Kamis, 12 Februari 2009

PROSPEK EKONOMI ISLAM DAN PERBANKAN SYARIAH DALAM SKALA GLOBAL DAN REGIONAL

PROSPEK GERAKAN EKONOMI SYARIAH
DAN PERBANKAN SYARIAH
DALAM SKALA GLOBAL DAN REGIONAL


Oleh: MOH SUBHAN
FO4407111

Abstrak
Ekonomi konvensional berpijak pada filosofi positivisme yang mendewakan power of rationality kekuatan rasionalitas). Pendewaan terhadap kekuatan rasionalitas berdampak pada tergusurnya nilai-nilai dan aspek-aspek subyektif seperti nilai etika dan moral spiritual yang bersifat teologis. Nilai-nilai yang bersifat teologis dipandang sebagai wilayah yang berdiri secara terpisah dari ekonomi, tidak memilki relasi dengan ekonomi. Ekonomi pada akhirnya benar-benar menjadi disiplin ilmu yang bebas nilai (value free) yang pada gilirannya membuat manusia tidak lagi berpijak pada nilai-nilai kebenaran yang sejati. Ekonomi selanjutnya ditegakkan di atas sebuah sendi yang rapuh, yang mengabaikan aspek spiritual dan hanya berorientasi pada aspek material.
Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini muncul sistem ekonomi dan perbankan syari’ah, yang mewarnai perkembangan realitas ekonomi dan perbankan modern bahkan memperoleh apresiasi yang semakin luas, tidak saja dari lingkungan negara yang mayoritas masyarakatnya Islam, tetapi juga dari negara-negara yang masyarakat Islamnya minoritas. Kemunculan sistem ekonomi dan perbankan syari’ah bagi para proponennya diharapkan mampu mengembalikan aktivitas ekonomi dan bisnis manusia pada sentrum yang sesungguhnya, yang mencerminkan jati dirinya sebagai makhluk teomorfosis dengan tegaknya nilai-nilai humanis dan trasedental. Dalam sistem ekonomi dan perbankan syariah aspek material dan spiritual bersifat mutually inclusive. Sistem ekonomi dan perbankan syariah melihat realitas objektif, realisme dan realitas subjektif yang didasarkan pada nominalisme sebagai ko-eksistensi, bukan dikotomi.


A. Pendahuluan
Revolusi industri dengan ekonomi sosialisme dan kapitalismenya telah menempatkan nilai-nilai agama sebagai variabel lain yang tidak memiliki hubungan yang signifikan dalam konteks ekonomi dan bisnis telah memberikan kontribusi besar bagi muncul dan merebaknya gaya hidup (life style) materialis dan sekuleris, budaya hedonistik dan individualistik, sikap hidup egoisme dan permissivism serta kemiskinan menjamur di tengah kemakmuran.[1]
Sejumlah fenomena tersebut telah turut memberikan andil besar bagi terbukanya nurani ilmuwan, terutama ekonom tentang betapa berbahayanya memisahkan nilai keagamaan dari konteks ekonomi. Dengan kata lain, para ekonom dengan hasil kajiannya menempatkan kembali pentingnya penyatuan nilai agama dengan ekonomi.[2]
Hancurnya sosialisme beberapa waktu lalu seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet dan sejumlah negara komunis lainnya di penghujung tahun 80-an, dan terjadiya krisis ekonomi secara estafet mulai tahun 1866 dan 1890, 1929, 1985, 1987, 1998, 2000 dan terjadinya krisis finansial global (global financial crisis) baru-baru ini – 2008-, semakin menunjukkan akan kelemahan dan kebobrokan sistem kapitalisme.
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi.[3] Mereka mulai mencari formula ekonomi yang mengakomodasikan kepentingan material dan spiritual manusia.[4] Suatu format yang menempatkan hubungan segitiga, antara manusia, tuhan dan alam secara harmonis. Format ekonomi dan bisnis yang memasukkan aspek nilai-nilai etika yang bersumber dari agama disadari sebagai suatu yang sangat mendasar, yang harus ditempatkan dalam kerangka kajian dan aksi ekonomi sehingga melahirkan teori dan praktek ekonomi yang berkarakter relegius, bermoral dan humanis.
Sejalan dengan hal tersebut, Anthony Gidden dalam bukunya “The Thrid Way (alternatif ketiga)” menyatakan dunia seyogyanya mencari jalan ketiga dari pergumulan sistem kakap dunia yakni kapitalisme dan sosialisme. Jalan ketiga tersebut, bagi Gidden terdapat dalam konsepsi Islam.
Oleh karena itu, dengan kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan (wallfare) yang berkeadilan, maka menjadi sebuah keniscayaan bagi umat manusia untuk merubah ekonomi kapitalisme menuju sistem ekonomi yang berkeadilan dan berketuhanan. Tatanan ekonomi yang mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas, dalam hal ini ekonomi Islam patut untuk dipertimbangkan sebagai salah satu alternativ dalam merealisasikan kesejahteraan manusia secara universal.
Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics” Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan.
Dengan demikian, munculnya ekonomi Islam dan perbankan syari’ah tidak lahir dari kevakuman realitas sosial dan ekonomi. Kemunculannya merupakan refleksi kesadaran diri individu dan para proponennya dalam menerjemahkan visi kekhalifahannya, yaitu meluruskan kembali penyimpangan sosial ekonomi yang terjadi akibat kesalahan ontologi dan epistemologi ekonomi modern dan mengeliminasi cacat nilai dalam praktik ekonomi dan bisnis modern.[5] Dalam perkembangannya Sejumlah pusat keuangan internasional mulai memperkenalkan pelayanan dan produk syariah, termasuk London dan Singapura. Prancis berencana mengikuti jejak Inggris yang berusaha menjadi pusat keuangan syariah di daratan Eropa. Sistem keuangan yang tak terkena dampak besar krisis subprime mortgage telah menarik perhatian dunia, termasuk Prancis, untuk menggelutinya. Bahkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) mulai mempelajari keuangan syariah untuk melihat bagaimana hal itu dapat membentuk kembali sistem keuangan Barat. Sekretaris Jenderal General Council for Islamic Banks and Financial Institutions, Ezzedine Khoja, mengatakan para ahli finansial terus mencari model keuangan yang aman sebagai solusi di masa depan. Dan, sejak sistem keuangan syariah diperkenalkan kembali pada 1975, industri ini berkembang pesat. Saat ini terdapat lebih dari 400 bank syariah yang beroperasi penuh dengan aset lebih dari 600 miliar dolar AS.[6]
Sementara perkembangan perbankan syariah di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan disahkannya UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka Perbankan Syariah telah berkembang dengan pesatnya. Selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang. Sehingga saat ini terdapat 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS. [7] Bahkan diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun 2009 masih akan menikmati high-growth (pertumbuhan tinggi), yakni di kisaran 38 %, dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Sehingga paling tidak pada tahun 2009 ditargetkan ada 9 bank umum syariah baru, yang diperkirakan enam dari bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah dan Bank Panin Syariah dan Bank NISP Syariah, serta tiga lainnya berasal dari investor Timur Tengah, baik didirikan dengan cara merger bank lokal atau mandiri.
Industri Perbankan Syariah Indonesia sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, diharapkan terus tumbuh untuk mendorong aktifitas perekonomian produktif masyarakat. Pertumbuhan itu meliputi pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga), jumlah pembiayaan, pertambahan jumlah rekening nasabah, serta jumlah sektor perekonomian yang dibiayai.

B. Mendekonstruksi Ekonomi Konvensional
Pendekatan ekonomi konvensional yang berlebihan terhadap pemenuhan kepentingan pribadi (self interest), memang telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian Dunia. Tetapi dibalik keberhasilan ini, sesungguhnya ekonomi konvensional gagal dalam mewujudkan aktualisasi visi sosial dan tujuan normatif lahirnya ilmu ekonomi.[8] Hal itu kemudian juga menimbulkan efek negatif dalam bentuk yang diistilahkan oleh Fukuyama “kekacauan yang besar (the great disruption)”.
Kekacauan ini diantaranya berkaitan dengan runtuhnya sistem keluarga. Dalam konsepsi kapitalis, mengasuh dan merawat anak, diyakini membutuhkan pengorbanan yang besar yang dianggap sebagai suatu kerugian dalam ukuran materialis dan hedonis. Mentalitas pasar yang mendorong untuk memenuhi kepuasan/kepentingan pribadi yang telah disuntikan kedalam keluarga, menyebabkan para orang tua tidak mampu untuk berhubungan baik satu sama lainnya. Terjadi peningkatan hubungan seks bebas, perceraian, dan keluarga dengan orang tua tunggal (single parents) menimbulkan penderitaan emosional, kejiwaan, serta material pada anak-anak. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas manusia dan keruntuhan kontrol sosial. Kenakalan remaja dan anomie yang semakin meningkat, menjadi ancaman serius bagi upaya mewujudkan kemakmuran masyarakat.
Hal ini menjadi semakin buruk, ketika sejumlah proporsi signifikan dalam masyarakat terperangkap kegananasan roda kemiskinan, hidup dalam penderitaan di kota-kota besar, dan terpenjara oleh ghetto pathology, tingkat pengangguran yang kronis dan kriminalitas yang tinggi.[9] Realitas ini merebak dan telah menjangkiti hampir seluruh negeri, termasuk negeri-negeri muslim.
Tren atau kecenderungan kemiskinan juga mengarah menjadi semakin buruk. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dolar AS (kurs rupiah Rp. 11.145)[10] terus bertambah terutama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Jumlah angka kemiskinan menurut data BPS berfluktuasi., periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Dan, pada tahun 2007 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 37,17 juta orang (16,58 %) dari populasi. Berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta.[11] Namun beberapa bulan terakhir tahun 2007 akibat harga minyak mentah dunia melonjak drastis bahkan mendekati angka 100 dolar per barel telah menambah jumlah angka kemiskinan di Indonesia. Sehingga pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin naik menjadi 39,05 juta (17,75%) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah ± 222 juta jiwa.
Kekacauan ekonomi juga terjadi secara global akibat “globalisasi ekonomi” yang tidak adil. Globalisasi ekonomi hanya menguntungkan perusahaan multinasional (Multi National Corporations/MNCs). Globalisasi sebagian besar merupakan cerita bagaimana perusahaan multinasional mengambil alih peran negara dalam menentukan jalannya perekonomian dunia. Globalisasi ekonomi dan berbagai peraturan birokrasi global telah membuat korporasi-korporasi multinasional mampu bergabung menjadi satu, menyuarakan satu kepentingan. Sebanyak 200 korporasi besar papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas perekonomian global. Sementara itu 500 korporasi papan atas memegang 70 persen perdagangan dunia, dan 1000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80 persen hasil industri dunia.[12] Hal ini memang diharapkan dan sejalan dengan visi dari sistem kapitalis yang berparadigma pasar (market mechanism paradigm), yang menyerahkan jalannya ekonomi sepenuhnya kepada pasar. Pemerintah hanya akan turut campur ketika pasar diganggu oleh interupsi luar (externalities) atau kegagalan pasar (market failures). Padahal externalities atau market failures sangat bias standarnya. Globalisasi dianggap memberikan efek efisien kepada proses perdagangan dunia, meski sesungguhnya hanya menguntungkan kapitalis global sebagai pemilik MNCs. Dampaknya adalah penghisapan atau akumulasi kekayaan hanya untuk segelintir orang dan meninggalkan kemiskinan yang meluas. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip al-Qur’an:
…………., supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.[13]
Kekacauan juga terindikasi pada kesenjangan pertumbuhan pasar uang (money market) dan pasar obligasi (bond market) berikut pasar sekundernya (secondary market) yang begitu cepat, hingga pertumbuhannya melampaui pertumbuhan perdagangan di sektor riel. Perkembangan baik kualitas maupun kuantitas transaksi di pasar ini berakibat ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang. Berdasarkan data World Bank menunjukan volume transaksi di pasar uang dan pasar derivatifnya mencapai 500 triliun dolar AS, sedangkan volume transaksi yang terjadi di sektor ril hanya 6 triliun dolar AS dalam satu tahun.[14] Besarnya volume pasar uang dan pasar derivatif adalah cerminan akumulasi kekayaan para ‘kapitalis global’. Dan ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang sangat berbahaya. Sistem kredit atau sistem hutang juga telah memerangkap perekonomian dunia sedemikian dalam. Mekanisme bunga (interest rate) yang juga menggurita bersama sistem hutang ini, kemudian membuat sistem perekonomian harus menderita ketidakseimbangan kronis. Kebangkrutan ekonomi sedang menghantui berbagai negara termasuk Indonesia bahkan juga perorangan akibat perangkap sistem bunga tersebut.
Berbagai akses yang sangat menghawatirkan akibat mal praktek ekonomi konvensional sebagaimana terurai di atas telah memunculkan kesadaran dari sejumlah kalangan perlunya mendekonstruksi ekonomi kapitalisme menuju sistem ekonomi yang berkeadilan dan berketuhanan. Tatanan ekonomi yang mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Oleh karena itu perlu dicanangkan sebuah premis baru bahwa pembangunan ekonomi dalam kerangka ajaran Islam dan ilmu ekonomi pembangunan Islami berakar pada kerangka nilai yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Al-Qur’an dan As-Sunah merupakan titik rujukan yang paling mendasar. Premis kedua dalam pendekatan ini menolak sikap imitatif.
Model kapitalis maupun sosialis serta derivasinya bukan merupakan ideal type, kendatipun kita juga dapat mengumpulkan sumber-sumber yang bermanfaat untuk diadaptasikan atau diintegrasikan dalam kerangka Islam tanpa harus mengurangi nilai-nilai normatif yang ada. Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat (negara-negara kapitalis, sosialis dan penganut derivasinya) banyak dipengaruhi oleh karakteristik unik, masalah spesifik, nilai eksplisit dan implisit serta infrastruktur sosial-politik-ekonomi yang khas dari kazanah peradabannya.[15] Sehingga akan terjadi kesulitan besar dan bahkan cenderung kontraproduktif ketika dipaksakan untuk diadopsi secara penuh, hal ini disebabkan adanya perbedaan mendasar yang membentuk bangunan kemasyarakatan dari masing-masing peradaban. Pendekatan Islam haruslah jelas-jelas bersifat ideologis dan berorientasi pada nilai-nilainya. Konsep pembangunan senantiasa terikat oleh kondisi budaya, sosial dan politik setempat.
Pembangunan dalam Islam mempunyai pengertian khusus dan unik. Beberapa aspek pembangunan seperti keadilan sosial dan hak asasi (social justice and human rights), mempunyai persamaan dengan konsep barat, meskipun banyak perbedaan dan memiliki dasar pokoknya yang berbeda. Harus diakui bahwa proyek ilmu ekonomi Islam dan Islamisasi ilmu ekonomi telah menjadi obor terdepan bagi proyek Islamisasi ilmu. Bahkan para penggiat perbankan dan keuangan Islam juga telah berhasil mengukuhkan terwujudnya sistem keuangan Islam secara global dan diakui eksistensinya dalam percaturan ekonomi di dunia dewasa ini.
Keberadaan sistem ekonomi Islam merupakan konsekuensi dari pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Worldview Islam yang menjadi dasar ini oleh para Ulama dan Cendekiawan muslim disebut dengan berbagai istilah; Maulana al-Maududi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islami (Islamic Vision), Mohammad Atif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-Islami (Islamic Principle), sedangkan Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil Wujud (Islamic Worldview).[16] Meskipun secara istilah terjadi perbedaan penyebutan tetapi secara esensi terdapat kesamaan keyakinan para Ulama’ dan Cendekiawan tersebut bahwa pandangan hidup (worldview) seorang muslim haruslah menjadikan Islam sebagai sistem hidup yang mengatur semua sisi kehidupannya yang menjanjikan kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan akherat.
Worldview ini lahir dari adanya konsep-konsep Islam yang mengkristal menjadi kerangka berfikir (mental framework). Islam pada hakekatnya merupakan panduan pokok bagi manusia untuk hidup dan kehidupannya, baik itu aktifitas ekonomi, politik, hukum maupun sosial budaya. Islam memiliki kaidah-kaidah, prinsip-prinsip atau bahkan beberapa aturan spesifik dalam pengaturan detil hidup dan kehidupan manusia. Islam mengatur hidup manusia dengan kefitrahannya sebagai individu (hamba Allah SWT) dan menjaga keharmonisan interaksinya dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Dalam aktifitas kehidupan manusia, beberapa aspek aktifitas tersebut memiliki sistemnya sendiri-sendiri, misalnya aspek ekonomi, hukum, politik dan sosial budaya. Islam yang diyakini sebagai sistem yang integratif dan konprehensip tentu memiliki formulasinya sendiri dalam aspek-aspek tersebut. Sistem ekonomi Islam, sistem hukum Islam, sistem politik Islam dan sistem sosial-budaya Islam merupakan bentuk sistem yang spesifik dari konsep Islam sebagai sistem kehidupan. [17]
Worldview Islam memberikan pijakan bahwa bahwa umat manusia adalah ciptaan Allah, dan seluruh sumber kehidupan (resources) yang tersedia adalah amanah-Nya, maka secara otomatis manusia memiliki hubungan persaudaraan yang alamiah dan mereka juga harus bertanggungjawab kepada-Nya. Oleh karena itu manusia tidak secara mutlak bebas untuk melakukan apa saja, akan tetapi mereka diharapkan untuk menggunakan sumber daya yang terbatas (limited resources) dan berinteraksi antara satu dengan lainnya serta membangun lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mendukung usaha perwujudan kesejahteraan bersama (mutual welfare) setiap individu, tanpa melihat apakah status social, ras dan agama. Manusia juga diharapkan untuk tidak saja menjamin pencapaian tujuan materi, akan tetapi juga tujuan spiritual dan kemanusiaan.
Islam menekankan pembanguan ‘insan seutuhnya’ (human development) menuju puncak kehidupan yang seindah-indahnya (fi ahsani taqwiin).[18] Pembangunan mendasarkan diri pada konsep tazkiyah an-nafs dengan titik tumpu pada penyempurnaan akhlak dan kepribadian. Karena pribadi adalah bagian penting dalam pembentukan peradaban. Asas ketenangan (internal harmony) merupakan hasil dari proses tazkiyah. Ibnu Khaldun pernah melukiskan betapa agama dapat menghasilkan transformasi social (social transformation). Dan sebaliknya manakala sebuah komunitas masyarakat terjebak pada kesenangan dan kemewahan maka akan lahir babak kehancuran dari peradaban (the decay of civilization). Dengan konsep tazkiah ini maka diharapkan terbentuk: konsep pembangunan Islami yang memiliki sifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral dan material; fokus usaha dengan jantung pembangunan itu sendiri adalah manusia; pembangunan ekonomi adalah aktifitas yang multidimensional; pembangunan ekonomi menimbulkan sejumlah perubahan secara kuantitatif maupun kualitatif; dan adanya prinsip sosial Islam yang dinamis untuk pemanfaatan sumber daya alam dan pemanfaatan ini dilaksanakan dengan semangat keadilan.
Kebijakan pembangunan Islami yang ideal harus berorientasi untuk meningkatkan tingkat spiritual masyarakat Islam dan meminimalisasi kerusakan moral, memenuhi kewajibannya untuk kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas sumber daya yang tersedia; dan menjamin keadilan distributif dan memberantas praktik eksploitasi. Sebuah doktirn yang melekat dan menyatu dalam kepribadian masyarakat (built-in in-doctrination). Kesejahteraan individu dalam masyarakat Islam dapat terealisasi bila ada iklim yang cocok bagi pelaksanaan nilai-nilai spiritual Islam secara keseluruhan untuk individu maupun masyarakat.

