2. KERANGKA LEGISLASI
Kerangka legislasi sangat penting sebagai landasan legal bagi para aktor dalam sistem inovasi
untuk berperan efektif. Kerangka legislasi seyogyanya memberikan pijakan apa yang dinilai penting
dan memungkinkan berkembangnya sinyal-sinyal ekonomi yang tepat bagi para pelaku untuk
berfungsi dan berkontribusi bagi perkembangan sistem inovasi daerah yang maju dan dinamis, sesuai
dengan potensi terbaik setempat.
Secara konsep, sistem ilmu pengetahuan dan teknologi (sistem iptek) merupakan bagian
integral dari sistem inovasi (pada beragam tataran). Karena itu sangat logis menempatkan kebijakan
strategis pembangunan sistem iptek di daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan
strategis pembangunan sistem inovasi daerah yang bersangkutan. UU No. 18/2002 tentunya
merupakan salah satu acuan dalam menyusun kebijakan strategis daerah berkaitan dengan
pembangunan sistem iptek di daerah. Dengan memahami konsep tersebut dan mengacu kepada UU
No. 18/2002, maka beberapa hal penting berikut merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam
perancangan kebijakan daerah.
Namun tentu perlu diingat bahwa sistem iptek (pada tingkat daerah ataupun nasional)
merupakan bagian integral dari sistem inovasi (pada tingkat daerah ataupun nasional). Karena itu
sangat logis bila muncul anggapan bahwa kebijakan strategis iptek (pada tingkat daerah ataupun
nasional) merupakan bagian integral dari kebijakan strategis inovasi atau strategi inovasi (pada tingkat
daerah ataupun nasional).
Walaupun perundangan yang ada ”baru” mewajibkan perlunya kebijakan strategis
pembangunan iptek, namun ini baru merupakan prasyarat minimal bagi peningkatan daya saing
daerah. Yang sangat diperlukan adalah kebijakan strategis berkaitan dengan sistem inovasi (daerah).
Dalam kaitan ini, perundangan terbaru tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan
beberapa perundangan lainnya merupakan komplemen (bagi UU No. 18 tahun 2002) untuk
perumusan kebijakan strategis inovasi daerah.
Simplifikasi tentang bagaimana keterkaitan, kesejalanan dan koherensi kebijakan inovasi
nasional dan daerah dalam pengembangan sistem inovasi, serta bagaimana keterpaduan kebijakan
inovasi perlu dikembangkan di daerah ditunjukkan pada Gambar 9.1 dan 9.2.
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
304
Sistem Inovasi Nasional (SIN)
Sisnas P3iptek
Sistem Inovasi Daerah (SID)
Sisda P3Iptek
Landasan
bagi
Legislasi Nasional
(Khususnya UU No.18/2002)
Legislasi di Tingkat Daerah
(misalnya Perda, jika
dipandang perlu)
Perpres No.7/2005
Perundangan
terkait lain
Strategi Inovasi Nasional
Kebijakan Strategis
Bangnas Iptek
Strategi Inovasi Daerah
Kebijakan Strategis
Bangda Iptek
Koherensi
kebijakan
Gambar 9.1
Kerangka Keterkaitan, Kesejalanan dan Koherensi
Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengembangan Sistem Inovasi.
Sebagaimana telah didiskusikan, beberapa peraturan perundangan yang berkembang secara
sendiri maupun bersama turut menentukan/membentuk bagaimana upaya yang dilakukan dalam
pengembangan sistem inovasi daerah di Indonesia. Beberapa peraturan perundangan yang sangat
erat kaitannya dalam konteks ini antara lain adalah:
􀂊 UU. No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
􀂊 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
􀂊 UU. No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
􀂊 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
􀂊 UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
􀂊 Perundangan HKI;
􀂊 Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2004 – 2009.
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
305
Strategi Inovasi Daerah
(Kebijakan Strategis
Pengembangan
Sistem Inovasi Daerah)
UU No.18/2002
SISNAS P3IPTEK
Kebijakan Strategis
Bangnas Iptek
Kebijakan Strategis
Bangda Iptek
Koherensi
kebijakan
UU No.25/2004
SPPN
UU No.32/2004
PEMDA
Perundangan
HKI
Perundangan
Lain yang
Relevan
RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH DAERAH
(RPJPMD)
Bagian
Integral
RPJMD
Perundangan
“Sektoral”
UU No.20/2003
SISDIKNAS
Gambar 9.2
Simplifikasi Kerangka Keterpaduan Legislasi di Daerah Terkait dengan Sistem Inovasi Daerah.
Dalam UU No. 18 tahun 2002 tidak dijelaskan secara spesifik yang dimaksud dengan ”daerah”
dalam konteks ini, apakah ”daerah provinsi” saja atau ”daerah kabupaten/kota” saja atau keduanya.
Tetapi disebutkan dalam UU tersebut bahwa yang dimaksud dengan ”pemerintah daerah” adalah
kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Ini artinya
pengertian daerah menyangkut "provinsi” maupun ”kabupaten dan kota.” Selain itu, tentunya
mengingat pembangunan bidang iptek khususnya dan sistem inovasi umumnya juga merupakan
tanggung jawab pemerintah dalam arti pada seluruh tataran, maka pengertian ”daerah” dalam hal ini
menyangkut baik ”pemerintah provinsi” maupun ”pemerintah kabupaten/kota.”
Dalam Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009, disebutkan dalam Bab 22 (Peningkatan Kemampuan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi), diungkapkan beberapa permasalahan lemahnya daya saing bangsa
dan kemampuan iptek, yaitu:
1. Rendahnya kemampuan iptek nasional dalam menghadapi perkembangan global menuju KBE.
2. Rendahnya kontribusi iptek nasional di sektor produksi.
3. Belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas
penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna.
4. Lemahnya sinergi kebijakan iptek, sehingga kegiatan iptek belum sanggup memberikan hasil
yang signifikan.
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
306
5. Masih terbatasnya sumber daya iptek, yang tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan
kesenjangan pendidikan di bidang iptek.
6. Belum berkembangnya budaya iptek di kalangan masyarakat.
7. Belum optimalnya peran iptek dalam mengatasi degradasi fungsi lingkungan hidup.
8. Masih lemahnya peran iptek dalam mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam.
Berkaitan dengan itu, Perpres No. 7 tahun 2005 tersebut juga menetapkan bahwa sasaran dari
“Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” adalah:
1. Tumbuhnya penemuan iptek baru sebagai hasil litbang nasional yang dapat dimanfaatkan bagi
peningkatan nilai tambah dalam sistem produksi dan dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan secara lestari dan bertanggung jawab.
2. Meningkatnya ketersediaan, hasil guna, dan daya guna sumber daya (SDM, sarana, prasarana
dan kelembagaan) iptek.
3. Tertatanya mekanisme intermediasi untuk meningkatkan pemanfaatan hasil litbang oleh dunia
usaha dan industri, meningkatnya kandungan teknologi dalam industri nasional, serta
tumbuhnya jaringan kemitraan dalam kerangka sistem inovasi nasional.
4. Terwujudnya iklim yang kondusif bagi berkembangnya kreativitas, sistem pembinaan dan
pengelolaan hak atas kekayaan intelektual, pengetahuan lokal, serta sistem standarisasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, arah kebijakan dalam “Peningkatan Kemampuan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi” adalah untuk:
1. Mempertajam prioritas penelitian, pengembangan dan rekayasa iptek yang berorientasi pada
permintaan dan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha dengan roadmap yang jelas.
2. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas iptek dengan memperkuat kelembagaan, sumber daya
dan jaringan iptek di pusat dan daerah.
3. Menciptakan iklim inovasi dalam bentuk pengembangan skema insentif yang tepat untuk
mendorong perkuatan struktur industri.
4. Menanamkan dan menumbuhkembangkan budaya iptek untuk meningkatkan peradaban.
Selanjutnya, arah kebijakan “Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”
difokuskan pada enam bidang prioritas yaitu: (i) pembangunan ketahanan pangan, (ii) penciptaan dan
pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan, (iii) pengembangan teknologi dan manajemen
transportasi, (iv) pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, (v) pengembangan teknologi
pertahanan, dan (vi) pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan; yang dijabarkan ke dalam
program-program pembangunan sebagai berikut:
1. Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
2. Program Difusi dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
3. Program Penguatan Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
4. Program Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi.
Detail setiap program selanjutnya dapat dilihat dalam dokumen Perpres No. 7 tahun 2005
tersebut.
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
307
KRT (didukung oleh DRN) merumuskan dan menetapkan tujuan strategis dalam ”Kebijakan
Strategis Pembangunan Nasional Iptek 2000 – 2004” (versi revisi dari dokumen sebelumnya), yaitu:
1. Penguatan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
2. Pemantapan tatanan sosial politik.
3. Reposisi kelembagaan iptek.
4. Peningkatan kemandirian dan keunggulan.
5. Penyelarasan dengan perkembangan global.
Saat buku ini disusun, Jakstra Iptek terbaru masih dalam proses perumusan.
Beberapa pokok pikiran dalam UU No. 18 tahun 2002 dengan implikasi pentingnya bagi daerah
adalah seperti ditunjukkan pada Tabel 9.1. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 18 tahun 2002,
daerah perlu membentuk Dewan Riset Daerah (DRD). Mengingat DRD merupakan kelembagaan nonstruktural
yang peran utamanya dalam penadbiran kebijakan inovasi adalah sebagai ”badan
penasihat” (advisory body), maka daerah perlu mengembangkan bentuk yang dinilai paling sesuai
untuk menghindari tumpang tindih kelembagaan yang tidak efisien. Bagi daerah yang telah
mengembangkan kelembagaan dengan fungsi sejenis atau lebih luas dari bidang riset, maka salah
satu alternatif adalah memperkaya fungsi kelembagaan tersebut dengan fungsi yang perlu
dilaksanakan oleh DRD. Pilihan ini perlu dikaji misalnya untuk daerah yang telah mengembangkan
forum/dewan peningkatan daya saing daerah (lihat Bab 8).
Tabel 9.1 Beberapa Pokok Pikiran dalam Kerangka Kebijakan Iptek di Daerah
(UU No. 18/2002, Pasal 20).
Butir Isu Esensi yang Perlu Diperhatikan
Ayat 1: Fungsi pemerintah daerah, yaitu
menumbuhkembangkan motivasi, memberikan
stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim
yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur
kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu
pengetahuan dan teknologi di wilayah
pemerintahannya sebagai bagian integral dari Sisnas
P3Iptek.
􀂃 Semangat otonomi atau kewenangan daerah
dalam bertindak yang sesuai dengan konteks
lokal selalu dalam kerangka nasional.
􀂃 Namun tentunya untuk efektifnya fungsi
mendasar tersebut, maka bukan saja diperlukan
kerangka legislasi di daerah (sebagai landasan
berpijak para aktor kunci), tetapi juga
kemungkinan pengembangan intervensiintervensi
khusus yang sesuai dengan konteks
daerah masing-masing.
Ayat 2: Pemerintah daerah wajib merumuskan
prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai
kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan
dan teknologi di daerahnya.
Dimaksudkan agar semua pihak yang
berkepentingan dapat memahami arah, prioritas,
serta kerangka kebijakan pemerintah daerah di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
demikian pembangunan menjadi agenda bersama
para pihak di daerah.
Ayat 3: Pemerintah daerah harus
mempertimbangkan masukan dan pandangan
yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Keterbukaan Pemda terhadap advisory dan
advokasi serta masukan dan pandangan yang
penting bagi daerah, dari unsur kelembagaan iptek.
Ayat 4: Pemerintah daerah membentuk Dewan
Riset Daerah yang beranggotakan masyarakat dari
unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi
di daerahnya.
Instrumen ”kelembagaan” di daerah (DRD) dengan
fungsi penyusunan kebijakan iptek di daerah,
dukungan kepada Pemda dalam berkoordinasi, dan
perwakilannya dalam DRN.
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
308
3. KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH
Sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya (terutama dalam Bab 7), terdapat 6 (enam)
kelompok isu umum sangat penting yang perlu memperoleh perhatian dan penanganan prioritas
berkaitan dengan pengembangan sistem inovasi daerah, sebagai berikut:
1. Kelemahan kerangka umum. Ini antara lain terkait dengan:
􀂅 Isu umum mendasar yang terkait dengan sistem inovasi, seperti:
􀂃 Regulasi yang menghambat;
􀂃 Kelemahan lingkungan legal dan regulasi (yang diperlukan);
􀂃 Kelemahan infra- dan supra-struktur pendukung perkembangan inovasi;
􀂃 Administrasi yang birokratif;
􀂅 Keterbatasan pembiayaan/pendanaan inovasi;
􀂅 Isu perpajakan yang tidak kompetitif bagi aktivitas inovasi;
􀂅 Kelemahan keperdulian dan implementasi perlindungan HKI.
2. Kelemahan kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang serta rendahnya kemampuan
absorpsi UKM. Berbagai fungsi yang belum berkembang, lembaga yang ada yang belum
berfungsi sebagaimana yang diperlukan, dan kelemahan daya dukung iptek/litbang yang
relevan bagi pengembangan potensi terbaik daerah merupakan faktor belum berkembangnya
sistem inovasi daerah dan rendahnya daya saing daerah. Di sisi lain, pelaku mayoritas usaha,
yaitu UKM, umumnya memiliki keterbatasan antara lain dalam mengakses, memanfaatkan dan
mengembangkan pengetahuan/teknologi untuk meningkatkan daya saing bisnisnya.
3. Kelemahan keterkaitan, interaksi dan kerjasama difusi inovasi (termasuk praktik
baik/terbaik dan/atau hasil litbang). Kesenjangan relevansi dan fungsi komplementatif antara
perkembangan knowledge pool dengan tarikan kebutuhannya oleh pengguna, khususnya
swasta, masih terbatasnya pola hubungan dan transaksi bisnis maupun non bisnis antar
berbagai aktor, serta asimetri informasi dan keterbatasan dalam dukungan interaksi dalam
sistem inovasi (termasuk pembiayaan bagi komersialisasi potensi inovasi) merupakan isu yang
menghambat keterkaitan, proses interaksi dan kerjasama antarpihak dalam sistem inovasi
daerah.
4. Persoalan budaya inovasi. Beragam isu yang diungkapkan tersebut pada dasarnya juga
menunjukkan belum berkembangnya kultur dalam masyarakat (pelaku bisnis, pembuat
kebijakan, aktor-aktor litbang, lingkungan akademis dan masyarakat secara umum) yang
mendukung bagi kemajuan inovasi dan kewirausahaan secara umum. Ini antara lain berkaitan
dengan:
􀂅 Masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap pentingnya semangat kreativitas/inovasi
dan profesi kewirausahaan;