C. Prilaku Manusia dalam Ekonomi
1. Produksi
Dalam konsepsi Islam, prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seharusnya berpijak pada prinsip agama. Selain itu, mempertimbangkan juga kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Dalam ekonomi Islam, keduanya berinteraksi secara harmonis sehingga terbentuklah sebuah mekanisme ekonomi yang khas dengan pondasi nilai-nilai Ilahiyah. Disisi lain, ekonomi konvensional memandang prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas. Dari sini dapat dipahami bahwa prilaku manusia tersebut terfokus sebagai prilaku yang bersifat individual dan prilaku tersebut bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (needs), tetapi pada hakekatnya untuk memuaskan keinginan (wants) yang memang tak terbatas. [19]
Definisi ekonomi konvensional ini berkembang dari pemahaman motif-motif ekonomi yang dijelaskan oleh pemikir ekonomi kapitalis. Francis Ysidro Edgworth (1845-1926) merupakan tokoh sentral yang mengemukakan motif self interest (egoism dan utilitarianism) dari prilaku ekonomi manusia. Dari diskursus intelektual mengenai motif prilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, sesungguhnya telah diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki andil dalam prilaku ekonomi manusia. Namun Edgworth (1881) memiliki alasan kuat bahwa hanya egoismelah yang menjadi landasan nilai yang sangat konsisten bagi prilaku manusia (egoistic behaviour).
Ada perbedaan yang mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional dari pondasi dasar yang telah dijelaskan diatas. Pertama adalah sumber landasan nilai yang muncul. M.N. Siddiqi [20] mengemukakan bahwa sumber utama dari prilaku dan infrastruktur ekonomi Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Pengetahuan itu bukan buah fikiran pakar ekonomi Islam, tapi ‘ide langsung’ dari Allah SWT. Sementara itu sumber pengetahuan dari prilaku dan institusi ekonomi konvensional adalah intelegensi dan intuisi akal manusia melalui studi empiris. Perbedaan kedua, tentu saja terletak pada motif prilaku itu sendiri. Ekonomi Islam dibangun dan dikembangkan di atas nilai altruisme, sedangkan ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai egoisme.
Dari banyak prinsip-prinsip ekonomi Islam yang disebutkan oleh pakar ekonomi Islam, setidaknya terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam.[21] Pertama, menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct). Dari produk, manajemen, proses produksi hingga proses sirkulasi atau distribusi haruslah dalam kerangka halal. Usaha-usaha tersebut tidak bersentuhan dengan judi (maisir) dan spekulasi (gharar) atau tindakan-tindakan lainnya yang dilarang secara syariah. Hal ini juga berlandaskan pada surah al-Baqarah ayat 72 & 168 serta an-Nisaa ayat 29.. Dalam ekonomi Islam pada dasarnya aktifitas apapun hukumnya boleh kecuali ada dalil yang melarang aktifitas itu secara syariah.
Kedua, hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living), bermakna juga bahwa tindakan-tindakan ekonomi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan memuaskan keinginan (wants). Prinsip ini sejalan dengan panduan al-Qur’an:
ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#rä‹è{ ö/ä3tGt^ƒÎ— y‰ZÏã Èe@ä. 7‰Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä† tûüÏùÎŽô£ßJø9$#
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Ketiga, implementasi Zakat (implementation of zakat). Pada tingkat negara mekanisme zakat yang diharapkan adalah obligatory zakat system bukan voluntary zakat system. Disamping itu ada juga instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah yang terimplementasi dalam bangunan sosial masyarakat. Prinsip ini sebagaimana diisyaratkan dalam surah at-Taubah ayat 60 dan 103.
Keempat, penghapusan/pelarangan Riba atau Bunga (prohibition of riba), Gharar dan Maisir. Untuk itu perlu menjadikan sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrument mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (credit system) berikut instrumen bunganya (interest rate) dan membersihkan ekonomi dari segala prilaku buruk yang merusak sistem, seperti prilaku menipu, spekulasi atau judi. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an.

orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Keempat prinsip utama ini tentu bukan hanya memberi batasan-batasan moral saja dalam aktifitas dan sistem ekonomi Islam, tetapi juga memiliki konsekwensi-konsekwensi yang menciptakan bangunan ekonomi Islam. Konsekwensi yang jelas sekali misalnya adalah eksistensi lembaga Baitul Mal sebagai respon langsung dari ketentuan implementasi sistem zakat dalam kebijakan fiskal Negara. Atau dominasi konsep bagi hasil dalam dunia keuangan dan investasi sebagai konsekwensi pelarangan bunga (riba).
Juga adanya lembaga al-Hisbah untuk mengawasi pasar. Prinsip-prinsip ini tamanya dimaksudkan agar segala aktifitas manusia betul-betul dapat mencapai sebuah kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan dunia-akhirat (falah). Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman dari prilaku individual dan juga kolektif yang akan mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara luas.
Dalam ekonomi Islam motif dalam aktifitas ekonomi adalah ibadah. Motif badah inilah yang kemudian mempengaruhi segala prilaku konsumsi, produksi dan interaksi ekonomi lainnya. Secara spesifik ada tiga motif utama dalam prilaku ekonomi Islam, yaitu mashlahah (public interest), kebutuhan (needs) dan kewajiban (obligation).
Mashlahah merupakan motif yang dominan diantara ketiga motif yang ada, Dr. Akram han menjelaskan bahwa mashlahah adalah parameter prilaku yang bernuansa altruisme (kepentingan bersama). Berikutnya, motif kebutuhan merupakan sebuah motif dasar (fitrah), dimana manusia memang memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sedangkan motif kewajiban merupakan representasi entitas utama motif ekonomi yaitu ibadah. Ketiga motif ini saling menguatkan dan memantapkan peran motif ibadah dalam
perekonomian.
Dalam paradigma ekonomi Islam harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk mencapai falah. Seluruh kekayaan adalah milik Allah SWT, sehingga pada hakikatnya apa yang dimiliki manusia itu hanyalah sebuah amanah. Dan nilai amanah itulah yang menuntut manusia untuk menyikapinya dengan benar. Sedangkan dari perspektif konvensional, harta merupakan kekayaan yang menjadi hak milik pribadi seseorang. Islam cenderung melihat harta berdasarkan flow concept, yang sebaiknya mengalir. Sedangkan ekonomi konvensional cenderung memandangnya berdasarkan stock concept, yang mendorong prilaku penumpukan dan penimbunan.[22]
Dr. Muhammad Arif[23] menjelaskan bahwa ekonomi konvensional lebih mengedepankan pasar sebagai paradigmanya. Orientasi pasar pada ekonomi konvensional sejalan dengan landasan filosofinya yang menjadikan kelimpahan materi sebagai parameter. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa kecenderungan pelaku pasar dalam sistem konvensional begitu konsumtif, hedonis, materialistis dan individualistis.