􀂅 Belum berkembangnya pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan dan sistem
pendidikan yang belum mendukung perkembangan hal ini;
􀂅 Keterbatasan SDM bertalenta di daerah, dan masih rendahnya mobilitas dan interaksi
dari dan antaraktor penting bagi perkembangan kewirausahaan dalam masyarakat;
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
309
􀂅 Kelemahan di lingkungan pemerintahan (public authorities), yang umumnya juga belum
menghargai pentingnya kewirausahaan dan inovasi, baik di lingkungannya sendiri
maupun perkembangannya dalam masyarakat.
5. Kelemahan fokus, rantai nilai, kompetensi dan sumber pembaruan ekonomi dan sosial.
Kelemahan dalam bisnis maupun non bisnis yang saling terkait, yang sangat penting bagi
dinamika ekonomi dan sebagai landasan bagi pembentukan keunggulan daya saing yang khas:
􀂅 Keragaman aktivitas bisnis yang belum mengarah pada, dan belum berkembangnya
kompetensi daerah yang penting bagi, pembentukan potensi keunggulan yang lebih
terfokus;
􀂅 Struktur dan keterkaitan dalam bisnis beserta aktivitas non-bisnis pendukungnya yang
lemah;
􀂅 Masih rendahnya kepemimpinan dan kepeloporan dalam pemajuan inovasi dan
difusinya;
􀂅 Relatif rendahnya perkembangan/regenerasi perusahaan-perusahaan baru (pemula)
yang inovatif;
􀂅 Ketertinggalan mayoritas pelaku bisnis (UKM) untuk dapat memanfaatkan dan
mengembangkan peluang dari kemajuan/perkembangan yang terjadi.
6. Tantangan global. Seperti telah didiskusikan, berbagai kelemahan yang dimiliki pada akhirnya
mempengaruhi tingkat kesiapan Indonesia (pada tataran nasional maupuan daerah) berperan
di arena global beserta beragam kecenderungan perubahan yang berkembang untuk dapat
meminimalisasi dampak negatifnya dan memaksimumkan kemanfaatan bagi masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan menjabarkan pokok-pokok pikiran tentang strategi
inovasi yang didiskusikan dalam Bab 8, maka diajukan 6 (enam) kelompok ”tema” utama (agenda
utama) kebijakan inovasi yang menurut hemat penulis perlu dikembangkan di daerah. Ini tentu tidak
perlu ditafsirkan bahwa seluruhnya merupakan ranah monopoli daerah dan harus dilakukan dengan
sumber daya dan kapabilitas daerah sendiri sepenuhnya. Namun tentu saja, sikap proaktif dan
keprakarsaan/kepeloporan daerah sendiri merupakan kunci bagi implementasi agenda ini dalam
pemajuan/pengembangan sistem inovasi dan daya saing daerah yang bersangkutan. Keenam tema
utama ini, yang juga merupakan tujuan strategis pengembangan sistem inovasi daerah adalah:
1. Mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi inovasi.
2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang serta mengembangkan
kemampuan absorpsi UKM.
3. Menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi, praktik
baik/terbaik dan/atau hasil litbang.
4. Mendorong budaya inovasi.
5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan
klaster industri daerah dan nasional.
6. Penyelarasan dengan perkembangan global.
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
310
4. BEBERAPA TUJUAN KEBIJAKAN STRATEGIS
Tujuan strategis kebijakan inovasi daerah tentu akan sangat kontekstual dengan daerah
masing-masing. Apa yang disampaikan di sini lebih merupakan tujuan strategis yang dipandang
umum (generik) bagi hampir semua daerah. Hal ini didasarkan pada persoalan umum yang
berkembang di Indonesia sejauh ini dan isu-isu ”universal” serta praktik-praktik baik (terbaik) terkait
dengan sistem inovasi yang dapat dipetik dari beragam pelajaran negara lain.
Pada dasarnya setiap pemerintah (pusat maupun daerah) perlu memecahkan persoalan/
tantangan yang dihadapi melalui struktur administratif dan instrumen-instrumen kebijakan yang
dikembangkan sebagai respons terhadap persoalan-persoalan di masa lalu. Umumnya, intervensi
dilakukan lebih pada bidang teknologi untuk mengatasi persoalan kegagalan pasar. Namun, seperti
telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, persoalan kegagalan sistemik perlu dipecahkan
karena persoalan-persoalan inilah yang umumnya menentukan berfungsinya sistem inovasi,
menghambat aliran efektif teknologi, pengetahuan dan/atau praktik baik/terbaik dan tentunya juga
mengurangi efektivitas maupun efisiensi upaya dan hasil-hasil litbang.
Ada 2 (dua) bagian utama yang terkait dengan kebijakan inovasi daerah yang perlu
dikembangkan. Bagian pertama berkaitan dengan kerangka dasar kebijakan inovasi daerah, dan
bagian kedua berkaitan dengan tema/agenda kebijakan inovasi yang bersifat khusus untuk beberapa
tujuan strategis daerah, yang secara ringkas adalah seperti berikut.
4.1 Kerangka Dasar Kebijakan Inovasi Daerah
Tujuan utama agenda ini pada dasarnya adalah mengembangkan kerangka umum yang
kondusif bagi perkembangan inovasi. Bagian pertama yang perlu dibenahi di daerah secara umum
adalah berkaitan dengan kerangka mendasar bagi pengembangan sistem inovasi. Penataan
mendasar termasuk penataan/pengembangan basisdata daerah berkaitan dengan sistem inovasi
daerah. “Kelemahan data” merupakan kelemahan umum bagi perencanaan dan kebijakan di
Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Tatanan kelembagaan (dalam arti luas) yang tepat penting untuk memecahkan persoalan ini,
terutama berkaitan dengan: “mengembangkan kerangka umum yang kondusif bagi perkembangan
inovasi.” Pemajuan inovasi di daerah tidak semata mendorong peningkatan litbang, difusi hasilnya
atau aktivitas inovasi sektor swasta, tetapi juga inovasi atau perbaikan di lingkungan pemerintahan
dan perbaikan kebijakannya. Agenda ini pada intinya berkaitan dengan tujuan menciptakan iklim
daerah yang kondusif, khususnya bagi bisnis, dan perkembangan sistem inovasi daerah pada
umumnya. Pada dasarnya, hal ini berkaitan dengan konteks ekonomi makro, kebijakan fiskal, dan
beberapa hal lain yang menjadi ”ranah” pemerintah pusat. Walaupun begitu pada konteks tertentu,
pemerintah daerah memiliki peran sangat penting misalnya berkaitan dengan perijinan bisnis dan
investasi, penyediaan infrastruktur dasar, dukungan aksesibilitas, kualitas hidup, dan lainnya. Selain
itu, terkait dengan ini, daerah dipandang perlu untuk mengembangkan landasan legal khusus yang
berkaitan dengan pengembangan sistem inovasi daerah masing-masing.
Tindakan yang diperlukan dan dinilai mendesak antara lain adalah:
a. Perbaikan (reformasi) kebijakan inovasi daerah. Prakarsa yang perlu diprioritaskan
terutama adalah:
1. Penghapusan regulasi daerah yang menghambat. Upaya peninjauan (review)
tentang regulasi daerah merupakan langkah awal sangat penting dalam
memastikan tidak adanya hambatan regulasi yang bersifat kontra produktif bagi
perkembangan inovasi di daerah, dan untuk menentukan urgensi memelihara,
menghapus dan/atau memperbaiki regulasi yang ada.
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
311
2. Pengembangan lingkungan legal dan regulasi yang kondusif. Ini berkaitan dengan
kerangka legislasi (misalnya ”Perda”) untuk kebijakan strategis daerah, atau
strategi inovasi daerah (atau kebijakan strategis pengembangan sistem inovasi
daerah, atau setidaknya kerangka legislasi daerah tentang kebijakan strategis
pembangunan daerah di bidang iptek). Kejelasan dan ketegasan legislasi yang
melandasi secara eksplisit strategi inovasi daerah dan hubungannya dengan
kebijakan strategis pembangunan daerah perlu diperhatikan oleh daerah.
Selain itu, setiap daerah perlu melakukan penataan dan pengembangan sistem
basisdata daerah, terutama yang relevan bagi sistem inovasi daerah. Tindakan
yang perlu diprioritaskan adalah penyusunan basisdata daerah (misalnya
pengayaan statistik ”daerah dalam angka” dengan data/indikator penting tertentu
yang relevan dengan sistem inovasi daerah).
Pengembangan lembaga pendukung yang khusus/terspesialisasi dan sangat
dibutuhkan oleh daerah untuk mengembangkan potensi terbaiknya (potensi
keunggulannya) perlu didorong. Ini merupakan salah satu faktor penentu
(determinan) dalam menumbuhkembangkan daya saing atas faktor-faktor lokalitas.
3. Pengembangan penadbiran kebijakan inovasi, termasuk kelembagaan bagi
koherensi kebijakan inovasi. Mekanisme penadbiran yang perlu dikembangkan,
menurut hemat penulis perlu diarahkan untuk menata/mengembangkan/
memperbaiki beberapa pola mekanisme, terutama:
􀀻 Kelembagaan kebijakan. Bagaimana penataan pengambilan keputusan
tertinggi di daerah dan peran badan penasihat (advisory body), serta
pelaksana dan aktor lainnya dalam sistem inovasi daerah. Suatu
kelembagaan kolaboratif daerah bagi pengembangan sistem inovasi daerah,
peningkatan daya saing daerah atau sejenisnya (setidaknya bentuk ”Dewan
Riset Daerah/DRD” sebagaimana ketentuan UU No. 18 tahun 2002). Mungkin
bentuk ”Dewan Peningkatan Daya Saing Daerah” juga diperlukan sebagai
suatu bentuk kolaborasi multipihak dan forum pakar di daerah yang juga
berperan dalam perbaikan koordinasi, fasilitasi dan pemikiran tentang arah,
kebijakan strategis dan program utama di daerah berkaitan dengan
pengembangan sistem inovasi daerah atau peningkatan daya saing daerah.
Mekanisme koordinasi kebijakan inovasi perlu dikembangkan, baik di setiap
daerah, maupun antara suatu daerah dengan ”pihak luar” (daerah lain,
pusat/nasional, internasional).
􀀻 Strategi Inovasi Daerah (Kebijakan Strategis Inovasi Daerah). Ini terkait
dengan yang disampaikan pada butir 2, adanya dokumen strategis sangat
penting agar semua pihak yang berkepentingan dapat memahami arah,
prioritas, serta kerangka kebijakan pemerintah daerah di dalam
pengembangan sistem inovasi daerah (atau setidaknya di bidang iptek).
Dokumen strategis ini juga berfungsi sebagai acuan/pedoman bagi para
pemangku kepentingan dalam melaksanakan perannya dalam
pengembangan/penguatan sistem inovasi daerah. Dengan demikian
pengembangan/penguatan sistem inovasi menjadi agenda bersama para
pihak di daerah (termasuk peran-peran lembaga lain di daerah yang
bersangkutan).
􀀻 Program payung (umbrella program) yang menjadi alat pengarah fokus,
koordinasi dan kolaborasi di daerah maupun antara daerah dengan pihak lain
(termasuk pusat). Menjadikan pengembangan/penguatan sistem inovasi dan
daya saing daerah sebagai salah satu tema utama/sentral daerah (”Gerakan
Membangun Inovasi dan Daya Saing Daerah ~ GERBANG INDAH”)
merupakan salah satu contoh yang dapat dikembangkan. Prakarsa dari tema
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
312
yang lebih khusus juga merupakan suatu alternatif (misalnya ”Modernisasi
dan Inovasi UKM”).
􀀻 Mekanisme keterpaduan anggaran. Ini menyangkut koordinasi perencanaan
program yang didukung oleh beragam sumber pendanaan (dan mungkin juga
pelaku/aktor). Pola investasi dari APBD (provinsi, kabupaten/kota), APBN
(misalnya melalui program oleh lembaga nasional), mekanisme DAU dan
DAK, dan lainnya (misalnya swasta, lembaga internasional atau lembaga non
pemerintah).
􀀻 Mekanisme koordinasi terbuka.
Saluran-saluran formal (seperti regulasi atau instrumen kebijakan formal lain)
sebagai mekanisme yang lebih ”tertutup” tentu sangat penting untuk
pengembangan koordinasi. Tetapi hal ini juga sering tersendat karena
terkendala oleh kekakuan birokrasi yang berlebihan atau bahkan faktor
individu orang. Persoalan koordinasi memang bukan monopoli ”Pusat” atau
”Daerah” atau negara-negara berkembang secara umum. Negara maju pun
sebenarnya menghadapi persoalan serupa. Karena itu upaya-upaya
meminimalisasi hambatan koordinasi menjadi bagian agenda penting dalam
perbaikan kebijakan.
Perbaikan koordinasi khususnya dan perbaikan kebijakan pada umumnya harus
dilakukan melalui keterbukaan, komunikasi dan proses pembelajaran terutama
para pembuat kebijakan. Sebagai komplemen dan/atau penguat dari mekanisme
yang telah berkembang, mekanisme koordinasi terbuka dapat dikembangkan oleh
daerah. Melalui kehendak politik yang kuat, kepeloporan dan komitmen melakukan
perbaikan kebijakan serta didukung dengan perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi (khususnya internet), suatu prakarsa mekanisme koordinasi
terbuka berkaitan dengan pengembangan sistem inovasi dapat dikembangkan
oleh berbagai pihak.
4. Simplifikasi administratif. Upaya ini ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi sistem administratif, baik berkaitan dengan tugas-tugas pemerintahan
maupun pelayanan oleh lembaga pemerintah.
Reformasi kebijakan yang mempengaruhi inovasi di sektor bisnis dan pemerintah, serta
meningkatkan kolaborasi sinergis antara pemerintah dan swasta (non pemerintah),
khususnya dalam investasi dan aktivitas inovasi, merupakan bagian mendasar yang
sangat urgen untuk dilakukan oleh setiap daerah.
b. Pengembangan infrastruktur dasar bagi sistem inovasi. Beberapa tindakan, yang
tentunya perlu disesuaikan prioritasnya (termasuk sesuai kemampuan daerah), antara
lain adalah pengembangan/penguatan lembaga khusus terspesialisasi (misalnya
laboratorium tertentu) yang penting bagi pengembangan potensi daerah, infrastruktur
informasi dan komunikasi (termasuk misalnya internet) yang penting bagi akses dan
diseminasi data/informasi, pengetahuan dan pertukaran/komunikasi di daerah maupun
antara daerah dengan dunia luar, serta perkembangan inovasi dan difusi di daerah.
c. Pembiayaan/pendanaan inovasi. Sebagaimana telah dibahas, bahwa salah satu titik
lemah dalam sistem inovasi secara umum di Indonesia adalah rendahnya investasi
inovasi. Menurut hemat penulis, selain tujuan-tujuan kebijakan strategis lain yang lebih
spesifik dan akan diuraikan, ada suatu agenda kebijakan daerah yang sebenarnya
bersifat ”lintas isu” dan dalam praktiknya merupakan hal yang sangat penting yang selalu
turut menentukan di negara manapun. Agenda tersebut adalah menyangkut pembiayaan
inovasi di daerah (termasuk alih dan difusi inovasi/pengetahuan/teknologi, hasil-hasil
litbang atau praktik-praktik baik/terbaik, baik dalam pola komersial maupun non/semi
komersial).
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
313
Penetapan target/sasaran investasi litbang 3% (terhadap PDB) seperti dilakukan oleh Uni
Eropa, atau 2% seperti disarankan UNESCO atau besaran tertentu yang ditetapkan oleh
masing-masing negara, mungkin masih merupakan ukuran kuantitatif yang terlalu
”ambisius” bagi Indonesia, atau daerah-daerah umumnya di Indonesia. Namun, investasi
inovasi yang memadai sangatlah penting bagi pemajuan sistem inovasi. Penetapan
sasaran proporsi dana litbang terhadap PDB atau PDRB sebesar 1 – 2% atau lebih, atau
sasaran proporsi dana aktivitas inovasi terhadap PDB atau PDRB (termasuk iptek)
sebesar 2 – 3% atau lebih dalam kurun waktu 5 – 10 tahun mendatang nampaknya
merupakan salah satu upaya perbaikan investasi inovasi yang perlu dipertimbangkan.
Jika tidak, potensi semakin melebarnya ketertinggalan dari negara/daerah lain di masa
datang akan sangat besar.
Tentu ini tidak serta-merta harus diartikan bahwa seluruhnya perlu dilakukan oleh
pemerintah (termasuk pemerintah daerah), walaupun peran pemerintah dan pemerintah
daerah terutama di masa-masa awal pengembangan, sangatlah menentukan. Upaya
peningkatan inovasi justru perlu semakin didorong pula melalui investasi inovasi di
kalangan pelaku bisnis. Untuk itu, pemerintah, pemerintah daerah dan para pemangku
kepentingan perlu terus menggali dan mengembangkan alternatif terbaik bagi tujuan ini.
Ketersediaan “pembiayaan/pendanaan berisiko”, merupakan di antara yang selalu dinilai
sebagai faktor penentu perkembangan inovasi dan difusi di berbagai negara. Secara
umum upaya kebijakan untuk ini dilakukan melalui peran pemerintah (secara langsung,
misalnya melalui program/kegiatan iptek atau litbang) dan pengembangan/penguatan
lembaga pembiayaan berisiko, selain tentunya perbaikan sistem pembiayaan yang telah
dikenal luas (perbankan). Walaupun ini umumnya juga merupakan agenda nasional,
namun peran proaktif daerah dalam mengatasi tantangan ini akan sangat menentukan
seberapa cepat daerah yang bersangkutan kelak mampu memanfaatkan kemajuan
inovasi/pengetahuan/teknologi dibanding dengan daerah lain.
d. Peningkatan perlindungan dan pemanfaatan HKI. Keragaman sosial budaya, potensi
alam dan karakteristik daerah lainnya merupakan modal penting bagi daerah bukan saja
dalam memajukan perekonomian daerah, tetapi juga membangun citra daerah (regional
image) dan memposisikan daerah di arena nasional maupun internasional. Peningkatan
perlindungan dan pemanfaatan HKI sangat penting dalam meningkatkan keperdulian
para pihak di daerah tentang pentingnya HKI, memberikan perlindungan hukum dan
meningkatkan kemanfaatan potensi (aset-aset) terbaik setempat serta membangun
keungulan daerah (peningkatan daya saing daerah).
e. Perpajakan dan pengelolaan risiko inovasi. Tujuan yang relevan bagi daerah dalam hal
ini antara lain adalah mengembangkan sistem pajak/retribusi daerah dan pengelolaan
risiko inovasi secara kreatif untuk mendorong investasi inovasi di daerah.
f. Persaingan bisnis yang sehat dan adil. Dalam konteks ini, peran daerah bertujuan
”memastikan” persaingan bisnis yang sehat dan adil secara konsisten di daerah.
Termasuk dalam hal ini misalnya sistem pengadaan pemerintah, perkuatan kelembagaan
pelaku bisnis mikro, kecil, dan menengah, memfasilitasi tindakan-tindakan kolektif
(misalnya litbang kolektif), dan sejenisnya.
Hubungan antardaerah perlu dikembangkan. Penetapan pungutan oleh suatu daerah
yang berpotensi saling merugikan bagi pelaku bisnis dari daerah lain perlu dihindari
karena akan menjadi kontra produktif bagi perkembangan kemitraan yang penting bagi
perkembangan inovasi.
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
314
4.2 Kelompok ”Khusus” Kebijakan Inovasi Daerah
Seperti telah disampaikan, setiap daerah perlu mempertimbangkan beberapa tujuan kebijakan
strategis berikut yang juga sebenarnya merupakan agenda universal, walaupun tentu perlu
memerlukan penyesuaian secara kontekstual. Kelompok ini disebut ”khusus’ dalam arti memiliki
tujuan yang lebih terfokus/spesifik dalam pengembangan sistem inovasi daerah. Beberapa tujuan
kebijakan strategis tersebut adalah sebagai berikut:145
A. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung iptek/litbang serta mengembangkan
kemampuan absorpsi UKM
Tujuan utama agenda ini adalah mengembangkan/memperkuat atau mereorganisasi unsurunsur
lembaga/organisasi yang penting agar berfungsi tepat bagi pemajuan sistem inovasi daerah,
meningkatkan daya ungkit (leverage) peran iptek/litbang yang sesuai dan spesifik/terspesialisasi bagi
daerah, serta meningkatkan kemampuan UKM dalam mengakses dan memanfaatkan pengetahuan
(dalam arti luas) dan hasil litbang/inovasi serta mengembangkannya.
Kelembagaan dan aktivitas litbang di Indonesia yang berkembang sejauh ini lebih “bersifat
nasional.” Walaupun beberapa daerah memiliki (atau “ditempati”) oleh beberapa institusi litbang pusat
atau mulai memiliki lembaga litbang sendiri, namun umumnya hal ini belum banyak “berkontribusi”
bagi perkembangan/pemajuan secara khas daerah yang bersangkutan. Karena itu perlu upaya
“penyesuaian” agenda litbang dari berbagai lembaga tersebut (baik yang “dimiliki” oleh daerah
maupun institusi-institusi lintas daerah, nasional dan internasional) untuk dapat mendukung
perkembangan pemanfaatan (dan pengembangan) potensi terbaik daerah setempat, termasuk
perkembangan model kewirausahaannya. Daerah perlu mengembangkan perannya untuk semakin
mampu menjadi ”dirijen” dalam penggalangan dan pengkoordinasian pemanfaatan aset dan
kapabilitas lembaga/aktor yang (dapat) mempengaruhi sistem inovasi daerah. “Stimulasi/insentif”
untuk mendorong aktivitas litbang yang lebih berorientasi dan memberikan “nilai pragmatis” bagi
daerah setempat perlu dikembangkan. Hal demikian memang hampir tidak mungkin dilakukan oleh
pemerintah pusat, sehingga setiap daerah harus proaktif memprakarsainya.
Pemanfaatan pengetahuan/teknologi di daerah tidak selalu membangun/mengembangkan
industri/bisnis dengan menjadikan bidang pengetahuan/teknologi tersebut sebagai ”inti” aktivitas
bisnis/industri, tetapi juga dapat memanfaatkan pengetahuan/teknologi untuk meng-upgrade/
mendorong peningkatan proses nilai tambah, memperkuat jaringan rantai nilai dan/atau mereformasi
praktik bisnis. Karena itu, ketanggapan daerah mencermati dan memanfaatkan perkembangan
beberapa bidang iptek sangat penting, seperti misalnya:
􀂊 Pengetahuan yang berpotensi memberikan dampak luas dalam perekonomian daerah;
􀂊 Beberapa ”bentuk/bidang” teknologi (misalnya teknologi generik, infratechnologies dan/atau
proprietary technologies) yang bermanfaat bagi peningkatan kapabilitas UKM setempat dan
perbaikan aktivitas bisnis yang telah berkembang di daerah, serta pengembangan potensi
terbaik daerah. Namun pada tahap saat kini sebaiknya daerah, yang umumnya dihadapkan
pada keterbatasan pendanaan, lebih memprioritaskan pada aspek alih, komersialisasi dan
difusi teknologi yang relatif sudah memiliki ”kesiapan teknis” tinggi, kecuali bagi daerah yang
memiliki kemampuan pembiayaan relatif tinggi.
Sehubungan dengan itu, setiap daerah perlu berinisiatif melakukan dan/atau mendorong kajiankajian
yang sangat dibutuhkan terutama dalam pemajuan/pengembangan sistem inovasi dan daya
saing daerah masing-masing.
145 Tujuan-tujuan kebijakan strategis tersebut tentu hingga batas tertentu akan saling berkaitan satu dengan lainnya.
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
315
UKM adalah kelompok pelaku bisnis di setiap daerah. Perbaikan (upgrading) UKM juga
membutuhkan peningkatan kemampuannya dalam mengakses dan memanfaatkan pengetahuan
(termasuk teknologi, manajemen, praktik-praktik baik, dan lainnya) dan hasil litbang/inovasi serta
mengembangkannya dalam membangun/memperkuat kompetensinya. Karena itu, ”modernisasi UKM”
setempat perlu menjadi salah satu program prioritas setiap daerah.
B. Menumbuhkembangkan kolaborasi bagi inovasi dan meningkatkan difusi inovasi, praktik
baik/terbaik dan/atau hasil litbang
Tujuan utamanya adalah mendorong interaksi produktif multipihak yang saling menguntungkan
bagi perkembangan inovasi dan difusinya, penyebarluasan praktik baik dan hasil-hasil litbang yang
sesuai dengan potensi terbaik daerah. Dampak inovasi atau pengetahuan/teknologi secara signifikan
atas kemajuan ekonomi daerah sebenarnya akan ditentukan oleh seberapa cepat dan luas difusinya
dapat didorong di daerah yang bersangkutan. Bagi negara seperti Indonesia, agenda ini merupakan
faktor yang penting dibanding dengan di negara maju, mengingat sebagian besar pelaku bisnis (yaitu
UKM) pada dasarnya merupakan pelaku yang relatif tertinggal kemampuan dan aksesibilitasnya
terhadap beragam kemajuan teknis. Upaya yang perlu diperhatikan juga mencakup ketersediaan dan
kesiapan teknologi (sisi penyediaan) dan kemampuan absorpsi pengguna baik swasta maupun
pemerintah (sisi permintaan), serta keterkaitan/interaksi produktif dan mekanisme transaksi antara
keduanya. Daerah perlu proaktif dalam mengembangkan jaringan kerjasama, baik di daerah sendiri
maupun dengan pihak lain di ”luar” daerah yang bersangkutan.
Komersialisasi inovasi teknologi dan/atau hasil-hasil litbang yang sangat penting bagi pemajuan
aktivitas ekonomi yang telah berkembang di daerah ataupun yang belum berkembang namun
didukung oleh potensi khas keunggulan lokasional daerah perlu menjadi prioritas program daerah.
C. Membangun budaya inovasi di daerah
Tujuan agenda ini adalah membangun landasan budaya kreatif-inovatif dan kewirausahaan,
menumbuhkembangkan perusahaan-perusahaan baru (pemula) yang inovatif, serta memperkuat
kohesi sosial di daerah. Persoalan ketertinggalan bisnis dari pesaing, kemampuan menyerap
kemajuan iptek, penyesuaian diri terhadap perubahan persaingan bisnis yang dinamis, serta
rendahnya perkembangan perusahaan baru yang inovatif membutuhkan perhatian yang sangat serius
dari banyak pihak. Pemerintah daerah sudah semestinya proaktif mengatasi persoalan/tantangan ini
di daerah masing-masing, secara sendiri maupun bekerjasama dengan beragam pihak, termasuk
pemerintah pusat.
Untuk mendorong budaya inovasi di daerah, setiap daerah perlu “bersaing/berlomba” dalam
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bisnis, kewirausahaan, dan inovasi di
daerah masing-masing. Pengembangan SDM daerah seyogyanya tidak diartikan secara sempit
sekedar “mengistimewakan putra asli daerah” (atau “semboyan” lain yang lebih sebagai sentimental
kedaerahan sempit sejenisnya), tetapi benar-benar membangun talenta, bahkan “menarik” talenta
(dari luar daerah) yang benar-benar sesuai/dibutuhkan bagi kemajuan daerah.
Sistem pendidikan di daerah perlu terus dikembangkan. Dalam hal ini, perlu ditekankan bahwa
pengembangan budaya kewirausahaan perlu dilakukan sejak dini. Karena itu, penumbuhan sikap dan
keterampilan kreatif dan kewirausahaan perlu dikembangkan baik melalui pendidikan formal, non
formal maupun informal. Daerah sebaiknya juga mempertimbangkan agar “cita-cita daerah” yang
diidealkan dan menjadi konsensus bersama diperkenalkan melalui “muatan lokal” dalam pendidikan
untuk meningkatkan keperdulian yang sedini mungkin dalam masyarakat tentang daerahnya. Daerah
sebaiknya memprakarsai beberapa tindakan seperti misalnya: meningkatkan keperdulian masyarakat
(public awareness); meningkatkan dan memperluas pendidikan dan pelatihan di seluruh wilayah
daerah dalam bidang/topik yang kontekstual bagi daerah; mendorong mobilitas siswa/peneliti/
pengajar dalam aktivitas inovasi dan difusi; meningkatkan inovasi dan manajemen, termasuk di
lingkungan pemerintah (public authorities).
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
316
SDM bertalenta sangat penting bagi perkembangan inovasi dan daya saing daerah. Menarik
dan mempertahankan talenta yang diperlukan oleh daerah merupakan agenda yang perlu
dipertimbangkan. Dalam kerangka jangka panjang, pengembangan SDM bukan sebatas memberikan
pelatihan-pelatihan, tetapi juga peningkatan dan penyebarluasan talenta di daerah secara lebih
mendasar, terutama untuk menyuburkan perkembangan generasi baru yang kreatif-inovatif di daerah.
“Pembelajaran sumur hidup” (life-long learning) merupakan agenda penting jangka menengahpanjang
bagi daerah dalam mengembangkan sistem inovasi dan daya saing daerah.
Beberapa tindakan untuk menumbuhkembangkan perusahaan-perusahaan baru (pemula) yang
inovatif di daerah perlu dikembangkan atas inisiatif daerah sendiri. Pengenalan/pendidikan dini di
bidang kewirausahaan, pengembangan kewirausahaan di lingkungan pendidikan tinggi dan lembaga
litbang, model inkubator, taman iptek, pelatihan dan pola magang (internship/apprenticeship),
pengembangan lembaga keuangan modal ventura, pengembangan skema-skema insentif keuangan,
pengelolaan risiko, dan pengadaan pemerintah adalah di antara beberapa tindakan (kombinasi
tindakan) yang perlu dipertimbangkan untuk ini.
Sistem inovasi yang kuat dan sesuai dengan karakteristik sosial budaya setempat tidak saja
akan menyuburkan proses peningkatan nilai tambah bisnis dan ekonomi (added value), tetapi juga
lebih memungkinkan bagi penguatan nilai terintegrasi (integrated value), memperbesar modal sosial
(social capital) bagi pemajuan sosial budaya dalam masyarakat, yang secara timbal-balik juga
memperkuat sistem inovasi. Karena itu, nilai-nilai sosial budaya setempat yang positif perlu
dikembangkan dan memperoleh perhatian dan upaya lebih sungguh-sungguh. Di antara tindakan
yang perlu dilakukan adalah inventarisasi (dan dokumentasi), pengembangan/inovasi dan
pemanfaatan pengetahuan/teknologi masyarakat (indigenous knowledge/technology), serta
perlindungan hukumnya. Langkah-langkah yang mendorong kerjasama/kolaborasi antar berbagai
komponen masyarakat dalam aktivitas pengetahuan/inovasi (termasuk yang bersifat “non-teknologi”)
sangat penting untuk agenda ini.
D. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan
klaster industri daerah dan nasional
Tujuan utamanya adalah mendorong investasi dan aktivitas dalam sistem inovasi sejalan,
saling melengkapi dan memperkuat dengan penguatan rantai nilai dalam jaringan ataupun klaster
industri di daerah. Seperti telah disampaikan, pengembangan sistem inovasi dan prakarsa klaster
ibaratnya adalah mata uang logam bersisi ganda yang saling memperkuat (atau memperlemah).
Instrumen kebijakan inovasi perlu diarahkan untuk mendorong sehimpunan aktor (bisnis dan non
bisnis) dalam jaringan atau klaster industri terutama yang memiliki basis potensi terbaik daerah, bukan
kepada perusahaan secara individual. Bentuk instrumen kebijakan yang mengurangi hambatan
kerjasama antara knowledge pool dengan kalangan bisnis daerah, mendorong pertukaran
pengetahuan, mengurangi kegagalan informasi, serta menstimulasi formasi dan penguatan kolaborasi
sinergis (misalnya aliansi strategis) di daerah dan antardaerah perlu menjadi prioritas untuk tujuan
kebijakan ini. Tindakan yang penting dalam hal ini (dan tentunya akan terkait dengan agenda lainnya),