2. Prilaku Konsumsi dan Distribusi Individu dan Masyarakat
Beberapa ahli ekonomi Islam telah membuat kesimpulan menarik berkaitan dengan hubungan antara prilaku ekonomi (economic behavior) dan tingkat keyakinan atau keimanan individu atau masyarakat. Dalam pandangan tersebut disimpulkan, pada tingkatan realitas atau kenyataan, prilaku ekonomi sangat ditentukan oleh tingkat keimanan seseorang atau masyarakat. Prilaku ini kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi dan produksi di pasar. Kesimpulan tersebut menjelaskan tiga arakteristik prilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.[24] Pertama, ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh motif mashlahah (public interest), kebutuhan (needs) dan kewajiban (obligation).
Kedua, ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat individualistis.
Ketiga, ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi individu atau masyarakat tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan rasionalisme. Dalam prilaku konsumsipun tak terlepas dari perspektif tersebut.
Sesunguhnya motif berkonsumsi atau berproduksi individu atau masyarakat muslim seharusnya akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.[25] Sementara itu Dr. Qardhawi [26] menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, diantaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Sedangkan pada perspektif konvensional, aktifitas konsumsi seseorang sangat erat kaitannya dengan pemaksimalan kepuasan (utility). John Hicks (1904-1989)[27] memberikan penjelasan tentang konsumsi ini menggunakan parameter kepuasan melalui konsep kepuasan (utility) yang tergambar dalam kurva indifference (tingkat kepuasan yang sama). Hicks mengungkapkan bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktifitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal menggunakan tingkat pendapatannya (budget constraint).
Tingkat pendapatannya akan dioptimalkan untuk memaksimalkan konsumsi barang/jasa, tabungan dan investasi untuk kepuasannya sendiri. Pemaksimalan kepuasan ini dipengaruhi oleh dorongan yang didominasi nilainilai individualisme, ego, keinginan dan rasionalisme. Jauh dari nilai altruisme. Bagi individu atau masyarakat muslim, pendapatan (income) merupakan alat untuk memaksimalkan pencapaian kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan duniaakherat (falah). Dr. Monzer Kahf35 melakukan analisis tajam mengenai ‘pengeluaran akhir’ (final spending/FS) sebagai variabel standard dalam melihat kepuasan maksimum yang diperoleh seorang konsumen muslim. Dalam konsep tersebut, beliau memasukan komponen zakat sebagai variabel yang menjadi keharusan dalam prilaku konsumsi individu muslim (bagi yang mampu). Sehingga secara lengkap ‘pengeluaran akhir (FS)’ dari penghasilan yang didapat seorang muslim meliputi; konsumsi barang/jasa, tabungan, investasi, zakat, infak-shadaqah, serta wakaf bagi yang mampu. Hal ini didasari oleh semangat kemaslahatan bersama dan tumbuh suburnya nilai-nilai altruisme yang mengakar dalam individu dan masyarakat.
Hal ini tentu berbeda dengan teori ekonomi konvensional yang hanya memasukan pengeluaran akhir individu kapitalis yang hanya mencakup; konsumsi barang/jasa dan maksimalisasi tabungan dan investasi saja. Selain itu terdapat konsep yang fundamental dalam paradigma konsumsi menurut Islam. Dalam konsepsi Islam; kebutuhan (need) berbeda dengan keinginan (want) dan syahwat (desire). Dalam lingkungan mayarakat yang kapitalis dan konsumeris tentu akan sangat sulit membedakan hal ini. Tetapi bagi individu atau masyarakat yang memiliki keimanan yang tinggi akan mudah membedakan hal ini. Kebutuhan (need) adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia sehingga dapat hidup normal. Bila ada diantara kebutuhan tersebut yang tidak terpenuhi maka manusia dalam kondisi sengsara dan tidak dapat hidup normal.
Dapat dikatakan bahwa kebutuhan adalah suatu hal yang harus ada. Sedang keinginan (want) yaitu sesuatu tambahan-tambahan yang diharapkan dapat dipenuhi sehingga manusia tersebut merasa lebih puas. Meski kepuasan sangat relative bagi setiap orang, namun yang pasti, bila keinginan tidak terpenuhi maka kelayakan hidup tidak akan berkurang. Sedangkan syahwat (desire) merupakan dorongan dalam diri manusia yang diakibatkan oleh sifat-sifat buruk. Seperti dorongan kedengkian, iri hati, tamak, rakus, sombong, ingin dihormati dll. Syahwat inilah yang biasanya memunculkan keinginan yang tidak sehat pada diri manusia. Membuat tidak rasional dalam keputusankeputusan finansial.
Kemampuan membedakan antara kebutuhan, keinginan dan syahwat adalah bagian penting dalam panduan prilaku konsumsi dalam ekonomi Islam. Karena kalau tidak dapat membedakan yang mana pengeluaran sebagai kebutuhan dan yang mana sebenarnya sebagai keinginan dan syahwat konsumsi, maka individu atau masyarakat akan menjadi boros dan konsumeris. Boros dalam padangan Islam sebagai bentuk kemubadziran. Tidak bisa membedakan antara syahwat, keinginan dan kebutuhan juga bias membuat individu atau masyarakat tidak bisa menentukan dengan baik prioritas dalam melakukan pengeluaran. Malah, bisa jadi akan mengorbankan suatu kebutuhan untuk memenuhi keinginan dan syahwat. Kesimpulan penting dari pandangan Islam untuk panduan konsumsi adalah meletakan motif utama dalam prilaku ekonomi Islam, yaitu mashlahah, kebutuhan dan ibadah. Selain itu tujuan aktivitas ekonomi individu muslim adalah untuk mencapai sebuah kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan dunia-akhirat (falah). Sehingga dengan motif dan tujuan ini prilaku ekonomi manusia yang diharapkan juga akan berorientasi pada semangat kesejahteraan bersama (altruisme). Individu dan Masyarakat akan mencapai kepuasan manakala ‘pengeluaran akhir’ dari penghasilan mereka juga optimal untuk kedermawanan atau kesejahteraan bersama seperti zakat, infak-shadaqah, serta wakaf dan bentuk kebaikan lainnya.
D. Konstribusi Ekonomi Islam untuk Ekonomi Modern
Dalam tiga dekade belakangan ini, kajian dan penelitian ekonomi Islam kembali berkembang. Berbagai forum internasional tentang ekonomi Islam sering dan banyak digelar di berbagai negara, seperti konferensi, seminar, simposium, dan workshop. Puluhan para doktor dan profesor ekonomi Islam yang ahli dalam ekonomi konvensional dan syari’ah, tampil sebagai pembicara dalam forum-forum tersebut.Dari kajian mereka ditemukan bahwa teori ekonomi Islam, sebenarnya bukan ilmu baru ataupun ilmu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi modern yang berkembang saat ini. Fakta historis menunjukkan bahwa para ilmuwan Islam zaman klasik, adalah penemu dan peletak dasar semua bidang keilmuan, termasuk ilmu ekonomi.
Karena itu adalah logis, bila Adiwarman Azwar karim, mengatakan bahwa teori-teori ekonomi modern yang saat ini dipelajari di seluruh dunia, merupakan pencurian dari teori-teori yang ditulis oleh para ekonom Barat yang melakukan plagiat tanpa menyebut rujukan yang berasal dari kitab-kitab klasik tentang ekonomi Islam.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, dalam bukunya Muslim Economic Thingking atau dalam artikelnya History of Islamic Economics Thought belum menjelaskan adanya benang merah antara pemikiran ekonomi Islam yang demikian maju dengan kebangkitan pemikiran ekonomi Barat. Karena itu tulisan ini perlu menunjukkan adanya benang merah tersebut.
Dalam Ensiklokipaedia Britania, Jerome Ravetz berkata, ”Eropa masih berada dalam kegelapan, sehingga tahun 1000 Masehi di mana ia dapat dikatakan kosong dari segala ilmu dan pemikiran, kemudian pada abad ke 12 Masehi, Eropa mulai bangkit. Kebangkitan ini disebabkan oleh adanya persinggungan Eropa dengan dunia Islam yang sangat tinggi di Spanyol dan Palestina. , serta juga disebabkan oleh perkembangan kota-kota tempat berkumpul beberapa orang kaya yang terpelajar Joseph Schumpeter dalam buku History of Economics Analysis, Oxford University, 1954, mengatakaan, adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages . Masa kegelapan Barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam. Ketika Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. The dark ages dan kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan adalah suatu masa yang sengaja ditutup-tutupi barat, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dicuri oleh ekonom Barat. Proses pencurian itu diawali sejak peristiwa perang salib yang berlangsung selama 200 tahun, yakni dari kegiatan belajarnya para mahasiswa Eropa di dunia Islam.
Transmisi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat telah dicatat dalam sejarah. Dalam hal ini Abbas Mirakhor menulis, The transmission mechanism of Islamic sciences and philosophy to the Eoropeans has been recorded in the history of thought of these disciplines. It took a variaty of forms. First, during the late elevent and early twelfth centuries, a band of western scholars such as Constantine the African and Adelard of Bath, travel to Muslim countries, learned Arabic and made studies and brought what they could of the newly acquired knowledge with them back to Eorope. For example, one such student Leonardo Fibonacci or leonardo of Pisa (d.1240) who traveled and studied in Bougie in Algeria in the twelfth century , learned arithmatic and mathematic of Al-Khawarizmi and upon his return he wrote his book Liber Abaci in 1202.
Di sinilah terjadi pencurian ilmu ekonomi Islam oleh Barat. Hal ini telah banyak dikupas oleh para sejarahwan. Dari teks di atas dapat diketahuai bahwa dalam abad 11 dan 12 M, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African dan delard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Erofa. Leonardo Fibonacci atau Leonardo of Pisa (d.1240), belajar di Bougioe, Aljazair pada abad ke 12. Ia juga belajar aritmatika dan matematikanya Al-Khawarizmi. Sekembalinya dari Arab, ia menulis buku Liber Abaci pada tahun 1202.
Selanjutnya Abbas Mirakhor menyimpulkan, “The importance of this work is noted by Harro Bernardelli) who make a case for dating the beginning of economic analysis in Europe to Leonardo’s Liber Abaci” .
Kemudian banyak pula mahasiswa dari Itali, Spanyol, dan Prancis Selatan yang belajar di pusat kuliah Islam untuk belajar matematika, filsafat, kedokteran, kosmografi, dan ekonomi. Setelah pulang ke negerinya, mereka menjadi guru besar di universitas-universitas Barat. Pola pengajaran yang dipergunakan adalah persis seperti kuliah Islam, termasuk kurikulum serta metodologi ajar-mengajarnya. Universitas Naples, Padua, Salero, Toulouse, Salamaca, Oxford, Monsptellier dan Paris adalah beberapa universitas yang meniru pusat kuliah Islam.
Sejarah juga mencatat bahwa ilmuwan terkemuka Raymond Lily (1223-1315 M), belajar di universitas Islam. Sepulangnya ke Erofa ia banyak menulis tentang kekayaan khazanah keilmuan Islam dan selanjutnya mendirikan The Council of Vienna (1311) dengan lima buah fakultas yang mengajarkan bahasa Arab sebagai mata kuliah utama. Dengan pengusaan bahasa Arab, mereka menerjemahkan karya-kaarya Islam ke bahasa latin.
Salah satu materi yang diterjemahkan adalah berkenaan dengan ilmu ekonomi Islam. Beberapa penerjemah tersebut antara lain, Michael Scot, Hermaan the German, Dominic Gusdislavi, Adelard Bath, Constantine the African, John of Seville, Williem of Luna Gerard of Cremona, Theodorus of Antioch. Alfred of Sareshel dan banyak lagi deretan penerjemah Barat yang tak bisa disebutkan di sini. Tapi, beberapa penerjemah Yahudi perlu juga dipaparkan. Mereka antara lain, Jacob of Anatolio, Jacon ben Macher, Kalanymus ben kalonymus, Moses ben Salomon, Shem Tob ben Isac of Tortosa, Salomon Ibn Ayyub, Todros Todrosi, Zerahoyah Gracian, Faraj ben Salim dan Yacub ben Abbob Marie.
Karya-karya intelektual muslim yang diterjemahkan adalah karya-karya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusydi, Al-Khawarizmi, Ibnu Haytam, Ibnu Hazam, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, Ar-Razi, Abu ‘Ubaid, Ibnu Khaldun, Ibnu Taymiyah, dan sebagainya.
Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scholastic, Pertama, penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles tentang ekonomi. Kedua, towering achievement (capaian hebat) St.Thomas Aquinas. Scumpeter menulis dalam catatan kakinya nama Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi yang berjasa menjembatani pemikiran Aristoteles ke St. Thomas. Artinya, tanpa peranan Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi, St.Thomas tak pernah mengetahui konsep konsep Aristoteles. Karena itu tidak aneh, jika pemikiran St.Thomas sendiri banyak yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja sehingga para sejarawan menduga St.Thomas mencuri ide-ide itu dari ekonomi Islam.
Dugaan kuat itu sesuai dengan analisa Capleston dalam bukunya “A History of Medieval Philosofy”, New York, 1972, “Fakta bahwa St.Thomas Aquinas memetik ide dan dorongan dari sumber-sumber yang beragam, cenderung menunjukkan bahwa ia bersifat eklektif dan kurang orisinil. Sebab kalau kita melihat doktrin dan teorinya, ia sering mengatakan, “ini sudah disebut Ibnu Sina” (Avicenna), atau “ini berasal langsung dari Aristoteles. Berdasarkan realitas ini kita dapat mengatakan bahwa tak ada sesungguhnya yang orisinil atau istimewa dari St. Thomas tersebut. Berkaitan dengan itu Harris dalam bukunya “The Humanities”, 1959, menulis, “Tanpa pengaruh peripatetisisme orang Arab, teologi Thomas Aquinas dan pemikiran filsafatnya tak bisa dipahami”
Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :
عن انس بن مالك قال الناس: يارسول الله غلا اسعرفسعرلنا فقال رسول الله: ان الله هوالمسعرالقابض الباسط الرزاق وانى لارجو ان القى الله وليس احدمنكم يطالبنى بمظلمة فى دم ولا مال (رواه ابو داود)

Dari Anas bin Malik, para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap dapat bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku karena kedzaliman dalam persoalan jiwa dan harta.[28]

Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Inilah yang mendasasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.
Selanjutnya ilmuwan Barat bernama Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak. Inilah yang disadur oleh Gresham dalam teorinya Gresham Law dan Oresme treatise.
St. Thomas menyalin banyak bab dari Al-Farabi. St. Thomas juga belajar di Ordo Dominican mempelajari ide-ide Al-Gazhali. Teori pareto optimum diambil dari kitab Nahjul balaghah, karya Imam Ali. Bar Hebraeus, pendeta Syriac Jacobite Church, menyalin beberapa bab dari kitab Ihya Ulumuddin, karya al-Gahazali. Pendeta Spanyol Ordo Dominican bernama Raymond Martini, menyalin banyak bab dari tahafut al-falasifa, dan Ihya al-Ghazali. Bahkan Bapak ekonomi Barat, Adam Smith (1776) dengan bukunya The Wealth of Nation diduga keras banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwalnya Abu ‘Ubaid (838). Judul buku Adam Smith saja persis sama dengan judul buku Abu ‘Ubaid yang berjudul Al-Amwal. Hiwalah yang dipraktekkan sejak zaman Nabi, baru dikenal oleh praktisi perbankan konvensional tahun 1980-an dengan nama anjak piutang.
Menurut Dr Sami Hamond, seorang ahli perbankkan dari Yordan, cek pertama ditarik di dunia ini bukan oleh tukang besi Inggris tahun 1675 di London sebagaimana disebutkan dalam textbook Barat, tetapi dilakukan oleh Saifudawlah Al-Hamdani, putra mahkota Aleppo yang berkunjung ke Bagdad pada abad X Masehi. Penukaran mata uang mengakui keabsahan cek yang dikeluarkan putera mahkota karena ia mengenal tanda tangannya. Dalam Encyclopedia of Literates, menurut Hamond, juga diceritakan seorang penyair bernama Jahtha menerima selembar cek yang ia gagal menguangkannya. Ini terjadi juga pada abad ke 10 Masehi. Sejarah itu menunjukkan bahwa pada abad ke 10 yang lalu cek sudah dikenal dalam ekonomi Islam. Seorang pengelana Persia Naser Kashro yang pergi ke kota Bashrah pada abad ke 10 M menceritakan, bahwa uang yang dibawanya diserahkan pada penukar mata uang dan ia menerima kertas berharga, semacam traveller cheques yang dipakai dalam berbelanja.
Indikasi-indikasi lain yang menunjukkan pengaruh ekonomi Islam terhadap ekonomi modern ialah diadopsinya kata credit yang dalam ekonomi konvensional dikatakan berasal dari credo (pinjaman atas dasar kepercayaan). Credo sebenarnya berasal dari bahasa Arab “qa-ra-do” yang secara fikih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan.
Paparan di atas menunjukkan peran ilmuwan muslim sangat signifikan terhadap kebangkitan intelektualisme Eropa, termasuk dalam pemikiran ekonomi. Demikian sekelumit uraian tentang kontribusi pemikiran ekonomi Islam terhadap ekonomi modern.

D. Prospek Perkembangan dan Tantangan Perbankan Syariah
1. Faktor Pendorong Perkembangan Perbankan Syariah
Krisis berkepanjangan yang menimpa sejumlah negara besar masih meninggalkan sejumlah persoalan yang sangat serius bagi semua bangsa di dunia. Dalam bahasa ekonom FEM IPB, Iman Sugema, ada tiga kiamat (trio doom) yang menimpa perekonomian dunia akibat krisis finansial yang bermula dari AS, yang boleh jadi menjadi penyebab turning pointatau titik balik perekonomian nasional pada 2009. Kiamat pertama adalah property doom atau kiamat properti, yang ditandai dengan jatuhnya harga properti di AS. Kemudian, financial doom atau kiamat finansial, yang ditandai dengan menurunnya indeks bursa dunia pascakrisis dan belum menunjukkan tanda akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Beberapa bursa mengalami penurunan indeks lebih dari 30 persen, seperti Cina (62,9%), Jepang (38,3%), dan Jerman (35,6%). Kiamat yang ketiga adalah commodity doom, di mana harga sejumlah komoditas mengalami penurunan, seperti turunnya harga CPO dan kopi robusta sejak Juli 2008, masing-masing sebesar 61,9 persen dan 15 persen.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya dry up pada likuiditas global, di mana banyak perusahaan keuangan besar dunia menarik likuiditasnya demi mengatasi kerugian yang terjadi. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan di sektor riil pun terganggu.
Diperkirakan memasuki semester pertama 2009 akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, sebagaimana yang diprediksi Aviliani, akibat berakhirnya kontrak ekspor sejumlah perusahaan Indonesia. Jika ini terjadi, angka pengangguran diperkirakan akan naik. Sudah pasti keadaan ini akan mengundang demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar. Dipastikan kondisi sosial ekonomi bangsa ini akan semakin berat
Kinerja perbankan konvensional dinilai masih rentan. Hal ini menjadi momentum bagi bank syariah untuk menunjukkan bahwa fondasinya lebih kokoh dalam menghadapi krisis global. Bank Indonesia (BI) optimistis bank syariah punya prospek cerah di tanah air. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia makin pesat dan berkembang secara fantastis. Krisis keuagan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius, seperti di Singapura dan London. Di Indonesia prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang di masa depan. Perkembangan industri lembaga syariah ini semakin menunjukkan keunggulannya dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.
Ada beberapa faktor pendukung prospek lajunya sistem ekonomi syariah di negeri ini, yaitu:
Pertama, hancurnya sosialisme beberapa waktu lalu seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet dan sejumlah negara komunis lainnya di penghujung tahun 80-an, dan makin loyonya kapitalisme seperti ditunjukkan dengan terjadinya krisis di berbagai negara. Di Indonesia misalnya, krisis ekonomi yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun betul-betul membawa pengaruh yang sangat buruk bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta kehilangan pekerjaan. Jutaan anak harus putus sekolah. Dan jutaan lagi lainnya mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam.
Selama ini terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiyatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak pernah secara sengaja diterapkan. Islam, sebagaimana agama dalam pengertian barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Maka, di tengah-tengah sistem sekularistik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat.
Kedua, tumbuhnya berbagai institusi keuangan Islam di berbagai negara. Di Indonesia, BMI yang berdiri pada tahun 1992 bisa disebut sebagai perintis lembaga keuangan syariah. Cukup lama BMI menjadi pemain tunggal dalam dunia perbankan syariah, sekalipun sebenarnya tergolong terlambat bila dibanding dengan perkembangan bank syariah di negara lain. Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr, Kairo, Mesir, misalnya sudah berdiri tahun 1963. Lalu IDB berdiri tahun 1970. Berturut-turut setelah itu bank-bank syariah berdiri di Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki.
Kini, setelah terbitnya UU Perbankan No 10 tahun 1998 dan tebitnya UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. yang menyebut secara tegas eksistensi bank syariah sebagai salah satu bentuk bank yang boleh berdiri di Indonesia, tumbuh bank-bank syariah. Yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank BNI Syariah, Bank IFI Syariah dan Bank Mega Syariah. Menyusul segera berdiri adalah Bank BRI Syariah dan Bank Niaga Syariah. Sekalipun demikian, bank syariah (dalam hal ini BMI) terbukti mampu bertahan menghadapi krismon. Di saat bank-bank konvensional mengalami defisit diterpa badai krisis, bahkan puluhan diantaranya terpaksa harus dilikuidasi, bank syariah tetap tegak berdiri. Memang BMI pada puncak krisis tahun 1998 menderita rugi Rp 72 miliar, tapi tahun 1999 sudah pulih dan meraih untung Rp 2 miliar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dengan sistem syariah, dunia perbankan akan terhindar dari momok yang sangat ditakuti yaitu negative spread.
Disamping bank syariah, juga telah berdiri lembaga keuangan Islam lainnya seperti Takaful, Reksadana Syariah, Pegadaian Syariah, dan sebagainy dan yang dalam rintisan adalah Lembaga Tabung Haji. Mengenai yang terakhir, diilhami oleh sukses lembaga serupa di Malaysia. Didirikan tiga puluh tahun lalu, LTH di sana kini telah menjadi lembaga keuangan paling terkemuka. Assetnya lebih dari Rp 20 triliun, dengan return yang diberikan paling tinggi dibanding dengan bank syariah apalagi bank konvensional manapun di Malaysia. LTH juga menjadi simbol keberhasilan lembaga keuangan syariah di tengah persaingan dengan lembaga keuangan yang kapitalistik. Kenyataan-kenyataan di atas setidaknya mampu mendongkrak kepercayaan diri ummat bahwa ekonomi Islam memang benar-benar ada, dapat dipraktekkan secara nyata, dan sepanjang dikelola secara professional dengan dukungan SDM yang memadai serta perlindungan regulasi dari pemerintah, dapat berhasil dengan baik.
Ketiga, tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan dan wacana ekonomi Islam. Di Indonesia, kian hari makin bertambah banyak lembaga pendidikan yang membuka program studi, jurusan bahkan sekolah tinggi ekonomi Islam. Hal ini disamping dipengaruhi oleh kegairahan dalam pengkajian ekonomi Islam secara ilmiah juga didorong yang semakin banyak diperlukan SDM yang mumpuni guna menunjang pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan atau praktek ekonomi Islam.
Di luar Indonesia, pertumbuhan seperti itu malah sudah lebih dulu terjadi, termasuk juga di universitas-universitas Barat yang notabene sekuler, seperti Louborough University dan University of Durhem yang termasuk dua perguruan tinggi bergengsi di Inggris. London School of Economics dan Harvard School of Law sudah sering meminta ceramah ilmiah dari pakar-pakar ekonomi Islam seperti Dr. Umar Chapra, Dr. Khursid Ahmad dan lain-lain.
Berbagai kajian baik melalui media cetak maupun elektronik, konferensi dan seminar baik dalam skala lokal, regional, nasional maupun internasional telah dilakukan, serta penerbitan buku-buku tentang ekonomi Islam makin mendorong kesadaran dan minat masyarakat pada ekonomi Islam.
Keempat, meningkatnya kesadaran ummat seiring dengan berkembangnya wacana tentang ekonomi Islam melalui berbagai saluran. Faktor ini sangat penting oleh karena apapun yang akan menjadi aktor utama baik berperanan sebabai subyek maupun obyek dalam ekonomi Islam tetap saja ummat. Tanpa kesadaran, maka ekonomi Islam akan mengalami stagnasi, bahkan tertolak.

2. Tantangan Perbankan Syari’ah
Meskipun Perbankan Syariah mengalami high growth, namun industri perbankan syariah masih harus mengatasi beberapa tantangan, agar dapat mempertahankan pertumbuhan yang tinggi tersebut secara lebih berkesinambungan. Ada sejumlah tantangan yang kemungkinan menghadang prospek perkembangan, yakni
Pertama, sumber daya manusia (SDM). Dengan semakin meningkatnya kapasitas ekspansi BUS dan UUS di masa depan, maka semakin menuntut penambahan SDM berkualitas dalam jumlah yang memadai. Selanjutnya, kegiatan operasional perbankan syariah yang dekat kepada sektor riil memberikan konsekuensi kebutuhan bank syariah untuk lebih memiliki sumber daya yang kuat dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan sektor riil seperti kemampuan penilaian proyek dari berbagai aspek, misalnya industri manufaktur, perdagangan, agribisnis dan sebagainya. Hal ini sangat penting agar resiko kredit dapat diminimalisir sekecil mungkin, sehingga dapat mengecilkan tingkat NPF (Non Performing Financing) Perbankan Syariah.Selain itu juga, harus tetap diperhatikan keahlian perbankan syariah yang profesional seperti keahlian legal aspect, risk management dan service exellence Skills ini menjadi sebuah keniscayaan mutlak bagi praktisi perbankan syariah tanpa mengesampingkan nilai-nilai moral yang cukup kental dalam bisnis syariah.
Selain itu juga, harus tetap diperhatikan keahlian perbankan syariah yang profesional seperti keahlian legal aspect, risk management dan service exellence Skills ini menjadi sebuah keniscayaan mutlak bagi praktisi perbankan syariah tanpa mengesampingkan nilai-nilai moral yang cukup kental dalam bisnis syariah.
Kedua, masalah permodalan. Dengan kecenderungan semakin bertumbuhnya DPK hingga saat ini, perbankan syari’ah dituntut untuk menambah permodalannya di masa depan. Artinya perbankan syariah akan membutuhkan suntikan modal yang cukup besar agar tetap dapat beroperasi sesuai dengan koridor kehati-hatian dalam aspek permodalan. Pada saat ini tingkat rata-rata CAR (Capital Adequacy Ratio), bank syariah cenderung menurun sejalan dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) Hal tersebut menunjukkan bahwa industri perbankan syariah berada hampir pada kapasitas maximum ekspansinya. Dengan demikian, jika tidak dilakukan tindakan penguatan modal, pada gilirannya nanti permasalahan permodalan ini akan menghambat laju pertumbuhan perbankan syari’ah.
Ketiga, aspek regulasi. Pengembangan perbankan syariah tidak terlepas dari aspek regulasi. Jika ketentuan perundang-undangan tidak kondusif bisa menghambat pertumbuhan perbankan syariah, karena itu dukungan dari aspek hukum saat ini sangat mendesak untuk dipenuhi, seperti amandemen UU Perpajakan, UU Perbankan Syariah, dan UU SBSN (sukuk). Untuk itu Masyarakat Ekonomi Syariah dan Ikatan Ahli Ekonomi islam Indonesia (IAEI) serta MUI harus mengawal dan mendesak terus janji pemerintah untuk segera mengelaurkan beberapa UU yang terkait.
Keempat optimalisasi jaringan pelayanan. Kebijakan pembukaan office channeling bank syariah yang dimulai bulan maret 2006, sepanjang tahun 2007 ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bank BNI syari’ah telah membuka 600-an kantor pelayanan office channeling tersebut, luar biasa. Hal yang sama juga dilakukan oleh bank UUS lainnya, seperti Bank Permata Syariah dan sejumlah Bank Pembangunan Daerah (PT.Bank Sumut, Bank DKI, Bank Sumsel, dll). Kebijakan office channeling pada dasarnya terfokus untuk menjawab masalah cakupan pelayanan perbankan syariah yang terbatas. Namun sangat di sayangkan pembukaan office channeling tersebut tidak diimbangi dengan program edukasi dan sosialisasi, sehingga terjadi kesenjangan hebat antara supply bank syariah dan demand dari sisi masyarakat. Artinya, masyarakat dibiarkan kurang faham tentang perbankan syariah. Padahal jika bank-bank syariah melakukan edukasi secara intensif, niscaya terjadi ledakan hebat dalam pertumbuhan asset perbankan syariah. Kebijakan office channeling juga harus sejalan dengan peningkatan kualitas SDM. Jangan sampai peluasan cakupan pelayanan perbankan syariah melalui office channeling harus mengorbankan aspek kualitas pelayanan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi reputasi industri perbankan syariah secara umum.
Kelima, Inovasi produk, keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, karena itu perbankan syariah harus lebih kreatif dan inovatif dalam mendesig produk-produknya. Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang harus dikembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah. Untuk mengembangkan produk-produk yang bervariasi dan menarik, bank syari’ah di Indonesia dapat membangun hubungan kerjasama atau berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kerjasama itu akan bermanfaat dalam mengembangkan produk-produk bank syari’ah Iklim persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan sumber pendanaan dari masyarakat di tengah kondisi penurunan suku bunga, menuntut penyesuaian strategis penetrasi bank-bank syariah yang out of the box, keluar dari zona kenyamanannya saat ini.
Selain lima tantangan tersebut, sesungguhnya masih banyakmtantantagn lainnya, seperti tingkat pemahaman msyarakat yang masih rendah tentang perbankan syariah, dan metode pamasaran perbankan syariah yang kurang tepat. Dari gambaran dan persyaratan perkembangan perbankan syariah seperti yang telah dikemukakan diatas, maka prospek dan poternsi perbankan syariah diera globalisasi dapat semakin berperan dan diyakini dapat memenuhi seluruh kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Asalkan harus didukung dengan kemampuan SDM dan sarana prasarana informasi yang memadai.

3. Kebijakan pro-ekonomi syariah
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kondisi perekonomian. Pertama, memperkuat industri keuangan syariah secara umum yang lebih prosektor riil. Penguatan ini antara lain bisa dilakukan dengan meningkatkan volume aset perbankan syariah, antara lain melalui pendirian BUS baru (seperti Bank Bukopin Syariah), memperbesar volume UUS, serta menempatkan dana pemerintah di perbankan syariah. Kemudian, memperkuat posisi lembaga keuangan mikro syariah dan BPRS dengan konsolidasi dan pembentukan jaringan LKMS dan BPRS di tingkat nasional.
Selanjutnya, penguatan pasar modal syariah. Ada kecenderungan pada jangka panjang peran pasar modal akan semakin dominan. Namun, pelajaran yang dapat diambil dari krisis ini adalah ketika transaksi di lantai bursa dilakukan dengan tanpa adanya kejelasan underlying asset, yang terjadi adalah penggelembungan-penggelembungan nilai aset yang pada akhirnya justru merugikan. Bubble economy yang sangat rentan ini harus diatasi dengan penguatan pasar keuangan syariah.
Kedua, sukuk dapat dijadikan sebagai alat investasi untuk pembangunan sarana infrastruktur. Kita menyambut baik penerbitan perdana sukuk negara beberapa waktu lalu. Namun, jika dana sukuk digunakan untuk menutup defisit APBN pada pos-pos yang kurang produktif, dampaknya terhadap perekonomian kurang terasa.
Seharusnya pemerintah menerbitkan sukuk yang digunakan untuk membangun pelabuhan, bandara, jalan raya, pembangkit listrik, dan sarana infrastruktur lainnya. Ini akan menciptakan multiplier effect yang sangat baik bagi perekonomian.
Ketiga, optimalisasi potensi zakat dan wakaf. Zakat harus dijadikan instrumen perlindungan hak-hak ekonomi kaum dhuafa, sekaligus sebagai alat mempertahankan daya beli kelompok miskin. Beban kemiskinan pun dapat dikurangi dengan memanfaatkan dana zakat melalui program-program karitatif, seperti layanan kesehatan gratis dan beasiswa pendidikan.
Peningkatan produktivitas kelompok miskin dapat difasilitasi melalui program pendayagunaan zakat produktif, seperti pembiayaan dan pendampingan usaha kecil dan mikro. Secara makro, proses people to people transfer diyakini akan banyak membantu meningkatkan kondisi perekonomian.
Selama ini kebijakan yang dilaksanakan berbasis pada konsep government to people transfer, yang dananya bersumber dari pajak dan utang luar negeri. Yang menjadi masalah, ketika utang luar negeri digunakan untuk pos bantuan sosial, beban APBN yang notabene beban rakyat, akan bertambah. Karena itu, zakat merupakan jalan keluar terbaik sehingga beban defisit APBN akan dapat dikurangi secara signifikan.
Wakaf, baik wakaf barang maupun uang, dapat dimanfaatkan sebagai engine of growth. Selama hampir empat abad sejarah mencatat wakaf uang mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu pada zaman Khilafah Turki Usmani yang menguasai sepertiga dunia. Penulis yakin insya Allah dengan menerapkan kebijakan ekonomi syariah secara serius, kepentingan ekonomi rakyat akan terangkat.
Hans

DAFTAR PUSTAKA
Ah Shadr, Islam and Scholl and Economic, Edisi terjamah, Jakarta, Pustaka Zahra, 2002
Muhammad, Paradigma, Metodologi dan Aplikasinya Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008
M. Umar Chapra, “The Future of Economics; an Islamic Perspective”, Edisi terjemah, Jakarta: SEBI, 2001
Danah Zohar dan Ian Marshall, Spritual Capital Memberdayakan SC di Dunia Bisnis, Terj. Helmi Mustofa, Bandung Mizan,
Triyuwono, Teori Akutansi Berhadapan Nilai-nilai Keislaman, Ulumul Qur’an No. 5 Vo. VI, 1996
Republika, 6/1/2009
Antara, 21/12/2008
Robert Kaplan dalam The Atlantik Montly, 1997 sebagaimana dikutip laporan special IPG
Khursid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam”, dalam Ainur R. Sophian (Ed), “Etika Ekonomi Politik; Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam”, Surabaya: Risalah Gusti, 1997
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia Tahun II No. 5, 2005
17 Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003, hal. 16
Anwar Ibrahim, Islam dan Pembangunan Ekonomi Umma, dalam Ainur R. Sophian (Ed) Ibid, hal. 63
Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics Toward Islamization of Disciplines”, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) USA, Herndon, Virginia, 1995
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia Tahun II No. 5, 2005
Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003.
Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics Toward Islamization of Disciplines”, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) USA, Herndon, Virginia, 1995
Lihat Adiwarman Azwar Karim, “Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro”, The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia), 2002, hal. 19 – 22.
Muhammad Arif, “Towards the Syari’ah Paradigm of Islamic Economics: The beginning of Scientific Revolution”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 2, No. 4, July 1985.
Lihat paper Amartya K. Sen, “Rational Fool: A Critique of the Behavioural Foundations of Economic Theory”, dalam buku “Philosophy and Economic Theory”, yang dieditori oleh Frank Hahn and Martin Hollis, Oxford University Press (1979), hal. 87-109. Lihat juga F.Y Edgeworth, “Mathematical Psychic: An Essay on the Application of Mathematics to the Moral Sciences” (London, 1881).
Yusuf Qardhawi, “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,” Jakarta: Rabbani Press, 1995.
pemikiran John Hicks dalam Steven Pressman, “Fifty Major Economists”. Edisi terj. “Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 196-202











[1] Ah Shadr, Islam and Scholl and Economic, Edisi terjamah, Jakarta, Pustaka Zahra, 2002, hal. 59
[2] Muhammad, Paradigma, Metodologi dan Aplikasinya Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008, hal. 108
[3] M. Umar Chapra, “The Future of Economics; an Islamic Perspective”, Edisi terjemah, Jakarta: SEBI, 2001, hal. 45
4 Danah Zohar dan Ian Marshall, Spritual Capital Memberdayakan SC di Dunia Bisnis, Terj. Helmi Mustofa, Bandung Mizan, 2005, hal. 39


[5] Triyuwono, Teori Akutansi Berhadapan Nilai-nilai Keislaman, Ulumul Qur’an No. 5 Vo. VI, 1996, hal. 58
[6] Republika, 6/1/2009
[7] Antara, 21/12/2008
[8] M. Umar Chapra,, Opcit, hal. 45
[9] Ibid, hal, 46
[10] Jawa Pos, 30 /1/2009
11 Jawa Pos, 29/11/2007
[12] Lihat tulisan Robert Kaplan dalam The Atlantik Montly, 1997 sebagaimana dikutip laporan special IPG, Ibid

13 Al Hasyr; 7
14 Laporan World Bank, 2004.


[15] Khursid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam”, dalam Ainur R. Sophian (Ed), “Etika Ekonomi Politik; Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam”, Surabaya: Risalah Gusti, 1997, hal. 1

[16] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia Tahun II No. 5, 2005, hal. 11
17 Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003, hal. 16.