misalnya pengembangan litbang unggulan dan strategis daerah dan/atau sinkronisasi program
nasional dan daerah (contohnya adalah riset-riset unggulan dan strategis KRT, program nasional
seperti pengembangan klaster-klaster industri dari berbagai lembaga nasional/lembaga sektoral dan
non sektoral pusat, pengembangan perusahaan pemula berbasis teknologi, program modernisasi
UKM, dan lainnya).
E. Penyelarasan dengan perkembangan global
Tujuan utama upaya ini adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesiapan
penentu kebijakan maupun para pemangku kepentingan di daerah agar semakin dapat memahami
dan menguasai perkembangan global untuk dimanfaatkan bagi kepentingan daerah (pelaku usaha
dan masyarakat di daerah serta pemerintah daerah) dan kemajuan daerah.
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
317
Kemampuan daerah untuk menghadapi dinamika perkembangan global akan semakin
menentukan posisi daerah yang bersangkutan secara nasional maupun di arena pergaulan
internasional. Dengan perkembangan iptek yang semakin cepat dan kecenderungan global yang terus
berkembang, daerah tak mungkin mengabaikan kenyataan ini dan menganggap tidak akan
berpengaruh terhadap situasi daerah. Karena itu, upaya proaktif atas hal ini, terutama penyiapan
berbagai tatanan di daerah, intelijen inovasi dan bisnis, pelaksanaan audit teknologi, pengelolaan dan
pemanfaatan HKI serta pengembangan standarisasi dan kerjasama internasional yang kontekstual
dengan masing-masing daerah perlu menjadi agenda kebijakan daerah.
5. PENJABARAN
Seperti telah dibahas, selain perkembangan perundangan iptek (seperti UU No. 18 tahun 2002
misalnya), beberapa produk hukum lain yang terkait dengan iptek di Indonesia juga ditetapkan
(contoh: perundangan yang berkaitan dengan HKI). Namun tampaknya produk-produk legal tersebut,
selain sebagian masih dalam proses penjabaran yang lebih operasional (misalnya UU No. 18 tahun
2002), masih belumlah cukup untuk dapat mendorong aktivitas iptek dalam memenuhi berbagai
harapan dan kebutuhan masyarakat.
Di antara tantangan ke depan, upaya ”penataan/perbaikan” kebijakan dalam beragam tataran
merupakan prioritas yang perlu terus dilakukan. Upaya tersebut perlu mencakup perbaikan secara
signifikan koordinasi dan koherensi kebijakan, baik antarsektor dan antarpemerintahan daerah
maupun antarpemerintahan yang berbeda (Kabupaten/Kota dengan Provinsi dan Pusat).
Selain itu, semua pihak perlu mendorong prakarsa pengembangan/penguatan atau perbaikan
(kebijakan dan program operasional). Sebab, tanpa ada tindakan, semuanya hanya akan berhenti
pada sekedar ”wacana.” Bagi setiap daerah, isu/tantangan urgen yang tidak dapat diabaikan juga
berkaitan dengan “keperdulian” (awareness), pemahaman dan usulan masukan terkait dengan kedua
hal yang telah disampaikan tersebut, serta prakarsa/inisiatif atau kepeloporan, terutama dalam
konteks masing-masing daerah.
Agenda mengembangkan/memperkuat sistem inovasi daerah bukanlah sekedar agenda satu
instansi semata, melainkan harus dilakukan pada keseluruhan kelembagaan di daerah (bukan
kerangka satu lembaga saja), dan potensi kolaborasi sinergis dengan pihak lain (misalnya lembaga
nasional, perguruan tinggi, daerah lain, pihak internasional) sesuai potensi terbaik daerah. Untuk
maksud tersebut, cakupan bidang kebijakan juga sebaiknya berfokus pada ”pemajuan
pengetahuan/teknologi, inovasi dan daya saing daerah” bukan sekedar bidang iptek. Sementara itu,
cakupan bidang isu sebaiknya berfokus pada tantangan di depan untuk pemajuan daerah, bukan
sekedar persoalan yang dihadapi di masa lalu.
Dalam kaitan ini, pelajaran dari pengalaman praktik pihak lain (termasuk contoh prakarsa) dan
kerangka umum/generik dapat dimanfaatkan, namun perlu disesuaikan dengan konteks masingmasing
daerah.
Kerangka kebijakan sangat penting. Namun hal ini belum menjamin bahwa setiap kebijakan
atau keseluruhan kebijakan akan memberikan dampak signifikan di daerah sesuai dengan harapan.
Untuk itu, setiap kebijakan sebaiknya dirancang instrumennya sebaik mungkin agar dapat memenuhi
“kriteria kebijakan yang baik” sebagaimana telah disampaikan dalam Bab 3. Seperti diilustrasikan
pada Gambar 9.3, para pihak pemangku kepentingan juga perlu terus mengembangkan pola-pola
implementasi untuk meningkatkan proses pembelajaran kebijakan yang lebih baik di daerah. Karena
melalui proses demikianlah perbaikan kebijakan inovasi dapat dikembangkan.
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
318
• ANALISIS DAERAH
• STRATEGI DAERAH
AKTIVITAS BASELINE
• KAJIAN PENDUKUNG
• MASUKAN-MASUKAN
• REKOMENDASI
ANALISIS/KAJIAN KEBIJAKAN
• RANCANGAN
• RUMUSAN &
KEPUTUSAN
KEBIJAKAN
FORMULASI KEBIJAKAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
• MILESTONE
• UMPAN BALIK
PEMANTAUAN DAN
EVALUASI KEBIJAKAN
OPERASIONALISASI
Agenda
Kebijakan
Rekomendasi
Kebijakan
• Instrumen kebijakan:
– Aspek legal
– Pengorganisasian/
kelembagaan
– Mekanisme operasional
• Manajemen pelaksanaan
• Input
• Proses
• Keluaran
• Dampak
Masukanmasukan
Gambar 9.3
Kerangka Kerja Umum bagi Proses Kebijakan dalam Pengembangan Sistem Inovasi Daerah.
Dalam hal ini, sangat penting bahwa daerah senantiasa:
􀂊 Mengembangkan pelibatan/partisipasi para pemangku kepentingan (stakeholders) dan
komunikasi yang efektif. Ini antara lain berkaitan dengan aktivitas:
􀂅 Penataan basisdata/indikator penting, analisis perbandingan, benchmarking, upaya
foresight, pemetarencanaan (roadmapping) dan pengembangan strategi daerah;
􀂅 Desain dan implementasi kebijakan;
􀂅 Pemantauan (monitoring) dan evaluasi yang terintegrasi dalam siklus kebijakan dan
program;
􀂅 Koordinasi “horisontal“ lintas sektor dan administratif (termasuk kerjasama internasional).
􀂊 Koordinasi antara daerah dengan daerah lain, daerah dengan nasional (pusat), dan daerah
dengan komunitas internasional.
􀂊 Memastikan keterbukaan (transparansi) kebijakan dan akuntabilitasnya.
􀂊 Mengembangkan dan mengimplementasikan pola pembelajaran kebijakan secara konsisten.
Sebagai bahan pertimbangan, kerangka pola pembelajaran tersebut dapat dilihat pada Tabel
9.1.
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
319
Tabel 9.1 Kerangka Pola Pembelajaran Kebijakan Inovasi Daerah.
Pembelajaran dalam
organisasi
(pembuat/pelaksana
kebijakan)
Pembelajaran dalam
sistem dengan
pengguna/mitra dalam
sistem inovasi
Pembelajaran
antarsistem dengan
perbandingan dengan
”pihak lain”
Pengetahuan tacit 􀂃 Pengalaman.
􀂃 Kurva pembelajaran,
dan proses internal
organisasi.
􀂃 Pembelajaran
antarorganisasi.
􀂃 Berbagi visi.
􀂃 Proses partisipatif
dalam pengembangan
strategi bersama,
kebijakan dan/atau
program.
􀂃 Diskusi daerah,
antardaerah,
nasional dan
internasional.
􀂃 Peer reviews.
􀂃 Pertukaran
pengalaman.
Pengetahuan yang
terkodifikasi
(codified knowledge)
􀂃 Evaluasi internal.
􀂃 Sistem anggaran, dan
administratif.
􀂃 Dokumen strategis
organisasi, termasuk
sasaran-sasaran
strategis yang lebih
terukur.
􀂃 Diseminasi dokumen
strategis dan/atau
dokumen pendukung
(misalnya hasil kajian,
dokumen panduan,
praktik baik atau
lainnya).
􀂃 Sistem pemantauan
dan evaluasi daerah
(dan nasional).
􀂃 Benchmark nasional
dan internasional.
􀂃 Pengembangan
basisdata.
􀂃 Penggunaan
indikator
(scoreboards)
kebijakan.
􀂃 Mekanisme
koordinasi terbuka.
Penjabaran kerangka dan indikasi tindakan kebijakan yang disampaikan pada bagian
sebelumnya, biasanya perlu dituangkan dalam bentuk rencana tindak (program dan/atau kegiatan)
dengan periode waktu tertentu (misalnya tahunan). Suatu kerangka logis (logical framework) yang
dikenal cukup luas biasanya perlu disusun untuk merencanakan suatu/serangkaian program dan
kegiatan beserta aspek-aspek pentingnya. Mengingat ini akan lebih bersifat ”kasus spesifik” (termasuk
kemungkinan spesifik tempat), detail tentang hal ini tidak akan didiskusikan dalam buku ini. Kerangka
kebijakan seperti yang didiskusikan dalam Bab 3 (lihat misalnya simplifikasinya dalam ilustrasi
Gambar 3.4 – 3.7) merupakan salah satu alat/cara yang dapat dipertimbangkan dalam analisis dan
desain instrumen kebijakan tertentu yang direncanakan oleh daerah.
Disarankan bahwa daerah mempertimbangkan pengembangan ”program payung” yang
dijabarkan dari strategi inovasi daerah (beserta kerangka dan instrumen kebijakannya) sebagai fokus
agenda utama di daerah, dan dapat berfungsi sebagai alat koordinasi, keterpaduan dan
pengembangan sinergi para pihak, baik di daerah maupun antara daerah dengan pihak dari ”luar”
daerah (ilustrasi Gambar 9.4).
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
320
Aktor 2
Aktor 1
Program/Kegiatan
Tematik “Sektoral/Klaster”
Peran
“Daerah”
Peran dari
“Luar
Daerah”
Aktor B
Aktor A
Program/Kegiatan
Aktor 4
Aktor 3
Program/Kegiatan
Tematik “Horisontal”
Peran
“Daerah”
Peran dari
“Luar
Daerah”
Aktor D
Aktor C
Program/Kegiatan
• TUJUAN STRATEGIS
• KERANGKA DAN
INSTRUMEN
KEBIJAKAN
STRATEGI INOVASI
• RANCANGAN
PROGRAM & KEGIATAN
• MEKANISME, DSB.
PROGRAM PAYUNG
Prioritas
Gambar 9.4
Ilustrasi Kerangka Program dalam Pengembangan Sistem Inovasi Daerah.
6. CATATAN PENUTUP
Dalam upaya membangun keunggulan daya saing daerah, pengembangan sistem inovasi
daerah kini semakin urgen. Dalam kaitan inilah kebijakan strategis pengembangan inovasi daerah
sangat diperlukan sebagai pendorong, pemerkuat, dan pemercepat proses aliran inovasi dan difusi di
daerah dalam mendukung pemajuan/modernisasi ekonomi daerah. Sehubungan dengan itu, perlu
ditekankan kembali di sini bahwa setiap daerah perlu proaktif berprakarsa untuk:
􀂊 Membuat/menetapkan inovasi sebagai “jantung” pembaruan/pembangunan dalam keseluruhan
bidang ekonomi di setiap daerah;
􀂊 Memperbaiki kerangka dan instrumen legislasi serta iklim daerah yang mendukung/kondusif
bagi perkembangan inovasi;
BAB 9 KERANGKA KEBIJAKAN INOVASI DAERAH 􀂄
321
􀂊 Mengembangkan pasar yang dinamis bagi inovasi, pengetahuan/teknologi dan praktik-praktik
baik;
􀂊 Meningkatkan investasi dalam inovasi;
􀂊 Memperkuat manajemen bidang-bidang kebijakan;
􀂊 Mengembangkan keterampilan/kapasitas bagi pembelajaran kebijakan inovasi;
􀂊 Mengembangkan penadbiran inovasi (innovation governance) yang efisien, termasuk kerangka
dan instrumen-instrumen kebijakan yang fokus sesuai dengan konteks daerah.
Agar prakarsa kebijakan inovasi daerah dapat efektif, efisien dan memberikan dampak
bangkitan yang signifikan bagi pemajuan daerah, seyogyanya setiap daerah melakukan hal berikut:
1. Menempatkan kebijakan inovasi sebagai salah satu prioritas dan bagian integral dari kebijakan
daerah, dan mengembangkan:
a. Kerangka kebijakan inovasi daerah.
b. Koherensi pengembangan sistem inovasi daerah (SID) sejalan dengan pengembangan
struktur dan kelembagaan ekonomi dan sosial-budaya daerah.
c. Koherensi kebijakan dan kelembagaan SID yang selaras dan saling memperkuat dengan
kebijakan dan kelembagaan ekonomi dan sosial-budaya daerah.
d. Koherensi kebijakan inovasi daerah dengan kebijakan inovasi nasional.
2. Mengembangkan instrumen-instrumen kebijakan inovasi daerah secara selektif sesuai dengan
kebutuhan dan potensi terbaik daerah:
a. Peningkatan intensitas pembelajaran: jaringan dan interaksi antardaerah, nasional,
regional dan internasional.
b. Investasi dalam pengetahuan/teknologi/inovasi (termasuk litbang) di sektor pemerintah,
swasta, dan non-pemerintah lain di daerah.
c. Mendorong inovasi oleh swasta.
d. Penentuan selektif program/aktivitas inovasi daerah sesuai dengan potensi terbaik
daerah.
3. Melakukan pemutakhiran kerangka dan instrumen kebijakan inovasi daerah sejalan dengan
perkembangan.
Banyak pihak yang berkompeten (termasuk lembaga litbang nasional dan perguruan tinggi,
serta pihak-pihak internasional) yang seyogyanya proaktif membantu daerah dalam upaya/prakarsaprakarsa
untuk mendukung proses tindakan kebijakan inovasi daerah. Keterlibatannya di daerah
dalam hal ini terutama dalam bentuk:
􀂅 Mengkaji kekhususan sistem;
􀂅 Memahami basis pengetahuan yang relevan;
􀂅 Mengkaji dinamika sistem;
􀂅 Koordinasi sistem;
􀂅 Identifikasi eksternalitas pengetahuan, terutama berkaitan dengan untraded aliran
pengetahuan.
􀂄 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
322
Kekhasan faktor lokalitas, yang dinilai semakin menentukan daya saing global merupakan
aspek yang perlu mendapat perhatian berbagai pihak. Generalisasi yang berlebihan dan
mengabaikan faktor lokal yang penting dalam pengembangan sistem inovasi akan sangat berpotensi
membuat upaya yang dilakukan menjadi sia-sia. Pendekatan sistem inovasi pada intinya mempunyai
arti pragmatis perlunya prakarsa-prakarsa yang efektif pada berbagai dimensi:
􀂊 Daerah: Prakarsa harus disesuaikan dengan lingkungan/karakteristik khusus dari keragaman
daerah (kekhasan lokasional);
􀂊 “Sektoral”: Setiap prakarsa perlu mempertimbangkan bahwa kenyataannya sektor (aktivitas
bisnis) mempunyai pola (bisnis maupun non bisnis) yang berbeda;
􀂊 “Lintas sektor (klaster industri)”: Setiap klaster yang berbeda pada dasarnya memiliki arah
fokus, jaringan, dan rantai nilai atas peran dan interaksi para aktor, maupun pola (bisnis
maupun non bisnis) yang berbeda pula yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan
prakarsa;
􀂊 Nasional: Bagaimanapun, Indonesia mempunyai karakteristik dan lingkungan (beserta
keragaman dan kekhasannya) serta kondisi yang berbeda dengan negara lain, yang perlu
dipertimbangkan dalam mengembangkan prakarsa pengembangan sistem inovasi.
Upaya pemajuan sistem inovasi daerah semakin penting dalam peningkatan daya saing daerah
yang sekaligus juga merupakan pilar daya saing nasional. Oleh karena itu, pembuat kebijakan dan
para pemangku kepentingan (pada tataran daerah maupun nasional) perlu meningkatkan prakarsaprakarsa
bersama (kolaboratif) terutama dalam mendorong:
􀂅 Intensifikasi aktivitas inovasi dan kebijakan inovasi di seluruh daerah di Indonesia;
􀂅 Perbaikan kerangka dan koordinasi kebijakan inovasi;
􀂅 Pendinamisan pasar pengetahuan/teknologi/inovasi domestik dan internasional;
􀂅 Peningkatan investasi dalam pengetahuan/inovasi;
􀂅 Peningkatan keterampilan bagi inovasi;
􀂅 Efisiensi penadbiran inovasi.
Sebagaimana diskusi pada bab-bab lainnya dalam buku ini, kerangka kebijakan dalam bab ini
lebih merupakan kerangka kebijakan yang masih bersifat umum. Walaupun begitu diharapkan dapat
memberikan masukan sebagai bahan perumusan kebijakan inovasi daerah. Mutatis mutandis apa
yang dibahas dapat menjadi bahan pertimbangan untuk prakarsa-prakarsa kongkrit di daerah di
seluruh wilayah Nusantara.