[18] Anwar Ibrahim, Islam dan Pembangunan Ekonomi Umma, dalam Ainur R. Sophian (Ed) Ibid, hal. 63

[19] Ali Sakti (2003), Op., Cit., hal. 16.
[20] Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics Toward Islamization of Disciplines”, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) USA, Herndon, Virginia, 1995, hal. 255
21 Ali Sakti (2003), Op., Cit., hal. 20
.
[22] Lihat Adiwarman Azwar Karim, “Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro”, The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia), 2002, hal. 19 – 22.
23 Muhammad Arif, “Towards the Syari’ah Paradigm of Islamic Economics: The beginning of Scientific Revolution”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 2, No. 4, July 1985.



[24] Lihat Ali Sakti (2003), Op., Cit., hal. 25.
25 Lihat paper Amartya K. Sen, “Rational Fool: A Critique of the Behavioural Foundations of Economic Theory”, dalam buku “Philosophy and Economic Theory”, yang dieditori oleh Frank Hahn and Martin Hollis, Oxford University Press (1979), hal. 87-109. Lihat juga F.Y Edgeworth, “Mathematical Psychic: An Essay on the Application of Mathematics to the Moral Sciences” (London, 1881).
26 Yusuf Qardhawi, “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,” Jakarta: Rabbani Press,
1995.

[27] Lihat pemikiran John Hicks dalam Steven Pressman, “Fifty Major Economists”. Edisi terj. “Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 196-202

[28] Abu Dawud al Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, jld 4, h. 272

Selasa, 27 Januari 2009

TARIKH TASYRI' ISLAMY

TARIKH TASYRI' ISLAMY
By MOH. SUBHAN

Sejarah pembentukan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman modern Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, di kalangan ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania).
Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu:
1.Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2.Periode para sahabat besar;
3.periode sahabat kecil dan thabi’in;
4.Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
5.Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6.Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.

Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-’Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2.
Periode sejak munculnya Majalah al-Al-Akam al-’Adliyyah sampai sekarang.
Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut.
Periode Pertama
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun dari sunnahnya sendiri.
Periode Kedua
Masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyara’at tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah.
Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.
Periode Ketiga
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyara’at setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para thabi’in. Para thabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyara’at setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara’at yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra’yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah (imam yang empat).
Periode Keempat
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra’yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra’yu (Ahlulhadits dan Ahlurra’yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa’ (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi’i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
Periode Kelima
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1.Munculnya sikap ta’assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2.Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan
3.Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
Periode Keenam
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta’assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah.
Periode Ketujuh
Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- ‘Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1.Munculnya Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2.Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3.Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.html

Senin, 05 Januari 2009

A. Pendahuluan
Perekonomian merupakan salah satu saka guru kehidupan negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menyamin kesejahteraan dan kemampuan rakyat. Salah satu penunyang perekonomian negara adalah kesehatan pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang, maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal –tanpa ada pelanggaran, monopoli misalnya– maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak fair, maka keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum. Pemerintah Islam, sejak Rasulullah SAW di madinah concern pada masalah keseimbangan harga ini, terutama pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pandapat mengenai boleh tidaknya negara menetapkan harga. Masing Masing golongan ulama ini memiliki dasar hukum dan interpretasi .Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama tersebut, tulisan ini mengkaji penetapan harga oleh negara -dalam konteks negara secara umum, negara Islam maupun bukan– dalam koridor fikih dengan mempertimbangkan realitas ekonomi secara menyeluruh.Kontroversi Pendapat Ulama Mengenai Penetapan HargaSebagian ulama menolak peran negara untuk mencampuri urusan ekonomi, di antaranya untuk menetapkan harga, sebagian ulama yang lain membenarkan negara untuk menetapkan harga. Perbedaan pendapat ini berdasarkan pada adanya hadis yang diriwayatkan oleh Anas sebagaimana berikut: “Orang orang mengatakan, wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezalimanpun dalam darah dan harta.” (HR. Abu Daud [3451] dan Ibnu Majah [2200]). Asy-Syaukani menyatakan, hadis ini dan hadis yang senada dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematokan harga) merupakan suatu kezaliman (yaitu penguasa memerintahkah para penghuni pasar agar tidak menjual barang barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut). Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas harta mereka sedangkan pematokan harga adalah pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk memelihara kemashalatan umat Islam. Pertimbangannya kepada kepentingan pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih berhak dari pertimbangan kepada kepentingan penjual dengan pemenuhan harga. Jika kedua persoalan tersebut saling pertentangan, maka wajib memberikan peluang kepada keduanya untuk berijtihad bagi diri mereka sedangkan mengharuskan pemilik barang untuk menjual dengan harga yang tidak disetujukan adalah pertentangan dengan firman Allah.Menurut Yusuf Qordhawi, letak kelemahan asy–Syaukani dalam memakai dalil ini adalah: pertama, perkataan, sesungguhnya manusia dikuasakan atas harta mereka, sedangkan pematokan harga adalah suatu pemaksaan terhadap mereka demikian secara mutlak, adalah mirip dengan perkataan kaum syu,aib. Yang benar adalah manusia dikuasakan atas harta mereka dengan syarat tidak membahayakan mereka dan orang lain, karena tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain. kedua bahwa hadis tersebut –seperti disebutkan oleh pengarang kitab Subulus Salam, ash Shanani berkenan dalam masalah khusus atau tentang kasus kondisi tertentu dan tidak menggunakan lafadz yang umum. Di antara ketetapan dalam ilmu ushul fiqh dikatakan bahwa kasus-kasus tertentu yang spesifik tidak ada keumuman hukum padanya (Qardhawi 1997: 466 467).Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa ia berpendapat membolehkan bagi seorang imam untuk mematok harga, namum hadis hadis tentang hal itu menentangkan (Qardhawi 1997-466. Berdasarkan hadis ini pula, mazhab Hambali dan Syafi’i menyatakan bahwa negara tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga. Ibnu Qudhamah al Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab Hambali menulis, Imam (pemimpin pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk, penduduk boleh menjual barang mereka dengan harga berapapun yang mereka sukai. Pemikir dari mazhab Syafi,i juga memiliki pendapat yang sama (Islahi, 1997: 111).Ibnu Qudhamah mengutip hadis di atas dan memberikan dua alasan tidak memperkenankan mengatur harga. Pertama rasulullah tidak pernah menetapkan harga meskipun penduduk menginginkan. Bila itu dibolehkan pasti rosulullah akan melaksanakannya. Kedua menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (zulm) yang dilarang. Hal ini karena melibatkan hak milik seorang, yang di dalamnya adalah hak untuk menjual pada harga berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya (Islahi 1997: 111).Dari pandangan ekonomis, Ibnu Qudamah menganalisis bahwa penetapan harga juga mengindasikan pengawasan atas harga tak menguntungkan. Ia berpendapat bahwa penatapan harga akan mendorong harga menjadi lebih mahal. Sebab jika pandangan dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dagangannya ke suatu wilayah di mana ia dipaksa menjual barang dagangannya di luar harga yang dia inginkan. Para pedagang lokal yang memiliki barang dagangan, akan menyembunyikan barang dagangan. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta barang barang dagangan dan membuatkan permintaan mereka tak bisa dipuaskan, karena harganya meningkat. Harga meningkat dan kedua pihak menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. Inilah alasannya kenapa hal itu dilarang (Islahi 1997: 111). Argumentasi itu secara sederhana dapat disimpulkan bahwa harga yang ditetapkan akan membawa akibat munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Pengawasan harga hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang lebih rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaanya, dan akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama, akan mendorang produksi dalam negeri, mencari pasar luar negeri (yang tak terawasi) atau menahan produksinya sampai pengawasan harga secara lokal itu dilarang. Akibatnya akan terjadi kekurangan suplai. Jadi tuan rumah akan dirugikan akibat kebijakan itu dan perlu membendung berbagai usaha untuk membuat regulasi harga.Argumentasi Ibnu Qudamah melawan penetapan harga oleh pemerintah, serupa dengan para ahli ekonomi modern. Tetapi, sejumlah ahli fiqih Islam mendukung kebijakan pengaturan harga, walaupun baru dilaksanakan dalam situasi penting dan manekankan perlunya kebijakan harga yang adil. Mazhab Maliki dan Hanafi, menganut keyakinan ini.Ibnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga pendapat beberapa ahli fiqih, sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah itu. Menurutnya “kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut mazhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut Syafi’i dan penganut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Hafzal-Akbari, Qadi Abu ya’la dan lainnya, mereka tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu (Islahi, 1997: 113).Kedua, dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga maksimum bagi para penyalur barang dagangan (dalam kondisi normal), ketika mereka telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan mayoritas para ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan olehnya (Taimiyah, 1983: 49).Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan harga, meskipun pengikutnya memintanya, “Itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi konpensasi yang ekuivalen (‘Iwad al-Mithl).“ (Taimiyah, 1983: 114).Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil, jika terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil (qimah al-adl) dari budak itu harus di pertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (lawakasa wa la shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan (lslahi, 1997: 114).Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya, yang dirasa mengganggunya. Ia mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan konpensasi harganya kepada pemilik pohon (Islahi, 1997: 115). Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu.” Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW menolak menetapkan harga adalah “pada waktu itu, di Madinah, tak ada kelompok yang secara khusus hanya menyadi pedagang. Para penjual dan pedagang merupakan orang yang sama, satu sama lain (min jins wahid). Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjual sesuatu. Karena penjualnya tak bisa diidentifikasi secara khusus. Kepada siapa penetapan itu akan dipaksakan?” (Taimiyah, 1983: 51). Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang tak berfungsi sebagai suplaier, sebab tak akan berarti apa-apa atau tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami.Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah sebagian besar berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk situasi. Jadi, Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi, dengan mengatakan, “Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, siapapun yang menghalanginya sangat dilarang.” Faktanya saat itu penduduk madinah tidak memerlukan penetapan harga. (Islahi, 1997: 116).Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan harga. Jika seluruh kebutuhan menggantungkan dari suplai impor, dikhawatirkan penetapan harga akan menghentikan kegiatan impor itu. Karena itu, lebih baik tidak menetapkan harga, tetapi membiarkan penduduk meningkatkan suplai dari barang-barang dagangan yang dibutuhkan, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.Tak membatasi impor, dapat diharapkan bisa meningkatkan suplai dan menurunkan harga.Urgensi Penetapan HargaIbnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga: tak adil dan tak sah, serta adil dan sah. Penetapan harga yang “tak adil dan tak sah” berlaku atas naiknya harga akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.” Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari pasar. Ibnu Taimiyah mendukung pengesampingan elemen monopolistik dari pasar dan karena itu ia menentang kolusi apapun antara orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan pembeli. Ia menekankan pengetahuan tentang pasar dan barang dagangan serta transaksi penjualan dan pembelian berdasar persetujuan bersama dan persetujuan itu memerlukan pengetahuan dan saling pengertian (Islahi, 1997: 117).Kebersaman (homogenitas) dan standarisasi produk sangat dianjurkan, ketika ia membahas pemalsuan produk itu, penipuan dan kecurangan dalam mempresentasikan penjualan itu. Ia memiliki konsepsi sangat jelas tentang kelakuan baik, pasar yang tertata, di mana pengetahuan kejujuran dan cara permainan yang jujur serta kebebasan memilih merupakan elemen yang sangat esensial. Tetapi, di saat darurat, misalnya seperti terjadi bencana kelaparan, ia merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah dan memaksa penjualan bahan-bahan dagang pokok seperti makanan sehari-hari. Ia menulis, “Inilah saatnya pemegang otoritas untuk memaksa seseorang untuk menjual barang-barangnya pada harga yang jujur, jika penduduk sangat membutuhkannya. Misalnya, ketika ia memiliki kelebihan bahan makanan dan penduduk menderita kelaparan, pedagang itu akan dipaksa menjualnya pada tingkat harga yang adil. Menurutnya, pemaksaan untuk menjual seperti itu tak dibolehkan tanpa alasan yang cukup, tetapi karena alasan seperti di atas, dibolehkan.”Dalam penetapan harga, pembedaan harus dibuat antara pedagang lokal yang memiliki stok barang dengan pemasok luar yang memasukkan barang itu. Tidak boleh ada penetapan harga atas barang dagangan milik pemasok luar. Tetapi, mereka bisa diminta untuk menjual, seperti rekanan importir mereka menjual. Pengawasan atas harga akan berakibat merugikan terhadap pasokan barang-barang impor, di mana sebenarnya secara lokal tak membutuhkan kontrol atas harga barang karena akan merugikan para pembeli. Dalam kasus harga barang di masa darurat (bahaya kelaparan, perang, dan sebagainya), bahkan ahli ekonomi modern pun menerima kebijakan regulasi harga akan berhasil efektif dan sukses dalam kondisi seperti itu (Islahi, 1997: 118).Penetapan Harga Pada Ketidaksempurnaan Pasar Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual (arbab al-sila) menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut, merekadiharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara, contoh sangat nyata dari ketidaksempurnaan pasar adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan barang-barang serupa. Dalam kasus seperti itu, otoritas harus menetapkan harganya (qimah al-mithl) untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas melaksanakan kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga yang disukainya, sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk (Islahi, 1997: 119).Dalam poin ini, Ibnu Taimiyah menggambarkan prinsip dasar untuk membongkar ketidakadilan: “Jika penghapusan seluruh ketidakadilan tak mungkin dilakukan, seseorang wajib mengeliminasinya sejauh ia bisa melakukannya. Itu sebabnya, jika monopoli tidak dapat di cegah, tak bisa dibiarkan begitu saja merugikan orang lain, sebab itu regulasi harga tak lagi dianggap cukup.Di abad pertengahan, umat Islam sangat menentang praktek menimbun barang dan monopoli, dan mempertimbangkan pelaku monopoli itu sebagai perbuatan dosa. Meskipun menentang praktek monopoli, Ibnu Taimiyah juga membolehkan pembeli untuk beli barang dari pelaku monopoli, sebab jika itu dilarang, penduduk akan semakin menderita, karna itu, ia menasihati pemerintah untuk menetapkan harga. Ia tak membolehkan para penjual membuat perjanjian untuk menjual barang pada tingkat harga yang ditetapkan lebih dulu, tidak juga oleh para pembeli, sehingga mereka membentuk kekuatan untuk menghasilkan harga barang dagangan pada tingkat yang lebih rendah, kasus serupa disebut monopoli.Ibnu Taimiyah juga sangat menentang diskriminasi harga untuk melawan pembeli atau penjual yang tidak tahu harga sebenarnya yang berlaku di pasar. Ia menyatakan, “Seorang penjual tidak dibolehkan menetapkan harga di atas harga biasanya, harga yang tidak umum di dalam masyarakat, dari individu yang tidak sadar (mustarsil) tetapi harus menjualnya pada tingkat harga yang umum (al-qimah al-mu’tadah) atau mendekatinya. Jika seorang pembeli harus membayar pada tingkat harga yang berlebihan, ia memiliki hak untuk memperbaiki transaksi bisnisnya. Seseorang tahu, diskriminasi dengan cara itu bisa dihukum dan dikucilkan haknya memasuki pasar tersebut. Pendapatnya itu merujuk pada sabda Rasulullah SAW, ”menetapkan harga terlalu tinggi terhadap orang yang tak sadar (tidak tahu, pen.) adalah riba (ghaban al-mustarsil riba) (Islahi, 1997: 120).Musyawarah untuk Menetapkan HargaPatut dicatat, meskipun dalam berbagai kasus dibolehkan mengawasi harga, tapi dalam seluruh kasus tak disukai keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga. Mereka boleh melakukannya setelah melalui perundingan, diskusi dan konsultasi dengan penduduk yang berkepentingan. Dalam hubungannya dengan masalah ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, menurutnya, Imam (kepala pemerintahan), harus menjalankan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al-suq). Pihak lain juga diterima hadir dalam musyawarah ini, karena mereka harus juga dimintai keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga seluruh penduduk. Jadi, keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka.Untuk menjelaskan tujuan gagasan membentuk komisi untuk berkonsultasi, ia mengutip pendapat ahli fikih lainnya, Abu al-Walid, yang menyatakan, “Logika di balik ketentuan ini adalah untuk mencari –dengan cara itu- kepentingan para penjual dan para pembeli, dan menetapkan harga harus membawa keuntungan dan kepuasan orang yang membutuhkan penetapan harga (penjual) dan tidak mengecewakan penduduk (selaku pembeli). Jika harga itu dipaksakan tanpa persetujuan mereka (penjual) dan membuat mereka tidak memperoleh keuntungan, penetapan harga seperti itu berarti korup, mengakibatkan stok bahan kebutuhan sehari-hari akan menghilang dan barang-barang penduduk menyadi hancur (Islahi, 1997: 121).Ia menegaskan secara jelas kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang, tak akan memperoleh dukungan secara populer. Misalnya, akan muncul pasar gelap atau pasar abu-abu atau manipulasi kualitas barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan itu. Ketakutan seperti itu dinyatakan juga oleh Ibnu Qudamah. Bahaya yang sama, juga banyak dibahas oleh ahli-ahli ekonomi modern, karena itu disangsikan lagi, bahaya ini harus ditekan, kalau bisa dihilangkan sama sekali. Harga itu perlu ditetapkan melalui musyawarah bersama dan diciptakan oleh rasa kewajiban moral serta pengabdian untuk kepentingan umum.Penetapan Harga dalam Faktor Pasar Ketika para labourers dan owners menolak membelanjakan tenaga, material, modal dan jasa untuk produksi kecuali dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar wajar, pemerintah boleh menetapkan harga pada tingkat harga yang adil dan memaksa mereka untuk menjual faktor-faktor produksinya pada harga wajar (Jalaluddin, 1991: 103). Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika penduduk membutuhkan jasa dari pekerja tangan yang ahli dan pengukir, dan mereka menolak tawaran mereka, atau melakukan sesuatu yang menyebabkan ketidaksempurnaan pasar, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penetapan harga itu untuk melindungi para pemberi kerja dan pekerja dari saling mengeksploitasi satu sama lain.” Apa yang dinyatakan itu berkaitan dengan tenaga kerja, yang dalam kasus yang sama bisa dikatakan sebagai salah satu faktor pasar (Islahi, 1997: 122). Islahi (1997: 114) akhirnya menyimpulkan bahwa:1. Tak seorangpun diperbolehkan menetapkan harga lebih tinggi atau lebih rendah daripada harga yang ada. Penetapan harga yang lebih tinggi akan menghasilkan eksploitasi atas kebutuhan penduduk dan penetapan harga yang lebih rendah akan merugikan penjual.2. Dalam segala kasus, pengawasan atas harga adalah tidak jujur.3. Pengaturan harga selalu diperbolehkan.4. Penetapan harga hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat.Penetapan Harga Dalam Sistem Perekonomian ModernSecara teoritis, tidak ada perbedaan signifikan antara perekonomian klasik dengan modern. Teori harga secara mendasar sama, yakni bahwa harga wajar atau harga keseimbangan diperoleh dari interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran (suplai) dalam suatu persaingan sempurna, hanya saja dalam perekonomian modern teori dasar ini berkembang menyadi kompleks karena adanya diversifikasi pelaku pasar, produk, mekanisme perdagangan, instrumen, maupun perilakunya,yang mengakibatkan terjadinya distorsi pasar.Distorsi pasar yang kompleks dalam sistem perekonomian modern melahirkan persaingan tidak sempurna dalam pasar. Secara sunnatullah memang, apabila persaingan sempurna berjalan, keseimbangan harga di pasar akan terwujud dengan sendirinya. Namun sunnatullah pula, bahwa manusia – dalam hal ini sebagai pelaku pasar – tidaklah sempurna. Maka dalam praktek, banyak dijumpai penyimpangan perilaku yang merusak keseimbangan pasar (moral hazard). Di Indonesia misalnya, secara rasional, keseimbangan pasar dirusak oleh konlomerasi dan monopoli yang merugikan masyarakat konsumen, penimbunan BBM maupun beras, dan kasus terakhir bebas masuknya gula dan beras impor yang dimasukkan oleh pelaku bermodal besar, sehingga suplai gula di pasar menjadi tinggi dan akhirnya turunlah harga jualnya di bawah biaya produksinya. Kasus ini jelas merugikan petani tebu dan pabrik gula lokal. Dalam ekonomi liberal atau bebas, kasus ini sah dan dibenarkan atas prinsip bahwa barang bebas keluar masuk pasar dan kebebesan bagi para pelaku pasar untuk menggunakan modalnya. Kasus George Soros misalnya, adalah sah dalam mekanisme pasar bebas, di mana pemerintah atau negara tidak berhak melakukan intervensi terhadap pasar.Kasus-kasus di atas, hanya bisa diselesaikan secara adil apabila negara melakukan intervensi pasar, misalnya dengan memaksa penimbun untuk menjual barangnya ke pasar dengan harga wajar, menetapkan harga yang adil sehingga pelaku monopoli tidak bisa menaikkan harga seenaknya. Para ahli ekonomi modern pun menganjurkan negara untuk menetapkan harga dalam kasus-kasus tertentu seperti di atas.Kenaikan harga yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar dalam suatu perekonomian modern, terdiri atas beberapa macam berdasarkan pada penyebabnya, yakni harga monopoli, kenaikan harga sebenarnya, dan kenaikan harga yang disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan pokok. Untuk itu, adalah peran pemerintah untuk melakukan intervensi pasar dalam rangka mengembalikan kesempurnaan pasar, salah satunya adalah dengan menetapkan harga pada keempat kondisi di atas (Mannan, 1997: 153 – 158).Dalam rangka melindungi hak pembeli dan penjual, Islam membolehkan bahkan mewajibkan melakukan intervensi harga. Ada beberapa faktor yang membolehkan intervensi harga antara lain (Jalaludin, 1991: 99–100):a. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus pembeli dalam hal purchasing power. b. Jika harga tidak ditetapkan ketikapenjual menjual dengan harga tinggi sehingga merugikan pembeli. Intervensi harga mencegah terjadinya ikhtikar atau ghaban faa-hisy.c. Intervensi harga melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas karena pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili kelompok yang lebih kecil.Suatu intervensi harga dianggap zalim apabila harga maksimum (ceiling price) ditetapkan di bawah harga keseimbangan yang terjadi melalui makanisme pasar yaitu atas dasar rela sama rela. Secara paralel dapat dikatakan bahwa harga minimum yang ditetapkan di atas harga keseimbangan kompetitif adalah zalim (Karim, 2002: 143). sumber: http://msi-uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=ekonomi&baca=artikel&id=228