MEMBANGUN PTAIS

MEMBANGUN
PENDIDIKAN TINGGI AGAMA ISLAM SWASTA (PTAIS)
BERBASIS KERAKYATAN


A. Pendahuluan
Pengembangan Pendidikan Tinggi (PT) secara historis telah mengalami berbagai perubahan baik yang menyangkut konsep maupun praksis, metode dan media pembelajaran maupun substansi kurikulum. Dan tentunya perubahan-perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh dan mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, perubahan tersebut tentunya merupakan salah satu cara atau strategi untuk menjawab tantangan pendidikan yang semakin kompleks, baik dari segi input (masukan), proses maupun out put-nya (lulusan).
Dari sisi input pendidikan tinggi, kapasitas daya tampungnya cukup memadai. Bahkan pada tahun 1990-an, terjadi fenomena yang cukup menarik yaitu dengan dibukanya perguruan tinggi ditingkat kabupaten / daerah, baik yang berbasis pendidikan umum maupun agama. Kehadiran perguruan tinggi ditingkat daerah tentunya berpengaruh positip bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat setempat. Tetapi, keberadaan perguruan tinggi di daerah ternyata kurang mendapat respon dari para calon mahasiswa. Mereka lebih senang dan merasa bangga jika bisa kuliah ke perguruan tinggi vaforit yang berada di ibukota propensi. Sementara perguruan tinggi yang ada di daerah menampung mereka yang tidak mampu, baik dari sisi IQ (intelegent Quintent) maupun materi (economi). Sehingga hampir sebagian besar perguruan tinggi yang ada di daerah dalam setiap program studinya hanya memiliki tidak lebih dari 500 mahasiswa. Jumlah yang sangat minim. Mengapa hal demikian bisa terjadi ? Sebab, mereka yang secara intelektual memadai telah diserap oleh pendidikan tinggi negeri di ibukota propensi, sedangkan yang berekonomi tinggi terserap oleh pendidikan tinggi swasta maju yang kebanyakan juga berada di ibukota propensi. Jadi bisa dikatakan bahwa mahasiswa sebagai input perguruan tinggi swasta di daerah adalah mereka yang berkualitas rendah, baik secara intelektual maupun ekonomi.
Jumlah mahasiswa yang minim akan mempengaruhi perolehan nominal (dana) sebuah perguruan tinggi. Padahal perguruan tinggi merupakan salah satu institusi yang membangun dan mencetak sumber daya manusia (human reusouches). Proses pembangunan memerlukan dana pembangunan (capital investment) yang besar. Secara konseptual, modal pembangunan terdiri dari tiga hal penting yang tidak mungkin dipisahkan antara yang satu dengan lainnya, yaitu modal manusia (human investment), modal uang (capital investment) dan modal sosial (sosial capital; trust: sikap amanah), atau masyarakat yang saling percaya dan bisa dipercaya.
[1] Itulah sebabnya mengapa jumlah mahasiswa merupakan salah satu faktor dominan dari sebuah perguruan tinggi. Meskipun tidak harus selalu mengukur lembaga pendidikan tinggi semata-mata dari aspek ekonomi. Lembaga-lembaga pendidikan non profit sekalipun –lembaga yang tidak mengharapkan penghasilan dari usaha penyelenggaraan pendidikan— mengakui bahwa dengan jumlah mahasiswa yang minim seperti itu, masih jauh berada di titik impas untuk bisa menyelenggarakan program pendidikan yang sistematis dan kondusif dalam jangka panjang, apalagi berkualitas.
Ketika proses pembelajaran sebuah lembaga pendidikan tinggi tidak sistematis dan kurang kondusif maka kemungkinan besar, bila tidak boleh dikatakan pasti, sumber daya manusia yang dihasilkan (out put) tidak akan berkualitas. Jika hal demikian terjadi, maka perguruan tinggi yang secara ideal diharapkan mampu mencetak manusia (generasi) masa depan yang memiliki ketangguhan jasmani dan rohani, memiliki kemampuan (capabilitas) untuk menghadapi kehidupan riel yang serba kompleks, tetapi kenyataannya malah menambah jumlah “pengangguran intelektual.” Labelisasi seperti itu tentunya muncul dari kenyataan bahwa banyak alumni pendidikan tinggi yang memang menemui kendala ketika harus memasuki dunia kerja.
Hal demikian tentu bertolak belakang dari cita-cita bangsa yang telah digariskan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, bahwa secara garis besarnya ada tiga sumbu pendidikan, yaitu keimanan, ketaqwaan yang bermuara pada akhlak mulia, memiliki ilmu yang bermuara pada kemampuan dan kemandirian serta memiliki perilaku demokratis dan tanggung jawab sosial.
Di sisi lain, pendidikan tinggi memiliki tujuan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999 pasal 2, yaitu: Pertama, menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya hasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Kedua, Mengembangkan dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta memperkaya penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Di era otonomi daerah seperti sekarang ini, sesuai dengan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pendidikan termasuk bidang garapan wilayah kabupaten / kota madya.
[2] Sehingga apapun dan bagaimanapun kenyataannya, pendidikan adalah aset daerah yang memerlukan kegiatan sinergi dengan pengembangan potensi wilayah masing-masing. Artinya, bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat secara bersama-sama. Sehingga lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah wilayah setempat.
Makalah ini sengaja tidak mengangkat paradigma pengembangan pengajaran (kurikulum) di perguruan tinggi, sebab hal itu di luar jangkauan kami. Tetapi, makalah ini akan memberikan tawaran konsep, bagaimana membangun atau menciptakan perguruan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) di daerah yang berkualitas dan kompetitif dan mandiri tanpa tergantung pada dana subsidi negara dan SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) dari mahasiswa. Yaitu suatu pendidikan yang dalam proses belajar dan mengajar tidak hanya bersumber dari dana mahasiswa dan pemerintah tetapi mencoba untuk mencari dan menekuni sumber dana lain sebagai gerakan diversifikasi usaha pendidikan tinggi. Metode pengkajian dalam makalah ini menggunakan metode deskriptif eksploratif, yaitu menggambarkan kondisi PTAIS baik secara umum maupun detail. Dari gambaran tersebut akan dianalisa dengan metode SWOT (strenght, weakness, opportunitiess, dan treath) sebagai upaya untuk menemukan solusi yang terbaik.

B. Pembahasan
1. Peran Pendidikan Tinggi
Salah satu institusi yang dianggap memiliki peran penting dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) tentunya adalah perguruan tinggi. Anggapan ini tidaklah salah sebab lembaga pendidikan tinggi merupakan tempat bagi persemaian wawasan, sikap dan tindakan yang relevan dengan bakat, kemampuan dan sekaligus juga tantangan. Pendidikan tinggi adalah jendela untuk menatap dunia kehidupan yang luas dan kompleks. Begitu kompleksnya, sehingga banyak stereotip yang delabelkan pada lulusan perguruan tinggi, seperti tidsk siap memasuki lapangan kerja, kalang bersaing, tidak profesional, dan sebagainya. Melihat realita seperti itu, muncullah gagasan untuk kurikulum pendidikan tinggi. Mulai dari konsep link and match, competency base, dan sebagainya. Perubahan-perubahan itu dibuat, sebagai upaya untuk mengurangi kesenjangan antara dunia pekerjaan dengan alumni pendidikan tinggi.
Apapun realitasnya, kita sedang berada dalam alam kompetisi kehidupan yang semakin kuat. Melalui Era perdagangan bebas di wilayah Asia Tenggara 2003 (Asean Free Trade Area) dan Asia Pasifik 2020, maka sesungguhnya kita sedang berpacu dengan waktu untuk menantikan apakah SDM Indonesia mampu berkompetisi di tengah persaingan bebas tersebut. Sungguh ironos, jika SDM Indonesia yang melimpah itu terdesak dan kalah dengan SDM dari negara lain. Dalam kasus TKI di luar negeri saja, TKI yang berasal Fhilipina lebih diperhitungkan dibanding dengan TKI dari Indonesia. Hal tersebut hanya disebabkan oleh penguasaan bahasa yang berbeda. Tenaga kerja Fhilipina yang berkultur terbuka lebih siap dalam menghadapi tantangan berbahasa Inggris dibanding dengan TKI Indonesia yang kebanyakan berasal dari lapisan masyarakat pedesaan yang jauh dari perkembangan.
[3]
Pendidikan tinggi yang hakikatnya didirikan untuk menjawab tantangan mengenai pentingnya sarjana yang memiliki kualifikasi keahlian sesuai dengan bidang atau profesinya. Dalam hal ini, maka terdapat pembidangan ilmu sesuai dengan nomenklaturnya masing-masing. Oleh karena itu, dikenal perguruan tinggi berbasis teknikal-operasional yang memproduk sarjana hard science dan konseptual-teoritikal/implementatif yang memproduk sarjana soft science.
Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI), didirikan dalam rangka untuk menjawab tantangan kedepan, yaitu mencetak sarjana yang memilki kualifikasi dalam bidang agama Islam. Sesuai dengan pembidangan di atas, alumni PTAI adalah sarjana yang tergolong ke dalam tataran keilmuan yang konseptual-teoritikal/implementatif. Sebagai ciri keilmuan yang konseptual-teoritikal /implementatif adalah keahlian yang tidak semata-mata implementatif, tetapi juga memilkki keahlian konseptual, yang berciri khas analitik. Keahlian analitik diperlukan sebab mereka berhadapan dengan perubahan sosial secara terus-menerus yang tentunya juga mengharuskan perubahan paradigma dalam berpikir.
Ilmu-ilmu agama memiliki kaitan dengan dunia sosial-antropologis, bahkan politik dan ekonomi, sehingga pengembangan keilmuan Islam juga harus tertata dengan apik. Sehubungan dengan itu, maka produk PTAI akan memilki profil sebagai sarjana yang memiliki kemampuan untuk melakukan analisis terhadap perubahan-perubahan sosial-relegius berdasarkan pendekatan keilmuan yang relevan.
Peranan pendidikan tinggi dalam pengembangan SDM dapat dicirikan pada tiga hal. Pertama, mencetak manusia yang bertanggung jawab. Menurut A. Qadri Azizi, bahwa ada kaitan antara fitrah, akhirat dan tanggung jawab. Setiap perbuatan pasti ada tanggungjawabnya yang berkonsekwensi akhirat. Tanggung jawab tidak hanya sekedar administratif di dunia, tetapi lebih jauh secara substantif di akhirat. Melalui tanggung jawab inilah akan tercipta etika sosial, karena setiap tindakan dalam bentnuk apapun akan memiliki nilai tanggung jawab baik dunia maupun akhirat.
[4] Kedua, Peran kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir mengajarkan pada kita bahwa ilmu pengetahuan adalah sarana untuk membebaskan, dalam arti bahwa melalui kemampuan berpikir manusia diajarkan untuk menemukan (discovery) tentang sesuatu dalam bidangnya. Kebebasan dalam konteks ini adalah kebebasan untuk menemukan sesuatu, merevisi, atau menguatkan suatu dalil, teori dan konsep yang telah ada untuk kemaslahatan. Kebebasan bukan malah menjadi desdruktif. Ketiga, penguasaan terhadap kompetensi. Pendidikan harus mengarahkan peserta didik pada keahlian tertentu sehingga menjadi sarana untuk mengakses kehidupan. Oleh karena itu maka pendidikan tinggi harus dirancang untuk mewujudkan sarjana yang profesional sesuai dengan keahliannya.