Diposkan oleh jahar.com di 23:05 0 komentar Link ke posting ini
Label: Ekonomi Mikro Syariah
Jumat, 2008 Juni 27
Kerangka Terori ekonomi Mikro islam
Bab IPendahuluanTugas pokok dari ilmu ekonomi adalah bagaimana menggambarkan keadaaan sesungguhnya serta memberikan analisis bahkan prediksi tentang fenomena-fenomena ekonomi yang terjadi. Namun tugas ini tidak semudah membalik tangan hal tersebut dikarnakan kekomplekan masalah-masalah manusia, tetapi paling tidak dengan adanya teori, manusia dapat mengambil keptusan yang lebih baik .Ekonomi mikro adalah salah satu cabang dari teori ekonomi yang menitik beratkan bahasannya dengan masalah-masalah dalam skup kecil atau mikro, begitu pula dengan mikro Islam yang menitik beratkan bahasaannya pada masalah tersebut diatas, meskipun begitu ada beberapa asumsi dan aksioma yang bertolak belakang diantara keduanya.A. Definisi dan ruang lingkupEkonomi mikro dapat diartikan sebagai “ilmu ekonomi yang mempelajari atau menitikberatkan pada prilaku dan aktifitas masing-masing unit ekonomi –individu,rumah tangga, dan perusahaan”. Sedangkan menurut definisi yang lain adalah “satu bidang dalam ekonomi yang menganalisis mengenai bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian” .Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa ekonomi mikro menganalisa dan memberikan prediksi bagaimana masing-masing unit saling berinteraksi dalam kegiatan ekonomi, oleh karena itu Teori ekonomi mikro dikenal pula dengan price theory (teori tentang terbentuknya harga) sehingga secara ilustratif ruang lingkupnya dapat digambarkan sebagai berikut:Gambar diatas menunjukan bagaimana hubungan antara konsumen dan produsen serta prilaku masing-masing dalam menentukan permintaam dan penawaran dipasar yang akhirnya membentuk harga baik barang maupun jasa.B. Identifikasi dan metode analisaSebelum membahas lebih jauh mengenai hal ini, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan aksioma dasar tentang prilaku konsumsi (prefences and utility) dan prinsip konsumsi seorang muslim utuk mendapatkan gambaran lebih jelas dalam menganalisa tingkah lalu manusia khususnya seorang muslim.Ada beberapa aksioma yang dikembangkan dalam menentukan pilihan-pilihan rasional individu :1. Completeness (kelengkapan): jika individu dihadapkan dua situasi A dan B maka ia akan senantiasa dapat menentukan secara pasti salah satu dari ketiga kemungkinan berikut ini: A lebih disukai dari pada B§ B. lebih disukai dari pada§ A A dan B sama-sama disukai.§Dalam hal ini individu diasumsikan dapat mengambil keputusan secara konsekuen dan mengerti akibat dari keputusan tersebut, asumsi juga mengarah pada kemungkinan bahwa individu lebih menyukai salah satu dari A dan B.2. Transitivity: jika seseorang berpendapat bahwa A lebih disukai dari pada B dan B lebih disukai dari C maka tentu ia akan mengatakan A harus disukai dari pada C. asumsi ini menyatakan bahwa pilihan individu bersifat konsisten secara internal3. Continuity: jika sesorang menganggap A lebih disukai dari pada B maka situasi yang cocok mendekati A harus juga lebih disukai dari pada BDari aksioma-aksioma dan asumsi diatas dapat dianalisa bagaimana individu dapat membuat tingkatan dari berbagai situasi pilihan atau secara singkat hal tersebut dinyatakan oleh Jeremy Bentham dalam “introduction to the principles of morals and legislation” sebagai utility (nilai guna)Bagitu pula dengan asumsi dan aksioma dalam Islam akan tetapi titik tekannya terkletak pada halal, haram, serta berkah tidaknya barang yang akan dikonsumsi sehingga jika individu dihadapkan pada dua pilihan A dan B maka seorang muslim (orang yang mempunyai prinsip keislaman) akan memilih barang yang mempunyai tingkat kehalalan dan keberkahan yang lebih tinggi, walaupun barang yang lainnya secara fisik lebih disukai. Hal diatas nampak jelas bagaimana pendekatan yang digunakan oleh ekonomi Islam dan konvensional dalam memenuhi kebutuhan seseorang.Oleh karena itu perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima perinsip :1. Prinsip keadilan: syarat ini mengandung arti ganda penting mengenai mencari rizki secara halal dan tidak melanggar hukum firman Allah “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi….(Q.S,n Al-Baqoroh: 169)” selain itu Rasulullah juga bersabda “ 1/3 adalah udara 1/3 makan dan 1/3 adalah minuman” (Al- Hadis)2. Prinsip kebersihan: prinsip yang kedua ini menghendaki makanan yang dikonsumsi harus baik atau cocok untuk dimakan tidak kotor atau menjijikan sehingga merusak selera, sekaligus Rosullah mencontohkan untuk menjaga kebersihan sesuai dengan sabdanya “makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (Tarmidzi, Mishkat) selanjutnya, Jabir meriwayatkan Abu Hamid membawa segelas susu dari Naqi. Rasulullah berkata kepadanya “Mengapa tidak kau tutup gelas itu?letakanlah sepotong kayu diatasnya” (Bukhori). Kemudian ia meriwayatkan dengan bersumber dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda “ Sebelum tidur, matikan lampu, tutup pintu dan tutupilah makanan dan minuman”. Hadis hadis diatas menjelaskan bagaimana Islam memerintahkan untuk senantiasa menjaga kebersihan makanan3. Prinsip Kesederhanaan: prinsip ini mengandung arti dalam melakukan konsumsi tidak boleh berlebih lebihan firman Allah “ Makan dan minumlah dan jangan engkau berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyikai orang-orang yang melampaui batas” selanjutnya firman Allah “ Hai orang-orang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas…” (QS Al- Maidah: 87) arti penting dari ayat-ayat ini adalah menjaga keseimbangan dan kesederhanaan (hidup sesuai dengan kemampuan) dalam konsumsi4. Prinsip Kemurahan hati: dalam hal ini Islam memerintahkan agar senantiasa memperhatikan saudara dan tetangga kita dengan senantiasa berbagi rasa bersama.5. Prinsip moralitas: selain hal-hal teknis diatas Islam juga memperhatikan pembangunan moralitas sepritual bagi manusia hal tersebut dapat digambarkan dengan printah agama yang mengajarkan untuk senantiasa menyebut nama Allah dan bersukur atas karunianya, maka hal tersebut secara tidak langsung akan membawa dampak psikologis bagi pelakunya seperti anti makanan haram baik zat maupun cara mendapatkannya maupun ketenangan jiwa.Dalam mempelajari teori konsumen ada dua pendekatan yang biasa digunakan yakni pendekatan cardinal (pendekatan dengan angka absolut) dan pendekatan ordinal (dengan kurva indeference), kedua pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:a. Pendekatan cardinal:dalam pendekatan nilai guna kardinal manfaat atau kenikmatan yang diperoleh sesorang konsumen dapat dinyatan dengan angka kuantitatif hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut, diasumsikan bahwa barang X dapat memberikan kepuasan yang terukur dalam periode tertentu sehingga dapat digambarkan dalam total utility (nilai guna total) dan marginal utiliy (nilai guna marginal) .Tabel 1: Total utilityUnit barang X yang dikonsumsi per periode waktu Total Utiliy Marginal utility0 0 -1 30 302 50 203 65 154 75 105 83 86 87 47 89 28 90 19 89 -110 85 -411 78 -7Dari tabel diatas dapat dilihat untuk angka 90 pada kolom TU menunjukan tingkat kepuasan tertinggi yang diperoleh konsumen titik ini disebut juga dengan saturation rate sedangkan untuk kolom marginal utility titik tertinggi ada pada angka 30 yang kemudian terus menurus turun hal ini dikenal pula dengan hukum Gossen I, sehingga secara grafis dapat digambarkanGambar 1Gambar diatas dapat dijelaskan setelah pada titik puncak maka konsumen tidak dapat menumbah kepuasannya jika penambahan konsumsi tetap maka yang terjadi justru menrunkan tingkat kepuasan totalnya, untuk memperjelas konsep ini dilustrasikan ketika seseorang merasa haus, dan mendapatkan satu gelas air kemudian diminum sampai habis. Ketika gelas kedua diminum, tingkat kepuasannya berkurang karena sudah dipenuhi oleh tegukan gelas pertama, maka fenomena tersebut disebut pula dengan prinsip nilai guna yang semakin menurun (principle of diminishing marginal utality). Secara matematis hubunga antara TU dan MU adalahTU = f ( Xa, Xb, Xc…Xn) sedangkan MU adalah fungsi turunan dari TU sehingga dapat dituliskan:MU =b. Pendekatan ordinal :pendakatan ini berbeda dengan pendekatan sebelumnya yakni tingkat kepuasan tidak diukur dengan quantitatif melainkan dengan bantuan kurva yang disebut kurva indeveren (Indeveren Curve) dimana kurva ini menggambarkan tingkat kepuasan dua barang (jasa) yang disukai konsumen. Semakin tinggi kurva indeferensi semakin tinggi pula tingkat kepuasan konsumen. Bentuk kurva ini cembung terhadap titik 0 (Convec) menunjukkan kepuasan yang didapat dari mengkonsumsi barang yang pertama. Barang pertama lebih disukai dari pada barang yang kedua. Sehingga secara umum dapat digambarkan:Gambar 2: kurva garis kepuasan (utality)Kurva diatas menggambarkan tingkat kepuasan yang berbeda dari mengkonsumsi barang X dan Y dimana U2 mempunyai tingkat kepuasan lebih besar dibanding dengan U1 hal ini dikarnakan pada garis U2 konsumen bisa mendapatkan barang X dan Y lebih banyak dari U1, dan individu dalam keadaan indiferen disaat barang X dan Y dalam tingkat kepuasan yang sama yakni disepanjang garis utiliy . Sehingga kurva ini mempunyai karakteristik:1). Selera konsumen terhadap barang tertentu dianggap konsisten, akibat dari asumsi ini adalah kurva indeference tidak pernah bersinggungan berpotongan (intersection) satu sama lain.2). Individu atau konsumen lebih menyukai barang dengan jumlah yang lebih banyak dari pada jumlah yang lebih sedikit, sehingga akibat dari asumsi ini adalah kurva indeference berslope negatif , yang merfleksikan prinsip umum dimana individu akan mengorbankan baraang untuk mendapatkan barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.3) kurva U pada gambar diatas juga menggambarkan efek subtitusi antara barang X dan barang Y, misalnya X dan Y mempunyai efek subtitusi 1:2 maka satu kenaikan barang X akan menyebabkan penrurunan dua unit barang Y.setelah mengidentifikasi bagaimana prilaku individu menghadapi berapakah jumlah yang harus dipilih ketika dihadapkan dengan jumlah antara x dan y, maka selanjutnya adalah bagaimana menilai pilihan tersebut jika dimasukan kendala anggaran atau Budget Constrain yakni batas yang diletakan oleh pendapatan pada kombinasi barang-barang atau jasa-jasa yang dapat dibeli individu lebih mudanhya anggaplah bahwa seseorang mempunyai pendapatan I untuk dibelanjakan barang x dan y, anggap pula Px mewakili harga barang x dan Py untuk barang y, sehingga jumlah barang X yang dapat dibeli adalah Px dikalikan jumlah barang X yang akan dibeli (Px.X). demikian pula Py.Y merupakan belanja total pada barang y, karena pendapatan tersedia harus dibelanjakan untuk barang x dan y maka dapat dituliskan dengan rumusI = Px.X + Py.Y (1)Dimana I: pendapatan untuk dikonsumsiPx: harga barang XPy: harga barang Yatau jika dirubah dalam bentuk standar persamaan linier (Y=a+bx) maka persamaan (1) menjadi:Y= - (Px / Py) X + I/ Py (2)dengan persamaan (2) memperlihatkan dengan jelas bahwa jika individu memilih membelanjakan seluruh dananya untuk Y ( berarti, jika X=0) ia dapat membeli I/Py begitu pula dengan Y = 0 maka I/Px. akhirnya slop kendala anggaran ditentukan oleh rasio harga barang-barang tersebut, - Px/ Py dimana hal ini menunjukan efek subtitusi antara barang X dan Y semakin banyak jumlah barang X yang dikonsumsi semakin kecil jumlah barang Y yang dapat diperoleh. secra grafik dapat digambarkanGambar 3: garis batas anggaran dan kurva indeference.Gambar 3 panel (a) menunjukan garis batas anggaran dimana individu hanya mampu membeli sejumlah X dan Y tergantung pada pendapatannya I. sedangkan pada panel (b) menunjukan hubungan antara garis kendala dan titik maksimum kepuasan yang ditunjukan dengan perpotongan kurva indeference antara garis batas anggaran (budget constrain) dan kurva indeference yang ditunjukan dengan U2. hal ini menganndung pengertian bahwa individu akan mencapai kepuasan maksimum jika ia membelanjakan seluruh pendapatannya pada barang X dan Y, sedangkan untuk U3 tidak mungkin dilakukan karena individu tidak dapat membeli sejumlah barang yang disaratkan pada U3, sedangkan untuk U1 hal ini mungkin bisa dilakukan akan tetapi individu tidak dapat mendapatkan kepuasan maksimum. Untuk mengetahui kepuasan maksismum analisis yang digunakan yakni dengan manggabungkan kedua pendekatan anatara ordinal dan cardinal. Setelah mengetahui tingkat subtitusi antara barang X dan Y yakni:Nilai kemiringan batas anggaran= (1)Dan subtitusi marginal antara X dan Y adalah:Nilai kemiringan kurva indeference (2)karena maksimasi kepuasan adalah persinggungan antara kurva indeference dan garis batas anggaran maka persamaan (1) dan (2) menjadi:(3)Persamaan (3) menunjukan konsumen harus mengalokasikan pendapataanya sedemikian rupa sehingga rasio antara utility marginal sama dengan rasio harga barang X dan Y. dengan menulis kembali persamaan (3), kita dapat:dengan membagi kedua ruas kanan dan kiri dengan maka didapatsehingga:(4)Persamaan diatas menunjukan rasio dari tambahan utilitas karena mengkonsumsi satu unit barang tersebut seharusnya sama untuk setiap barang. Setiap barang seharusnya memberikan tambahan utilitas sama dari tiap dolar yang dibelanjakan. Jika hal ini tidak terjadi, utilitas total dapat ditingkatkan dengan mengalokasikan kembali dana-dana dari satu barang yang relative memiliki tingkat utilitas marginal rendah perdolarnya, ke barang lain yang lebih tinggi tingkat utilitas marginalnya , contoh konsumsi ayam menghasilkan 5 util (unit utility) sementara tambahan minuman menghasilkan 2 util dengan masing-masing harga ayam Rp 1 dan minuman Rp 0,5. maka masing-masing utilnya berharga Rp 0,20 (=Rp1/5) jika ayam yang dibeli, dan Rp 0,25 (=Rp0,5/2) jika minuman ringan yang dibeli. Jelasnya ayam adalah cara yang lebih murah untuk membeli utilitas, maka konsumen seherasnya membeli banyak membeli ayam dari pada minuman sampai setiap barang memberi kepuasan yang sama.C. Analisis Prilaku Konsumsi Islami Menggunakan Pendekatan Cardinal Dan OrdinalSetelah mengetahui bagaimana prilaku konsumen dianalisis maka tibalah kita pada pembahasan bagaimana prilaku konsumen Islam, yang pada akhirnya akan mempengaruhi fungsi permintaan, namun ada beberapa catatan penting sebelum kita masuk lebih dalam menngenai hal ini pertama dalam menggunkan alat analisis konvensional akan terjadi beberapa modifikasi yang akan dilakukan mengingat alat analisis konvensional tidak secara langsung dapat diaplikaskan menggambarkan prilaku konsumsi Islam , dengan minitik beratkan pada prinsip-prinsip konsumsi yang diajukan oleh M.A Mannan dalam “Islamic economic Theory and Practice” kedua perbedaan ilmu ekonomi konvensional dan Islam terletak pada pendekatannya dalam memenuhi kebutuhannya . Islam tidak mengakui kegemaran matrialistis semata-mata dari pola konsumsi modern. Dan sekali lagi pengertian mengenai konsumsi Islami tidak terbatas pada larangan-larangan namun lebih luas dari pada itu yakni Islam memandang manusia seutuhnya tidak hanya sebatas makhluk ekonomi (Homo Economicus) ketiga adalah pertanyaan apakah setiap keputusan yang berdasarkan agama adalah rasional? Maka untuk menjawab pertanyaan ini mungkin yang paling cocok adalah argumen yang diajukan oleh Syafi’i Antonio dalam kata pengantarnya untuk bukunya Hermawan Kertajaya “Syaria Marketing” Dengan Judul “Spirituality Is The Soul Of Advanced And Integrated Marketing”, ia terlebih dahulu membandingkan pelaku pasar rasional dan pelaku pasar religius emosional ia menyebutkan bahwa asumsi yang menyatakan bahwa pelaku yang didasari spiritual adalah blindly emotional adalah asumsi yang tidak bisa diterima, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang disebut financially rational justru financially emotional. Pasar ini akan berhijrah ke lembaga atau bank lain begitu return deposito yang mereka terima berbeda dengan kisaran angka 0,5% atau 1% sekalipun. Sebaliknya nasabah dengan pertimbangan religiusnya adalah mereka yang benar-benar rasional, mereka tidak saja terdorong oleh konsederasi komersial, tetapi juga pertimbangan spiritual dan nilai-nilai luhur lainnya, pasar ini tidak akan emosi dan langsung hijrah karena beda 0,5% atau 1% pasar ini sadar betul bahwa non performing loan (kredit macet) yang dipunyai perbankan syariah lebih rendah daripada perbankan konvensional, selain itu pelaku pasar spiritual sadar betul bahwa perbankan syariah lebih anyak menyalurkan dananya kepada sector riil. Hal senada juga diutarakan oleh Umer Chapra dalam “Relevance and importance of Islamic Ecnomic” untuk menyelesaikan masalah ekonomi diperlukan analisis yang lebih komprehensif dengan memasukan