2. PTAIS di Tengfah UU Sisdiknas
Pada tanggal 11 Juni 2003 oleh sementara kalangan dikenal sebagai hari kemenangan pendidikan, di mana pada hari itu telah disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sissdiknas) oleh DPR yang di dalamnya secara tegas memberikan kesempatan pada masyarakat untuk terlibat dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Undang-undang pendidikan yang desentralisasi tersebut mengisyaratkan urgensi dan pentingnya masyarakat dalam ikut terlibat dalam proses pendidikan. Dengan undang-undang pendidikan yang desentralistik tersebut, maka peran masyarakat baik perorangan maupun kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan ORMAS diakui keberadaannya. Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 55, dinyatakan bahwa pendidikan harus berbasis masyarakat. Dalam pasal 56, bahwa untuk menunjang, mendukung, mengawasi dan memberikan pertimbangan demi kemajuan pendidikan dibentuklah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Paradigma lain yang berubah adalah kurikulum. Melalui UU Sisdiknas ini, lembaga pendidikan ditantang untuk memilih basis kompetensi sesuai dengan rational choice-nya. Apakah akan mengambil jenis pendidikan umum kejuruan, akademik, profesi atau keagamaan dan khusus. Jika pendidikan akademik lebih menawarkan konsep dan teoritik berkaitan dengan out put pendidikannya, profesi mengarah pada keahlian khusus yang dimiliki alumninya, pendidikan vokasional menawarkan basis kompetensi pada keahlian terapan, maka PTAI menawarkan basis kompetensi keagamaan. Fakultas Syari’ah memiliki basis kompetensi ahli hukum Islam dalam berbagai variasinya, Fakultas Tarbiyah memiliki basis kompetensi ilmu kependidikan Islam, Fakultas Ushuluddin memiliki basis kompetensi penguasaan ilmu-ilmu tafsir, hadits, dan sebagainya, Fakultas dakwah memiliki basis kompetensi penyebar agama Islam dalam berbagai sudut pandangnya dan Fakultas Adab memiliki basis kompetensi dalam sastra Arab dan sejarah Islam.
[5]

3. Kondisi Riel PTAIS
Sampai saat ini, kiblat pendidikan tinggi Islam adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Bahkan pemerintah membentuk sebuah lembaga Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (KOPERTAIS) yang berfungsi untuk memberdayakan, membimbing dan mengevaluasi pelaksanaan pendidikan di PTAIS. Meskipun demikian, masih terdapat semacam label bahwa PTAIS berada di bawah IAIN. Image yang semacam ini tentu tidak menguntungkan posisi PTAIS yang dikategorikan sebagai peringkat kedua.
Menurut data KOPERTAIS Wilayah IV Surabaya tahun 2006/2007, jumlah PTAIS yang ada di bawah naungan KOPERTAIS wil. IV berjumlah 113 PTAIS yang menyebar di Jawa Timur, Bali, Lombok, NTT dan NTB. Dari 113 PTAIS hanya terdapat beberapa perguruan tinggi yang dikatakan layak, selebihnya masih di bawah standart. Untuk menyatakan apakah suatu perguruan tinggi memenuhi standart atau tidak maka perlu adanya indikator-indikator yang dijadikan sebagai ukuran. Adapun indikator yang dipakai adalah:
a. Jumlah mahasiswa.
Peserta didik dalam hal ini adalah mahasiswa merupakan objek utama dalam pendidikan. Jumlah mahasiswa ideal dari sebuah perguruan tinggi pada setiap program studinya adalah 500 mahasiswa. Sedangkan kondisi riel, hampir sebagian besar PTAIS yang ada di daerah mempunyai mahasiswa dibawah 500 orang. Jumlah yang sangat minim untuk sebuah perguruan tinggi. Dengan jumlah yang minim seperti itu, maka sangat sulit bagi sebuah perguruan tinggi untuk tetap eksis dalam proses belajar dan mengajar.
b. Jumlah tenaga pengajar (dosen).
Dosen sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan dosen sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Dosen harus pandai membawa peserta didik kepada tujuan yang hendak dicapai. Beberapa hal yang harus dimiliki oleh dosen adalah; mempunyai kualifikasi pendidikan yang cukup, yaitu minimal harus magister (S-2), mempunyai loyalitas sebagai pendidik, menguasai materi pengajaran, menguasai beberapa metode pengajaran sehingga ia mampu menggunakan metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, dan sebagainya.
Dengan demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterlibatan dosen mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peranan yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan.
[6] Perguruan tinggi merupakan sebuah institusi yang mencetak kader atau generasi yang berkemampuan dan mandiri serta memiliki perilaku demokratis dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu kehadiran dosen yang profesional dan kualifite merupakan syarat mutlak. Sedangkan kondisi riel, Jumlah dosen yayasan yang berpendidikan memadai untuk pendidikan tinggi –kepangkatan minimal IV/a (Lektor Kepala) atau berpendidikan strata dua atau tiga (S-2 atau S-3)-- masih sangat terbatas.
c. Sarana dan prasarana yang memadai.
Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran disamping faktor-faktor yang lain. Sarana dan prasarana yang memadai akan menjadikan suasana akademik dan proses pembelajaran menjadi kondusif dan sistematis. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai proses belajar dan mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Sarana dan prasarana, terutama sarana belajar dan mengajar, merupakan hal yang esensial.
[7] Kondisi riel, sarana dan prasarana yang dimiliki PTAIS tergolong masih minim. Padahal, keberadaan sebuah pendidikan tinggi sangat ditentukan oleh keberadaan sarana dan prasarana pendidikannya, seperti ruang perkuliahan, perpustakaan dengan ruangan dan koleksi buku yang memadai, laboratorium pembelajaran yang memadai.
d. Proses belajar dan mengajar yang berkualitas.
Ada indikasi banyak PTAIS yang kurang serius dalam melakukan proses pembelajaran. Kekurang seriusan dalam proses pembelajaran bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: Kekurang siapan tenaga pengajar (dosen tidak profesional) sehingga menyebabkan mahasiswa kurang aktif mengikuti perkuliahan, atau minimnya jumlah mahasiswa, dan sebagainya.
e. Input dan out pun pendidikan yang belum maksimal.
Kebanyakan calon mahasiswa (input) yang masuk PTAIS adalah mereka yang gagal dalam ajang UMPTN. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka yang masuk PTAIS adalah mahasiswa yang kurang berkualitas baik dari segi intelegensi-nya maupun ekonominya. Akibatnya tentu saja lulusan (out put) pendidikan menjadi kurang maksimal.

4. Potensi yang Dimiliki.
Masyarakat Indonesia tergolong sebagai masyarakat yang memiliki tingkat religiusitas (keagamaan) yang tinggi. Hal ini berarti, bahwa orang Indonesia masih memandang agama sebagai hal yang urgen dalam kehidupan. Oleh karena itu mengetahui dan memahami persoalan agama merupakan hal yang wajib. Maka wajar jika di Indonesia terdapat beberapa pesantren dan lembaga pendidikan Islam dengan jumlah santri yang relatif banyak. Kondisi seperti itu secara kuantitatif dapat menunjang kuantitas mahasiswa PTAIS. Sehingga PTAIS tidak sampai kekurangan mahasiswa.
Pada sisi lain, masyarakat Indonesia relatif paternalistik sehingga keterikatan pada tokoh masyarakat atau kiai masih besar. Dalam konteks ini, kyai merupakan status yang dihormati dengan berbagai peran yang dimainkan dalam masyarakat. Ketokohan dan kepemimpinan kiai sebagai akibat dari status yang disandangnya, telah menunjukkan betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadiannya (kharisma) dalam memimpin pesantren dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat bagaimana seorang kiai dapat membangun peran strategisnya sebagai pemimpin masyarakat non formal melalui komunikasi intensif dengan masyarakat. Kiai dengan kahrisma yang dimilikinya tidak hanya dikategorikan sebagai elit agama, tapi juga sebagai pemimpin (tokoh sentral) dalam masyarakat yang memiliki otoritas tinggi. Kharisma kiai merupakan karunia yang diperoleh dari latuhan (riyadlah) dan anugerah Tuhan.
[8] Sehingga apa yang menjadi kehendak dan pendapat kyai, akan diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, kiai merupakan sumber legetimasi yang potensial bagi PTAIS. Sehingga pencitraan PTAIS bisa dibangun dari sini.
Faktor lain yang menunjang terhadap PTAIS adalah tersedianya potensi fisik (tanah) yang relatif memadai untuk dikembangkan, bahkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber keuangan.

Hambatan Aktualisasi Potensi
Tidak ada potensi yang dapat dikembangkan tanpa melihat ada atau tidaknya hambatan dalam aktualisasi potensi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada tiga potensi yang dapat dikembangkan secara riel untuk mengambangkan PTAIS, tetapi pengembangan tersebut juga memiliki sejumlah hambatan yang harus di carikan solusinya. Hambatan tersebut, adalah:
a. Banyak santri atau siswa lulusan SMA/MA atau yang sederajat, tetapi kondisi perekonomiannya tidak mendukung pendidikan lebih lanjut, disamping tidak ada niat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada persepsi di sebagian masyarakat, bahwa kuliah tidak menyelesaikan masalah, bahkan hal tersebut didukung oleh kenyataan bahwa sebagian lulusan pendidikan tinggi justru menjadi beban masyarakat.
b. Banyak tokoh masyarakat Islam, akan tetapi rasa memiliki terhadap pendidikan tinggi Islam terasa masih belum maksimal. Sehingga belum dapat menjadi mediator (penyambung) yang dapat mengarahkan kecenderungan masyarakat ke lembaga tersebut.
c. Potensi kepemimpinan umat masih belum dapat difokuskan untuk mendukung eksistensi dan pengembangan pendidikan tinggi Islam. Sehingga yang nampak berjalan sendiri-sendiri tanpa keterkaitan secara langsun dengan program pengembangan pendidikan tinggi.
d. Penggalangan dana selalu terkait dengan kekurang percayaan terhadap pengelola dana, sehingga setiap penggalangan dana selalu mengalami kegagalan.


Mengelola Potensi dan Hambatan
Titik sentral dalam makalah ini adalah bagaimana membangun sebuah PTAIS di daerah yang berkualitas. Oleh karena itu, ada beberapa solusi untuk mengelola potensi dan hambatan, sehingga diperoleh alternatif pemecahan yang aplikabel.
Pertama, membuat imej atau pencitraan bahwa pendidikan tinggi Islam sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Perguruan tinggi yang mempunyai imej baik di masyarakat akan mendapatkan peluang lebih baik di tengah pertarungan memperebutkan pangsa pasar. Imej yang baik dapat dibangun melalui kemampuan tenaga edukatifnya (dosen), prestasi mahasiswanya, sarana dan pra sarananya.
Jika selama ini ada imej bahwa PTAIS mendidik calon modin, maka imej tersebut perlu diubah. Memang benar, bahwa menu pembelajaran di PTAIS adalah pendidikan agama Islam dengan beberapa konsentrasi; hukum, pendidikan, tafsir – hadits, dan sebagainya. Akan tetapi masalahnya, bagaimana menyajikan menu keagamaan tersebut dalam arena yang dibutuhkan masyarakat. Untuk itu pembagian Kurikulum Nasional dan Kurikulum Lokal perlu dicermati. Atau dengan kata lain, bagaimana kurikulum lokal dapat menjadi ajang bagi pengembangan program studi yang menjadi nilai tambah. Sebagai ilustrasi, Fakultas Dakwah yang akan mencetak sarjana ahli sosial Islam tetapi dapat juga berbisnis. Dengan menambah kurikulum lokal (kurlok) berupa keahlian vokasional, seperti ilmu manajemen, ilmu politik, dan sebagainya yang masih mempunyai korelasi dan dibutuhkan masyarakat.
Kedua, menjadikan kiai atau tokoh masyarakat (negara) sebagai mediator untuk menggalang imej dan menggalang sumber dana bagi pengembangan pendidikan tinggi Islam. Potensi kepemimpinan yang berada di tangan umat Islam perlu dimaksimalkan dengan mengadakan komunikasi yang lebih aktif dan intens serta mengadakan kerja sama dalam bentuk kegiatan baik yang berfungsi untuk pengembangan kelembagaan (faculty oriented) maupun kegiatan yang bermanfat bagi masyarakat (peopel oriented).
Ketiga, Penggalangan sumber dana melalui pemetaan ekonomi para konglomerat (aghniya’) dan dilanjutkan dengan penyadaran akan pentingnya pendidikan tinggi Islam. Pendidikan tinggi merupakan investasi manusia. Memang, harus diakui bahwa masih banyak orang mempertanyakan tentang efektivitas invesatasi melalui pendidikan, terutama efektifitasnya dalam memberikan nilai timbal balik bagi ekonomi individu dan masyarakat. Pendidikan dalam kenyataannya masih belum mampu menjadi sarana investasi yang menggiurkan bagi banyak orang, terutama PTAIS yang berbasis pendidikan humaniora. PTAIS lebih menawarkan tentang ”bagaimana menjadi orang baik” dan kurang menawarkan ”bagaimana menjadi orang berguna”.
Menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 55, bahwa pendidikan harus berbasis masyarakat. Artinya bahwa landasan keagamaan, lingkungan sosial, lingkungan budaya masyarakat menjadi basis bagi pengembangan pendidikan. Pendidikan berbasis masyarakat juga mengindikasikan pentingnya peran masyarakat dalam pendanaan pendidikan , tetapi subsidi pemerintah masih tetap dibutuhkan. Untuk mengembangkan pendidikan di tingkat daerah, maka dibentuklah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang anggotanya berasal dari para anggota dan tokoh masyarakat. Lembaga ini berfungsi sebagai lembaga mandiri, pemberi pertimbangan, dukungan, pengawasan dan berperan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Keempat, pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) pengelola pendidikan tinggi. Semakin baik pengelola dan pengelolaan pendidikan tinggi akan berpengaruh pada peningkatan imej masyarakat terhadapnya. Peningkatan pengelolaan perguruan tinggi dapat dilakukan dengan mengirim para pengelola mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkorelasi dengan pengembangan perguruan tinggi.

=Han’s=






















DAFTAR PUSTAKA

Abd. Mujib Muhaimin, Madrasah Menatap Peradaban Global, Makalah pd. Seminar Pendidikan di Sidoarjo, Maret 2003.
Bryan S.Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Ter. Machnun Husein, Rajawali, Jakarta, 1984
A. Qadri Azizy, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, Semarang, Aneka Cipta
Nur Syam, Institusi Sosisl di tengah Perubahan, Jenggala Pustaka Utama, 2004, Surabaya
Departemen Penerangan RI, UU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 1999.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah dan Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2005.
Day, C. P. Whitaker, and D. Wren, Appraisal and Professional Development in the Primary Scholl. Philadelpia: Open University Press, 1987.
Gutek, Gerald A, Philosophical and Idiological Perspective on Education, USA: Allyn and Bacon, Inc, 1988.
Al Jamali, Muhammad Fadlil, Al Falsafah al Tarbawiyah fi al Qur’an, Terj. Judi al Falasani, Solo, Ramadhani, 1986.

[1] Abd. Mujib Muhaimin, Madrasah Menatap Peradaban Global, Makalah pd. Seminar Pendidikan di Sidoarjo, Maret 2003.
[2] Departemen Penerangan RI, UU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 1999.
[3] Nur Syam, Institusi Sosisl di tengah Perubahan, Jenggala Pustaka Utama, 2004, Surabaya, hlm. 41
[4] A. Qadri Azizy, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, Semarang, Aneka Cipta, hlm. 122.
[5] Nur Syam, Opcit, 69
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah dan Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2005, hlm. 120
[7] Muhaimin, Ibid.
[8] Bryan S.Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Ter. Machnun Husein, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 168

NEGARA MADINAH

I. PENDAHULUAN
Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad saw dan umat Islam, selama ± 13 tahun berada di Mekkah (terhitung sejak pengangkatan Muhammad saw sebagai Rasul), belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam baru menjadi sebagai suatu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M, Nabi hijrah ke Yastrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Di Madinah inilah umat Islam memulai babak baru kehidupan, baik sebagai komunitas agama maupun negara yang merdeka dibawah pimpinan Rasulullah. Maka, Peran dan fungsi Rasulullah tidak saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai kepala negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, maka Rasulullah menempuh tiga langkah strategis; Pertama, membangun masjid, selain untuk tempat beribadah, juga sebagai tempat untuk bermusyawarah dalam membahas segala persoalan keumatan. Kedua, menjalin Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Rasulullah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin Mekkah dan kaum Ansor Madinah berdasarkan ikatan keagamaan. Apa yang dilakukan Rasulullah ini adalah sebuah upaya untuk membentuk sistem persaudaraan baru, yaitu persaudaraan yang berdasar pada agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah. Ketiga, menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain. Di Madinah, disamping orang-orang Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka; musyrik (paganisme). Agar stabilitas masyarakat terjamin, Rasulullah mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Terwujudlah sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama dan bermasyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.[1] Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan dan otoritas mutlak diberikan pada beliau. Dalam bidang sosial, terdapat persamaaan antara sesama warga negara. Tidak ada pemilahan antara masyarakat strata atas dengan masyarakat strata bawah.
Perkembangan negara kota Madinah (sebutan awal untuk negara Madinah)
yang kemudian menjadi negara Arab Islam / negara Madinah)[2] semakin pesat, sehingga dalam waktu yang singkat ± 23 tahun, wilayahnya sudah mencakup seluruh jazirah Arabiah. Inilah hasil usaha pertama dalam sejarah Arabia, yaitu terbentuknya satu organisasi negara atas dasar agama. Perjalanan Negara Madinah tidak berhenti dengan wafatnya Rasulullah. Bahkan Negara ini semakin berkembang ketika dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) mulai tahun 632 – 661 M.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan yang menjadi titik tolak kekuasaan Bani Umayah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun-temurun). Maka sejak saat itulah, dapat dikatakan berakhirnya kekuasaan negara Madinah.
Beberapa tahun sebelum berdirinya Negara Madinah, di wilayah Timur Tengah sebenarnya telah berdiri dua kerajaan besar yang saling bermusuhan; yaitu Kerajaan Byzantium dengan ibukotanya Konstantinopel yang berkebudayaan Yunani dan menganut agama Nasrani dan Kerajaan Persia bangsa Sasanid yang beragama Zoroaster.[3]
Dalam makalah yang singkat ini, penulis mencoba menggunakan metode deskriptif, sebagai upaya untuk menggambarkan secara singkat situasi dan kondisi tiga kekuasaan yang ada saat itu, dan metode komparasi (perbandingan) sebagai upaya untuk mengetahui perbedaan-perbedaan dari masing-masing kekuasaan. Agar pembahasan masalah ini lebih fokus maka penulis membatasi kajian ini dalam tiga hal: (1). Komparasi tiga kekuatan besar; yaitu Negara Madinah, Kerajaan Bezantium dan Persia, yang meliputi 2 hal; (a). Hukum dan HAM (kebebasan beragama), (b). Politik ; Bentuk negara, sistem pemilihan kepala negara dan hubungan penguasa dan rakyat, (2). Upaya-upaya yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dalam menjaga stabilitas dan mengembangkan negara Madinah; (a). Upaya kholifah Abu Bakar As Shidiq, (b). Upaya Umar bin Khaththab, (c). Upaya Utsman bin Affan, dan (d). Upaya Ali bin Abi Thalib, (3). Faktor-faktor yang mengakibatkan runtuhnya kekuasaan negara Madinah.

II. Pembahasan
A. Komparasi Negara Madinah, Kerajaan Bizantium dan Kerajaan Persia dalam bidang hukum dan HAM (kebebasan beragama).
1. Konsep Islam dalam Bidang Hukum dan HAM (Kebebasan Beragama)
Ajaran Islam mulai diajarkan Muhammad saw saw di Mekkah, kemu-
dian dikembangkan di Madinah. Sebelum wafatnya, sudah terlihat dengan jelas, bahwa Islam bukan semata-mata kepercayaan pribadi, akan tetapi meliputi pembinaan masyarakat yang lengkap, sistem pemerintahan dan hukum.[4]
Dalam Islam, agama dan negara dikaitkan menjadi satu dalam suasana institusi kemasyarakatan. Komunitas agama telah terwujud dalam teori dan praktek, di bawah garis-garis politik yang dipimpin oleh Muhammad saw saw. Islam adalah agama untuk kepentingan kehidupan dunia dan akhirat. Ia bukan hanya berisi tuntutan tentang akidah dan ibadah, tetapi juga memberikan prinsip-prinsip hukum dan politik. Al Qur’an menuntun manusia untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kaum muslimin khususnya dan manusia pada umumnya. Tetapi ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan atau pemerintah jumlahnya sedikit ± 3,5 % dari keseluruhan ayat al Qur’an. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan-kebijakan para pemimpin untuk mengatur kehidupan bersama manusia yang terus berkembang dan bervariasi. Hal yang demikian juga dilakukan oleh Rasulullah ketika menjabat sebagai pemimpin negara di Madinah. Diantara kebijakannya itu tertuang dalam “Piagam Madinah” pasal 26 – 35, yang secara garis besar dinyatakan bahwa semua kelompok yang hidup di Madinah diperlakukan sama di mata hukum, tidak ada satu golongan atau kelompok yang kebal hukum. Sedangkan sumber hukum yang dipakai oleh Rasulullah adalah; hukum Allah (al Qur’an), keputusan Muhammad saw saw sebagai Rasul Allah (al sunnah) dan sebagai Kepala Negara (al siyasah), hukum adat dan hukum perjanjian.
Negara Madinah mengakui keberadaan agama selain Islam dan menjamin kebebasan beragama bagi para warganya. Muhammad saw sebagai Rasulullah dan sekaligus sebagai kepala negara tidak memanfaatkan jabatannya, untuk memaksakan kehendaknya dan mengkonversi (mengubah) agama yang telah dianut oleh warganya. Orang Islam, Yahudi, Nasrani dan Majusi (paganisme) selaku warga Madinah mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, menjalankan dan menyebarkan agama. Dengan meletakkan dasar moral dan keagamaan bagi negara Madinah, mendorong pemerintah dan warga Madinah untuk berbuat adil, jujur dan bersaudara kepada semua elemen bangsa. Kondisi yang harmonis tersebut dapat terbina, sebab Rasulullah selaku pemimpin negara menerapkan Prinsip “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Dengan asas toleransi ini maka kerukunan antar umat beragama dapat terjalin dengan baik dan harmonis, di mana masing-masing kelompok saling menghormati dan menghargai.[5]

C Konsep Kerajaan Bizantium dalam Bidang Hukum dan HAM
Sementara Kerajaan Bizantium (Romawi Timur) menerapkan perlakuan yang berbeda terhadap warga masyarakat yang hidup di sana. Sebagai ilustrasi, kita bisa melihat bagaimana Constantine Yang Agung (250-337 SM), Kaisar Romawi pertama yang memeluk Agama Nasrani membuat perundang-undangan yang mengatur perusahaan-perusahaan turun-temurun (seperti Joqal, tukang roti). Dikeluarkannya dekrit yang isinya mengatur "coloni" (kelas petani penggarap) yang dilarang meninggalkan tanah garapannya. Dalam pengertian modern, dekrit ini berarti merubah "coloni" (petani penggarap) menjadi budak dan terikat dengan tanahnya. Dekrit ini dan lain-lain aturan yang dibuat oleh Constantine merupakan peletak dasar dari seluruh struktur sosial di jaman pertengahan Eropa.[6]
Dengan demikian di Bezantium masyarakat dibagi menjadi dua kelas; yaitu tuan dan budak, bangsawan dan rakyat jelata. Undang-undang yang berlaku bagi mereka juga berbeda. Undang-undang untuk kalangan tuan dan bangsawan dikenal dengan istilah “undang-undang Romawi”, sedangkan undang-undang untuk budak dan rakyat jelata disebut dengan “proletariat”. Sumber hukumnya adalah kaisar / raja.
Dalam bidang keberagamaan Kerajaan Bezantium memaksakan paham agama yang dianut oleh pihak kerajaan kepada rakyat yang ada di bawah kekuasaannya. Rakyat merasakan kemerdekaan beragama hilang. Hal demikian menimbulkan rasa tidak senang rakyat terhadap pemerintahan Bizantium.[7] Bahkan Constantine sebagai Kaisar Romawi pertama yang memeluk Agama Nasrani telah memberikan kekebalan dan hak-hak istimewa bagi pihak gereja dan melakukan penindasan terhadap orang-orang Yahudi.[8]
C Konsep Kerajaan Persia dalam Bidang Hukum dan HAM
Kerajaan Persia yang menganut agama Zoroaster agaknya bersikap lebih toleran terhadap agama-agama setempat dan juga adat-istiadat mereka, jika dibanding dengan kerajaan Bezantium yang otoriter. Hal ini dapat kita lihat bagaimana Cyrus Yang Agung (590 SM-529 SM), pendiri Kerajaan Persia yang terkenal amat toleran terhadap agama-agama setempat dan juga adat-istiadat mereka. Dan dia senantiasa menjauhkan diri dari sikap kejam dan ganas seperti lazimnya para penakluk. Walaupun sebenarnya itu hanya sebagai kamuflase untuk target politis.
Dalam masalah-masalah etika, agama Zoroaster menekankan arti penting kejujuran dan kebenaran. Ascetisme, hidup ugal-ugalan, zina, ditentang keras. Penganut Zoroaster melaksanakan pelbagai ibadah agama yang menarik, beberapa di antaranya dipusatkan pada pemujaan terhadap api. Misalnya, api suci senantiasa dibiarkan berkobar di kuil Zoroaster. Sehingga menurut keyakinan orang-orang Persia bahwa tuhan itu ada dua; Ahuramazda (tuhan kebaikan) dan Ahriman (tuhan kegelapan). Tapi, yang paling nyata dalam ibadah mereka adalah cara melenyapkan jenasah, bukannya dikubur atau dibakar, melainkan diletakkan di atas menara dibiarkan habis dimakan burung pemakan bangkai. Burung-burung itu biasanya melalap mangsanya hingga tinggal tulang-belulang.
Uraian di atas menunjukkan bahwa baik dalam bidang hukum maupun HAM terdapat perbedaan antara negara Madinah, Kerajaan Bezantium dan Kerajaan Persia. Diantara perbedaan tersebut, adalah:
C Negara Madinah sumber isi hukumnya adalah wahyu yang berupa al Qur’an dan hadits serta ar ra’yu, sedangkan sumber isi hukum Kerajaan Bezantium dan Persia adalah kemauan pembentuk hukum itu sendiri, yaitu raja.
C Negara Madinah memandang semua warga negara adalah sama di mata hukum, sedangkan Kerajaan Bezantium dan Persia membedakan kedudukan rakyat dan penguasa. Sehingga ada kelompok-kelompok tertentu yang kebal hukum.
C Negara Madinah sangat menjunjung tinggi nilai-nilai HAM (Hak Asasi Manusia), sehingga kebebasan berpendapat, kebebasan beragama benar-benar dapat dirasakan oleh rakyat. Sedangkan di Kerajaan Bezantium dan Persia rakyat tidak diberi kebebasan untuk berpendapat, bahkan lebih jauh dari pada itu raja memaksakan paham keagamaannya kepada rakyat.
C Paham agama Negara Madinah adalah tauhid (monoteisme), sedangkan paham Kerajaan Bezantium dan Persia Politeisme.

2. Komparasi Negara Madinah, Kerajaan Bizantium dan Kerajaan Persia dalam Bidang Politik; Bentuk Negara, Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara, dan Hubungan Negara dan Warga Negara.
a. Negara Madinah: Bentuk Negara, Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara, dan Hubungan Negara dan Warga Negara.
Bentuk negara Madinah adalah Teo-demokrasi. Sebab, disamping dominannya syariat yang diwahyukan Tuhan, musyawarah antar umat beragama juga menduduki tempat utama. Jadi hukum Tuhan menjadi hukum tertinggi negara, disamping adanya aturan-aturan yang dibuat berdasarkan musyawarah. Dengan demikian kedaulatan tertinggi berada pada Tuhan dan dijalankan sepenuhnya oleh Muhammad saw sebagai wakilnya. Jadi di sini Muhammad saw berperan sebagai pemimpin agama sekaligus sebagai pemimpin negara.
Sedangkan mengenai proses pengangkatan pemimpin (khalifah) atau kepala negara dalam Islam tidak ada standart baku, Pengangkatan Nabi Muhammad saw sebagai kepala negara, adalah berawal dari pertemuan beliau dengan kabilah suku Aus dan Khadraj pada musim haji yang akhirnya mereka bersyahadat dan berbai’at (sumpah setia) kepada nabi untuk menjalankan segala aturan-aturan Islam dan sekaligus mengangkat Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin mereka, baik sebagai pemimpin agama maupun sebagai pemimpin hidup bermasyarakat.
Pengakuan mereka kepada Muhammad saw sebagai pemimpin agama, telah mereka lakukan dengan membaca syahadat. Dan tekad untuk patuh dan taat pada Muhammad saw sebagai pemimpin kepala negara mereka cetuskan melalui bai’at. Meskipun mereka bukan wakil-wakil resmi dari seluruh warga Madinah, dengan jumlah yang cukup banyak (73 kaum laki-laki dan 2 orang wanita) seperti itu mencerminkan keinginan warga Arab yang ada di Madinah. Mereka dengan penuh kesadaran dan pertimbangan memilih Muhammad saw sebagai pemimpin mereka.
Demikian halnya pengangkatan khulafa al Rasyidin, mekanisme dan prosedur yang dipakai juga tidak ada yang sama. Khalifah Abu Bakar diangkat melalui pemilihan dalam musyawarah terbuka, yang diwakili oleh lima tokoh dari semua unsur yang ada saat itu. Umar bin Khaththab diangkat melalui penunjukkan oleh khalifah sebelumnya dengan mengadakan konsultasi tertutup dengan sahabat senior. Utsman bin Affan diangkat melalui pemilihan dalam satu pertemuan terbuka oleh “dewan formatur”, demikian halnya dengan Ali bin Abi Thalib diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.
Walaupun tidak ada sistem dan prosedur yang baku dalam pengangkatan pemimpin dalam Islam, tetapi yang pasti bahwa pengangkatan pemimpin (kalifah) oleh umat tersebut selalu melibatkan tokoh-tokoh penting untuk bermusyawarah dan setelah diperoleh kesepakatan, diadakanlah bai’at (pengukuhan) di hadapan seluruh ummat.
Hubungan pemimpin (kalifah) dengan rakyat dalam Islam adalah hubungan kesepakatan atau “kontrak sosial” yang memberikan kepada masing-masing hak dan kewajiban atas dasar timbal-balik. Para khalifah bertanggung jawab atas tegaknya Islam dan keamanan jiwa, keluarga dan harta benda rakyat, serta bertanggung jawab atas kesejahteraan umum. Sedangkan rakyat patuh dan taat pada khalifah dalam batas yang wajar.

b. Kerajaan Bezantium dan Kerajaan Persia: Bentuk Negara, Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara, dan Hubungan Negara dan Warga Negara.
Kerajaan Bezantium dan kerajaan Persia Kedua-duanya memakai sistem pemerintahan monarchi. Di mana kekuasaan terhadap manusia dimonopoli oleh komunitas tertentu, dalam hal ini adalah raja.. Dalam sistem monarchi ada perbedaan yang sangat mencolok, antara raja dengan rakyat. Raja mempunyai hak-hak istimewa yang tidak mungkin dimiliki oleh rakyat. Sistem ini juga menjadikan raja di atas undang-undang, dan secara pribadi memiliki kekebalan hukum. Bahkan terkadang raja menjadi sumber hukum, sehingga raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya. Maka dalam keadaan yang seperti ini, kekuasaan raja tidak terbatas (absolut), karena tidak ada peraturan yang membatasinya, sebab dia sendiri sebagai sumber peraturan itu.
Pergantian pemimpin dalam sistem monarchi dilakukan secara turun-temurun. Dari generasi ayah kepada generasi anaknya, dari anak kepada anaknya dan seterusnya. Tidak ada musyawarah, tidak ada perundingan. Rakyat tidak mempunyai hak sedikitpun untuk sekedar urun rembuk, apalagi mengatur kerajaan. Apapun kehendak raja harus diikuti dan dilaksanakan. Negara yang memakai sistem monarchi, seringkali terjadi konflik perebutan kekuasaan.
Sementara hubungan rakyat dengan penguasa (raja), ibarat hubungan majikan dengan buruh. Rakyat tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Ketaatan pada raja adalah mutlak dan tidak terbantahkan. Siapapun yang berani menentang raja, maka hukum kerajaan akan bertindak, tanpa ada yang bisa menghalanginya.
Paparan di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam bidang politik antara negara Madinah dengan Kerajaan Bezantium dan Kerajaan Persia, yaitu:
C Madinah adalah negara yang berbentuk Teo-Demokrasi, sedangkan Kerajaan Bezantium dan Kerajaan Persia berbentuk monarchi.
C Sistem dan prosedur pergantian pimpinan di negara Madinah adalah musyawarah dan bai’at, sedangkan Kerajaan Bezantium dan Kerajaan Persia memakai sistem waris (turun-temurun).
C Hubungan penguasa dan rakyat di negara madinah adalah hubungan timbal balik “kontrak sosial” sehingga rakyat mempunyai peran dalam mengatur pemerintahan, sedangkan Kerajaan Bezantium dan Kerajaan Persia hubungan rakyat dan penguasa adalah hubungan raja dan rakyat, dimana rakyat tidak mempunyai kebebasan apalagi peran pada kerajaan.

B. Langkah Strategis yang Ditempuh oleh Khulafa al Rasyidin dalam Mempertahankan dan Mengembangkan Negara Madinah
Muhammad saw, disamping sebagai Rasul Allah juga sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, fungsi sebagai Rasul Allah tidak dapat digantikan oleh siapapun, sebab fungsi tersebut adalah mutlak dari Allah. Sedangkan peran beliau sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat harus ada yang menggantikannya. Maka atas kesepakatan para sahabat saat itu, terpilihlah empat sahabat yang menggantikan fungsi dan peran Rasulullah sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat. Kepemimpinan dari sahabat Rasul ini disebut periode Khulafa al Rasyidin (para pengganti yang mendapat bimbingan ke jalan yang lurus).Empat khalifah tersebut adalah:
C Abu Bakar Ash Shiddiq 11 – 13 H / 634 – 844 M,
C Umar bin Khaththab 13 – 23 H / 634 – 644 M
C Ustamn bin Affan 23 – 35 H / 644 – 656 M
C Ali bin Abi Thalib 35 – 40 H / 656 – 661 M.[9]
Dalam periode Khulafa al rasyidin, khalifah adalah kepala negara. Oleh karena itu maju dan mundurnya sebuah pemerintahan akan sangat tergantung kepada khalifah. Maka, kualitas seorang khalifah sangat menentukan berkembang atau tidaknya pemerintahan yang dipimpinnya. Para khalifah tersebut menjalankan pemerintahan dengan bijaksana, karena dekatnya hubungan pribadi mereka dengan Nabi Muhammad saw dan otoritas keagamaan yang mereka miliki. Kekhalifahan awal ini secara politik didasarkan pada komunitas muslim Arabia dan kekuatan kesukuan bangsa Arab yang berhasil menundukkan imperium Timur Tengah.
Meskipun hanya berlangsung selama 30 tahun, masa Khulafa al rasyidin sangat penting dalam sejarah Islam. Khulafa al rasyidin berhasil menyelamatkan Islam, mengkonsolidasikan dan meletakkan dasar bagi keagungan umat Islam. Untuk mengetahui lebih jauh peran dan langkah strategis yang mereka lakukan dalam membina dan mengembangkan Islam (negara Madinah), maka di bawah ini akan penulis uraikan.

C Khalifah Abu Bakar (11 – 13 H / 634 – 844 M)
Setelah Rasulullah wafat pada tahun 11 H / 632 M, maka peran dan fungsinya sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat digantikan oleh Abu Bakar As Shiddiq, melalui pemilihan yang agak alot. Sebagai khalifah pertama Abu Bakar sudah dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menuntut kerja keras, ketegasan dan keadilan. Upaya yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar untuk menjaga dan mengembangkan negara Madinah, adalah:
C Memerangi kaum murtad (riddah
Setelah wafatnya Rasulullah, sebagian suku-suku Arab ingin melepaskan diri dari pemerintahan Madinah, bahkan sebagian diantara mereka ada yang menolak Islam. Sebab menurut mereka, bahwa perjanjian mereka sudah berakhir seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad saw, sehingga mereka tidak mau lagi tunduk pada aturan Islam, apalagi membayar zakat kepada pemerintah Madinah.
C Memerangi nabi-nabi palsu
Orang-orang yang menganggap dirinya sebagai nabi adalah Aswad Ansi (Yaman), Musailamah, Tulaihah (nabi Bani Ghutafan) dan sorang perempuan yang berasal dari suku Banu Yarbu, Arabia Tengah; Sajah. Tujuan mereka memproklamirkan diri sebagai nabi, karena menganggap bahwa jabatan kenabian itu sesuatu yang sangat menguntungkan.
Kebijakan yang dilakukan oleh Abu Bakar tersebut bertujuan agar terciptanya persatuan umat, penegakan hukum dan keadilan. Kebijakan tersebut mendapat dukungan hampir seluruh kaum muslimin. Untuk memerangi kemurtadan (riddah) dibentuklah sebelas pasukan. Sebelum pasukan dikirim ke daerah yang dituju, terlebih dahulu dikirim surat peringatan agar mereka kembali kepada ajaran Islam. Namun seruan itu tidak direspon dengan baik oleh para pembangkang. Terpaksa pasukan dikirim, dan membawa hasil yang gemilang.[10]
C Mengangkat beberapa orang sebagai deputi
Agar negara berjalan dengan baik, diperlukan adanya departemen khusus yang mengurusi kesekretariatan negara, maka Abu Bakar mengngkat Ali sebagai deputi disamping Umar bin khaththab dan Abu Ubaidah ibn Jarah.
C Mengirim ekspedisi ke luar Jazirah Arabia
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim pasukan keluar Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq, Abu Ubaidah, Amr bin Ash, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syurahbil dikirim ke Siria.

C Khalifah Umar bin Khaththab (13 – 23 H / 634 – 644 M)
Bila Abu Bakar mengkonsolidasikan Islam dan menyelamatkan dari kehancuran, maka Umar bin Khaththab menjamin pengembangannya. Dia adalah orang besar, mempunyai keinginan yang kuat, mempunyai rasa keadilan yang tinggi, dan mempunyai kesetiaan yang kokoh.
Beberapa langkah strategis yang ditempuh Umar bin Khatthab, dalam rangka menjaga dan mengembangkan negara Madinah, adalah:
C Menata Pemerintahan dengan Membentuk Diwan (departemen)
Tugas diwan adalah menyampaikan perintah dari pemerintah pusat ke daerah-daerah dan menyampaikan laporan tentang perilaku dan tindakan penguasa daerah pada khalifah.[11] Departemen-departemen yang berhasil dibentuk adalah:
a. Departemen Perpajakan.
Departemen ini bertugas untuk menertibkan tentang pembayaran gaji dan pajak tanah. Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga negara menjadi dua kelompok yaitu muslim yang diwajibkan membayar zakat dan non muslim (dzimmy) yang dipungut pajak tanah (kharaj) dan pajak kepala (jizyah).
b. Departemen Peradilan
Departemen ini didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan eksekutif. Sebab pada masa Umar sistem pemerintahan berubah dari sentralistik menjadi desentralistik.
c. Departemen Kepolisian dan Pekerjaan Umum
Departemen ini bertugas ubtuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.
d. Baitul Mal
Baitul Mal mempunyai fungsi untuk mengelola keuangan negara dan mencetak mata uang. Setelah menaklukkan Syria, Sawad dan Mesir, penghasilan Baitul Mal meningkat tajam (kharaj dari sawad mencapai 100. 000. 000,- dinar dan dari Mesir 2.000,- dinar).
C Membagi Wilayah Negara menjadi Delapan Propensi
Hal ini dilakukan oleh Umar sebagai usaha untuk memperlancar komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Wilayah negara dibagi menjadi delapan propensi, yaitu: Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kuafh, Palestina dan Mesir. Tiap-tiap wilayah dipimpin oleh seorang gubernur. Dan gubernur bertanggung jawab kepada pemerintah pusat )Madinah).
C Mengadakan Ekpansi Wilayah
Pada Zaman kekhalifahan Umar wilayah Islam bertambah luas, mulai dari Jazirah Arabia, palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.[12]

C Khalifah Ustamn bin Affan (23 – 35 H / 644 – 656 M)
Khalifah Ustman bin Affan dilahirkan pada tahun 573 M dalam marga Umayah dari ekluarga besar Quraisy. Nabi sangat mengaguminya karena kesederhanaan, kesalehan dan kedermawanannya. Ia adalah sahabat yang amat kaya, dan ia menyerahkan kekayaan itu kepada Nabi untuk kepentingan Islam. Dia mengambil bagian yang sangat penting dalam semua kegiatan Nabi. Oleh karena itu ia mendapat kedudukan dan kehormatan diantara para sahabat.
Beberapa langkah strategis yang dilakukan Utsman bin Affan sebagai upaya mempertahankan dan mengembangkan negara Madinah, antara lain:
C Pembangunan Angkatan Laut
Kekhalifahan Utsman patut diingat terutama karena pembangunan angkatan laut Arabnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga wilayah teritorial Madinah dari serangan -serangan angkatan laut Romawi. Dengan adanya angkatan laut ini maka serangan dari angkatan laut Romawi dapat dipukul mundur, bahkan wilayah Romawi di daerah Syria dapat direbut.
C Penyusunan Kitab Suci al Qur’an
Suatu karya terpenting khalifah Ustman adalah penyusunan kitab suci al Qur’an. Selama kekhalifahannya didapati berbagai versi bacaan al Qur’an di berbagai wilayah. Ustman memutuskan untuk menghilangkan perbedaan dan menghimpun versi yang sama. Maka dibentuklah dewan untuk menyusun al Qur’an yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Dewan ini berhasil menghimpun kitab suci yang otentik, dan menyebarkannya ke wilayah Mekkah, Kufah, Basrah, Yaman dan Syam, dan naskah yang asli disimpan Utsman sendiri.[13]
C Membentuk Lembaga Pertukaran Tanah
Jika pada masa pemerintahan khalifah Umar, semua harta rampasan perang adalah milik negara. Maka pada masa khalifah Ustman membentuk lembaga pertukaran tanah untuk membagi-bagi tanah tersebut dengan maksud agar lebih proiduktif (berkembang). Dan hasil dari pengembangan tanah tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan negara.
C Membangun Bendungan
Aktivitas ini dilakukan oleh khalifah Utsman sebagai bentuk kepeduliannya yang tinggi atas kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya. Bendungan ini berfungsi untuk melindungi Madinah dari bahaya banjir dan mengatur persediaan air untuk kota-kota.
C Membentuk Organisasi Kepolisian Tetap
Wilayah kekuasaan negara Madinah semakin meluas, arus perdagangan juga semakin ramai. Maka khalifah Utsman membentuk organisasi kepolisian sebagai upaya untuk menciptakan kawasan yang aman.
C Perluasan Imperium
Wilayah Negara Madinah semakin luas ketika diperintah khalifah Utsman bin Affan, meliputi; wilayah Arabia, Asia dan Afrika.

C Khalifah Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H / 656 – 661 M)
Sosok Ali merupakan pemuda pemberani. Ia telah menjadi pejuang terkemuka bagi Islam. Dia terkenal dalam semua pertempuran yang dilakukan oleh umat Islam dalam melawan kaum kafir dan Yahudi. Disamping terkenal sebagai ahli perang, ia juga terkenal sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Karena ilmunya yang mendalam, kebijaksananan dan kecerdasannya, nasihatnya sangat dihargai oleh khalifah Abu Bakar dan Umar, bahkan ia menempati penasihat dalam khalifah mereka.[14]
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat itu antara lain mendeskripsikan tugas kewajiban dan tanggung jawab penguasa, menyusun prioritas dalam melakukan despensasi terhadap keadilan, kontrol atas pejabat tinggin dan staf, menjelaskan kebaikan dan kekurangan jaksa, hakim dan abdi hukum. Dalam surat itu juga menjelaskan bagaimana beurusan dengan sipil, pengadilan dan angkatan perang, melawan nepotis dan korupsi.

C. Runtuhnya Negara Madinah
Gonjang-ganjing yang terjadi pada masa pemerintahan Ali tidak lepas dari adanya ketidak puasan oleh sebagain kelompok umat Islam atas terangkatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketidak puasan itu akhirnya menimbulkan peperangan yang tidak bisa dihindari antara kelompok yang tidak puas (Bani Umayyah, yang diwakili oleh Muawiyah bin Abi Sofyan) dengan Ali. Akibat peperangan ini umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok; Kelompok pendukung Ali (Syi’ah), Kelompok oposisi (khawarij / Haruriyah) dan kelompok Muawiyah. Dengan kelihaian di bidang diplomasi dan kelicikannya akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh pihak Muawiyah.
Maka bisa dikatakan bahwa kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan musyawarah atau pemilihan. Suk-
sesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan nseluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah.
Muawiyah memang tetap mempergunakan istilah khalifah, tetapi ia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan itu. Sehingga sebutan khalifah menjadi “khalifah Allah” dalamm pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Maka sejak saat itu dapat dikatakan berakhirlah kejayaan Negara Madinah.
Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan Madinah, adalah:
C Suksesi kepemimpinan yang dilakukan oleh Muawiyah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam; musyawarah untuk mufakat. Muawiyah memperoleh kekuasaan dengan kekerasan, diplomasi dan tipu muslihat.
C Merubah bentuk pemerintahan dari teo-demokratis dengan sistem musyawarah menjadi monarchi absolut. Hal ini mengakibatkan kekuasaan raja menjadi tak terbatas (absolut), karena raja adalah sumber hukum.
C Memberikan kedudukan yang lebih pada satu kelompok (Bani Umayyah) dan menindas kelompok yang lain (Bani Hasyim).

=Han’s=

[1] Muhammah Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad saw , Jakarta, Lentera Anarnusa, 1990, hlm. 199
[2] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, UI-Press, 1995, hlm. 120
[3] Muh. Ruwwas Qol’ahji, Sirah nabawiyah, Sisi Politis Perjuangan Rasulullah saw, Al Azhar Press, 2006, hlm. 6
[4] H.A.R Gibb, Mohammadanism, New York; Oxford University Press, 1962, hlm. 2-3
[5] Ahmad Sukardja, opcit, hlm. 128
[6] Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia, Ttj. Mahbub Junaidi, Dunia Pustaka Raya, 1982.
[7] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, Universitas Indonesia, 1985, hlm. 60
[8] Michael H. Hart, Opcit
[9] G.E Bosworth, Dinasti-Dinasi Islam, Terj. Ilyas Hasan, Mjizan, Bandung, 1980, hlm. 23
[10] Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan, hlm. 232-233
[11] Hamka, Sejarah Umat islam, cet. II, Pustaka Nasional, Singapura, 1997, hlm. 207-208
[12] Harun Nasution, islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, jilid I, UI Press, jakarta, 1985, cet. V, hlm. 58
[13] Siti Aminah, Pengantar Ilmu al Qur’an dan Tafsir, Asy Syifa’, Semarang, 1993, hlm.
[14] Syed Mahmuddunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Trej. Adang Afandi, Rosda, bandung, 1988, hlm 194