apa yang seharusnya terjadi (normative statement) dan memandang manusia seutuhnya tidak hanya makhluk ekonomi, lebih lanjut dalam bukunya “The Future Of Economics an Islamic Prespective” dan “adjust Islamic monetary system” kegagalan ekonomi konvensional dalam memecahkan masalah ekonomi karena hanya memandang ekonomi dan manusia secara parsial yakni sebgai makhluk ekonomi dan sifat metode ekonomi bersifat deskripsi dan prediksi, sehingga seringkali penyelesainnya hanya pada simtomatiknya (gejala) sehingga penyelesain masalah tidak sampai akar masalah yang sesungguhnya.Dari gambaran di atas, bisa diambil kesimpulan keputusan spiritual lebih rasional hal ini bisa dilihat para pelaku pasar spiritual tidak pernah mengambil keputusan yang bisa merugikan orang lain dan hanya untuk kepentingan diri sendiri dengan kata lain keputusan spiritual akan menimbang baik buruk secara lebih luas dibanding konvensional.Setelah penjelasan dari sub bahasan diatas, maka prilaku konsumsi Islami sedikitnya bisa diidentifikasi sebagai berikut:1. Paradoks halal-haram:Sebagaimana yang kita tahu bahwa Islam sangat memperhatikan kualitas dan kesucian dari barang konsumsi yang termanifestasi kedalam Al-quran maupun Al-Hadis, hal ini selain bersifat transendental juga keduniawian karena Islam sangat memperhatikan kesucian dan kebersihan dari barang konsumsi, sehingga Paradoks ini mendorong kita pada pemahaman bahwa kepuasan seorang muslim sangat ditentukan oleh kadar kehalalan maupun kadar keharaman barang konsumsi, dengan meminjam alat analisis konvensional hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: diasumsikan konsumen muslim dihadapkan pada pilihan barang halal ( X ) dan barang haram ( Y ) dan pendapatan sebesar I, karena Y memberi utilitas 0 atau U=0 maka seorang konsumen muslim tidak pernah membelanjakan pendapatannya pada barang Y, identifikasi masalah ini adalah Y= - (Px / Py) X + I/ PyPersamaan diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa jika individu memilih membelanjakan seluruh dananya pada barang halal (Y) maka X = 0 sehingga persamaaan diatas menjadi I/Py artinya seluruh pendapatan individu muslim habis dibelanjakan hanya untuk barang Y saja. dan karena X = 0 maka antara barang X dan Y tidak pernah terjadi subtitusi (pergantian) berapapun harga dari barang Y dan berapapun murahnya harga barang X begitu pula berlaku sebaliknya. Sedangkan untuk analisa kepuasan, dengan meminjam istilah Robert H Frank sebagaimana dikutip oleh Sudarsono dalam “ekonomi konvensional sebuah pengantar” hal diatas dapat diselesaikan dengan apa yang disebut corner solution yakni keadaan dimana pendapatan individu habis digunakan hanya untuk satu barang saja dalam kasus ini adalah Y. dengan kata lain konsumen meningkatkan nilai gunanya dengan terus mengurangi konsumsi barang haram untuk mendapatkan lebih banyak barang halal, sampai pada titik dimana ia tidak dapat lagi melakukannya, yaitu pada seluruh pendapatannya digunakan untuk membeli barang halal .Pilihan antara barang halal dan barang haram dapat digambarkan dengan tingkat kepuasan yang mangkuknya terbuka ke arah kiri atas, bila kita gambarkan sumbu X sebagai barang haram, dan sumbu Y sebagai barang halal begitu pula sebaliknya jika barang Y yang haram maka kurva indeference akan tengkurap kebawah , sehingga dapat digambarkan:Gambar 4: corner solution dan maksimal utilityuntuk panel (a) I menunjukan titik kepuasan makismum yang diperoleh individu karena pendapatan habis digunakan untuk membeli barang halal Y dan tidak menyisakan untuk membeli barang haram X dengan kata lain semakin banyak barang halal yang dikonsumsi berarti menambah utility sedangkan semakin sedikit barang haram yang dikonsumsi berarti makin mengurangi disutility. Sedangkan untuk panel (b) berlaku sebaliknya dimana kepuasan tertinggi berada pada titik I diamana keseluruhan pendapatan habis digunakan untuk barang halal X2. Prinsip kemurahan hati / Pengeluaran dijalan Allah.Prinsip konsumsi seorang muslim adalah kemurahan hati dan mementingkan kepentingan social secara luas, berbeda dengan konvensional yang berprinsip pada maksimalisasi kepuasan individu dengan tidak memperdulikan orang lain selama individu tidak mengganggu kepentingan orang lain pula atau dalam ekonomi konvensional dikenal dengan optimum pareto yang dipernalkan pertama kali oleh Vilverdo Pareto.Oleh karena itu konsumen muslim tetap mendapat tingkat kepuasan maksimal walaupun pendapatannya terbagi untuk konsumsi dan pengeluaran di jalan Allah (zakat, infaq, shodakoh) contoh nyata dari hal ini adalah ketika menjumpai anak jalanan atau orang miskin dan kita mempunyai kemampuan bersedekah kemudian kita memberikan sebagian uang kepada mereka maka seringkali kita meraskan kelegaan dan kepuasan dikarnakan kita telah membantu saudara kita. secara matematis hubungan antra pembelanjaan kebutuhan sehari-hari dengan pembelanjaan dijalan Allah adalah sebgai berikut:I=Pxa Xa + Pxb Xb + Pxc Xc +…..+ Pxn Xn + ZDimana: Pa, Pb Pc…….Pn adalah harga dari barang Xa sampai Xn.Sedangkan Z adalah pembelanjaan dijalan Allah bisa berupa (zakat, infak dan sedakoh) Atau secara garfik sederhana hal ini bisa diilustrasikan sebagai berikut:Diketahui bahwa X adalah konsumsi barang sehari-hari dan Y adalah ZIS dan I adalah garis batas anggaran sehingga dapat digambarkan:Gambar 5: tingkat kepuasan dan pengeluaran dijalan AllahGambar diatas menunjukan bahwa individu tetap mendapatkan kepuasan yang maksimal meskipun sebagian pendapatannya disisihkan untuk pembelanjaan di jalan Allah (ZIS) yang ditunjukan I’ dimana garis batas anggaran bersinggungan dengan garis curva indifference I’.Lebih jauh untuk mengetahui pembelanjaan dijalan Allah juga bisa memaksimalkan kepuasan dapat dianalisis sebagai berikut: dalam jangka waktu tertentu seseorang individu muslim ingin memutuskan apakah akan membeli barang X atauY dan menyisihkan sebagian pendapatanya untuk pembelanjaan di jalan Allah dinotasikan dengan Z. diasumsikan pendapatan individu Rp 40 harga barang X Rp 3 perunit dan Y Rp 5 perunit kemudian ia dihadapkan pada kwajiban membelanjakan dijalan Allah misalnya 2.5% dan beberapa rupiah untuk infak dan sodakoh. Jika barang X mempunyai utility 54 util perunit dan barang Y 75 util dan Z 9 util maka dari data diatas dapat dibuat tabel utility nya sebagai berikutTabel:2Barang X (harga =Rp 3 Barang Y (harga = Rp 5 ZJumlah TU(utils) MU(utils) MU/Harga(utils/Rp) Jumlah TU(utils) MU/(utils) MU/HargaUtils/Rp Jml Rp utk Z TU MU(utils/Rp)0 0 0 0 0 101 54 54 18 1 75 75 15 1 19 92 99 45 15 2 135 60 12 2 26 73 129 30 10 3 175 40 8 3 29 34 138 9 3 4 200 25 5 4 31 25 141 3 1 5 215 15 3 5 32 16 138 -3 -1 6 220 5 1 6 32 0Tabel 2 diatas menunjukan bagaimana individu dengan sedemikian rupa untuk mengalokasikan Rp 40 untuk dibelikan sejumlah barang X dan Y serta menyisihkan sebagian pendapatannya itu dijalan Allah (Z) dari tabel tersebut ditemukan untuk memaksimalkan utilitas individu maka individu tersebut membelikan 4 unit barang X dan 5 barang Y kemudian menyisihkan Rp 3 untuk membelanjakan dijalan Allah, hal ini dikarnakan syarat maksimalisasi kepuasan adalah MU X / Px = MU Y / Py = MU Z yang masing-masing ditunjukan dengan rasio MU X / Px = 3 MU Y / Py = 3 dan MU Z =3. Dari serangkain percobaan diatas dapatdiambil kesimpulan bahwa dengan pengeluaran pendapatan dijalan Allah tidak pernah mengurangi tingkat kepuasan sesorang.D. Permintaan dalam IslamSetelah mempelajari bagiamana pola prilaku konsumsi Islami maka tibalah, pada pembahasan mengenai bagaimana menurunkan pola tersebut pada teori permintaan. Fungsi permintaan suatu barang secara lengkap dapat ditulis sebagai berikut :QX = f ( PX, PY, T, I, E,)Dimana:QX = Total barang X yang dimintaPX = Harga dari barang XPY = Harga barang YT = Indeks selera dan preferensi konsumenI = Daya beli individu yang diwakili oleh pendapatanE =Ekspektasi (harapan) pembeli pada haraga dimasa depan, pendapatan dan ketersediaan produk XFungsi diatas mengandung arti berapakah quantitas barang X yang diminta dengan harga PX dengan batas anggaran sebesar I dan perlu diingat pula bahwa pembelian X juga sangat dipengaruhi oleh preferensi dan selera individu (T). Selanjutnya kita uji bagaimana perubahan faktor PX, PY, dan I dalam mempengaruhi keputusan individu dalam membeli barang X serta untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat menggeser kurva permintaan, dimana kurva permintaan didefinisikan representasi grafis dari hubungan antara harga suatu barang dengan kuantitas barang yang diminta oleh sesorang dengan mengasumsikan bahwa seluruh faktor lain tidak berubah.Untuk memperjelas masalah ini dapat diilustrasikan dengan garafis berikut ini:Gambar:6 menunjukan bagaimana menyusun atau mengkonstruksi kurva permintaan seseorang untuk barang X. Pada panel (a) peta kurva indeference individu digambarkan dengan menggunakan tiga kendala anggaran yang berbeda dengan harga X yang menurun. Penurunan harga ini adalah PX’, PX’’, PX’’’. Faktor-faktor ekonomi lain yang mempengaruhi posisi kendala anggaran (harga barang Y dan pendapatan) tidak berubah (asumsi cetris paribus berlaku). Dalam bentuk garfis, semua kendala ini memiliki intersep Y yang sama. Harga X yang semakin rendah berturut-turut memutar kendala anggran ini kekanan, dengan kendala anggaran terpisah ini, pilihan individu yang memaksimumkan utilitas X dinyatakan oleh X’,X’’, X’’’ tiga pilihan ini menunjukan bahwa kuantitas X yang diminta meningkat jika harga X turun.Informsi panel (a) pada gambar diatas dapat digunakan untuk mengkonstruksi kurva permintaan sebagaimana ditunjukan oleh panel (b). Harga barang X ditunjukan oleh sumbu vertikal, dan kuantitas yang dipilih secara kontinyu ditunjukan oleh sumbu horisontal, kurva permintaan (dX) memiliki slope menurun, yang menunjukan bahwa jika harga X turun, kuantitas X yang diminta akan meningkat. Sehingga bisa ditarik simpulan bahwa jika harga naik permintaan akan turun dan jika harga turun maka permintaan akan mengalami kenaikan atau yang selama ini dikenal dengan hukum permintaan (Demand Law).Ketepatan bentuk kurva permintaan ditentukan oleh efek pendapatan dan efek subtitudi yang terjadi saat harga barang X berubah. Kurva permintaan individu dapat memiliki slope yang landai ataupun curam, tergantung peta kurva indeference. Jika barang X adalah barang yang mudah untuk disubtitusikan maka kurva permintaan akan lebih landai atau kuantitas X yang dimunta dapat turun secara substansial sebagai respon kenaikan harga X misalnya: merek HP (Hand Phone) X, karena setiap merek HP memiliki banyak merek substitusi, maka setiap kenaikan harga X akan menyebabkan individu untuk menggantinya dengan merek lain yang lebih murah.Di lain pihak, kurva permintaan individu mungkin akan memiliki slope yang curam, dengan demikian harga tidak terlalu berpengaruh terhadap permintaan barang Y misalnya. Contohnya adalah 9 bahan pokok karena 9 bahan pokok adalah barang sangat dibutuhkan maka setiap kenaikan hanya berpengaruh sangat kecil terhadap jumlah permintaan. Untuk memperjelas kasus-kasus diatas kurva permintaan individu dapat digambarkan:Gambar 7:Disisi yang lain bagimanakah jika seorang individu muslim dihadapkan pada barang X halal tetapi harganya mahal ? untuk menjawab ini adalah bagaimana kasus diluar negeri dimana daging yang berlabel halal lebih mahal dari daging yang tanpa label halal namun hal ini tidak mempengaruhi permintaan individu, dengan kata lain individu muslim tetap membeli barang X berapapun harganya, sehingga yang mempengaruhi permintaan individu muslim adalah kadar keberkahan T (preferensi / selera) namun kasus diatas bisa diterima dengan syarat adanya X (halal) dan Y (haram) dan jika X dan Y halal hukum permintaan tetap diterima apa adanya. Dengan kata lain barang halal X adalah barang yang tidak mudah disubtitusikan atau kaku terhadap perubahan harga, sehingga kurva permintaan dari kasus ini adalah berbentuk curam:Gambar 8: Kurva Permintaan X halal terhadap kenaikan hargaKurva diatas menunjukan bagaimana perubahan harag PX terhadap permintaan barang X, pada kurva tersebut terlihat garis permintaan curam hal ini berarti kenaikan harga menyebabkan pergeseran quatitas dari X1 ke X2 namun perubahan tersebut tidak terlalu besar.Setelah mengetahui bagaimana pergerakan permintaan sepanjang garis batas permintaan yang diakibatkan oleh perubahan harga, maka sekarang kita akan menganalisis faktor-faktor apakah yang menyebabkan pergeseran garis batas permintaan tersebut, setidaknya ada tiga faktor penentu dari pergeseran kurva permintaan ini pertama pendapatan individu tersebut naik kedua kenaikan barang subtitusi (pengganti) ketiga selera konsumen pada barang tersebut berubah, secara lebih jelas bagaimana ketiga factor tersebut bergeser dapat dijelaskan dengan kurva berikut:Gambar: 9 Pergeseran kurva permintaan individuPanel (a) menunjukan efek pada barang X akibat kenaikan pendapatan. Dengan asumsi bahwa barang X adalah barang normal, kenaikan pendapatan menyebabkan lebih banyak permintaan untuk barang X untuk setiap harga, misalnya pada harga P1 kuantitas X yang diminta meningkat dari X1 ke X2 dan garis batas permintaan bergeser dari dx ke dx’. Pada panel (b) pergeseran garis batas permintaan diakibatkan oleh kenaikan barang subtitusi misalnya kopi (X) dan teh (Y) maka kenaikan harga teh (Y) maka konsumen akan segera beralih menambah konsumsinya pada kopi (X) sehingga permintaan kopi dari X1 ke X2. sedangankan pada panel (c) pergeseran garis batas permintaan akibat selera konsumen terhadap barang X naik, misalnya trend baju muslim maka pada harga barang yang sama P1 permintaan baju muslim bertambah dari X1 ke X2.Bagian IITeori Produksi dan Penawaran IslamPendahuluanPada bagian ini pembaca akan diajak untuk melakukan analisa bagaimana sikap dan prilaku produsen dalam menawarkan atau bagimanakah produsen menghubungkan anatara input dan output dengan menggunakan fungsi produksi. Dalam Islam prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi selanjutnya Mannan menyatakan “ dalam sistem produksi Islam konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas, konsep kesejahteraan Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang berfaedah melalui pemanfaatan sumber-sumber daya secara maksimum baik manusia maupun benda demikian juga melalui ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi” dari pernyataan Mannan diatas jelas menggambarkan aturan main produksi dalam Islam yakni selain produsen dapat mendapatkan laba yang diinginkan juga ada sebuah aturan bahwa barang yang diproduksi adalah barang yang benar-benar berfaedah dan sesuai dengan kebutuhan manusia sesuai denagan zamannya, hal senada juga dinyatakan oleh R.H Tawney seperti yang dikutip oleh Chapra “sebagian barang yang diproduksi setiap tahun dan yang digolongkan sebagai kekayaan, pada hakekatnya adalah kemubaziran, karena barang-barang itu terdiri atas barang yang memang benar terhitung sebagai pendapatan nasional, tetapi seharusnya tidak diproduksi sampai barang yang lain diproduksi dalam jumlah yang mencukupi, atau barang-barang tersebut tidak usah diproduksi”.Dari pernyataan-pernyataan diatas memberikan kerangka bagaimana prilaku produksi dalam Islam yang mencakup kedalam tiga hal yakni input, proses dan akhirnya output produksi yang masing-masing akan dibahas menggunakan kerangka ekonomi Islam.Memakni ProduksiDr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Pandangan Rawwas di atas mewakili beberapa definisi yang ditawarkan oleh pemikir ekonomi lainnya.Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini, Abdurrahman merefleksi pemikirannya dengan mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari manfaat memakai (memproduksi) khamr.Lain halnya dengan Taqiyuddin an-Nabhani, dalam mengantarkan pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab. An-Nabhani dalam bukunya an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam me-mahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan as-Sunnah. Sebab, Rasulullah Saw pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi Saw telah membuat cincin.” (HR. Imam Bukhari). Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi Saw. telah membuat cincin yang terbuat dari emas.” (HR. Imam Bukhari). Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah Saw telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atsnya.” (HR. Imam Bukhari). Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka. Status (taqrir) dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’.Penulis mempunyai keyakinan bahwa wilayah produksi tidaklah sesempit seperti apa yang dipegangi oleh kalangan ekonom konvensional yang hanya sekedar mengejar orientasi jangka pendek dengan materi sebagai titik acuannya dan memberikan peniadaan pada aspek produksi yang mempunyai orientasi jangka panjang. Selama ini yang kita fahami tetkala membaca teks-teks buku ekonomi konvensional tidak jarang ditemukan adanya telaah terhadap kegiatan sebuah perusahaan untuk melakukan produksi dengan mengacu pada faktor produksi yang dimiliki oleh setiap perusahaan tersebut. Misal, perusahaan A akan mencapai tingkat produksi yang maksimal jika didukung oleh faktor produksi semacam modal (C), tenaga kerja (L), sumber daya alam (R), dan teknologi (T) yang difungsikan pada posisi yang optimal. Dasar pemikiran yang dibangun dalam paradigma berfikir aliran konvensional dalam berproduksi adalah memaksimumkan keuntungan (maximizing of profit) dan meminimumkan biaya (minimizing of cost) yang pada dasarnya tidak melihat realita ekonomi yang prakteknya berdasarkan pada kecukupan akan kebutuhan dan market imperfection yang berasosiasi dengan imperfect information. Hasil dari pencapaian produksi yang dilakukan oleh perusahaan konvensional adalah keinginan untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang maksimal dengan cost (biaya) yang sedikit. Apa memungkinkan? Gambaran di atas merupakan realita nyata yang terjadi di tataran aplikatif untuk melaksanakan teori produksi yang diacukan pada pemikiran konvensional.Adapun aspek produksi yang berorientasi pada jangka panjang adalah sebuah paradigma berfikir yang didasarkan pada ajaran Islam yang melihat bahwa proses produksi dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang bersifat materi-keduniaan tetapi sampai menembus batas cakrawala yang bersifat ruhani-keakheratan. Orang yang senantiasa menegakkan shalat dan melakukan ibadah lainnya merupakan wujud dari nilai produktifitas yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Seseorang yang betul-betul melaksanakan shalat dengan benar berarti ia telah melakukan aktifitas yang produktif yang selanjutnya akan membawa pada nilai lebih dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.Keshalehan dan ProduksiAda sebuah permata dalam bukunya Dr. Monzer Kahf yang berjudul The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System yang menyebutkan bahwa ‘tingkat keshalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang dilakukannya’. Jika seseorang semakin meningkat nilai keshalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktifitas yang menurun.Sebuah contoh, seorang yang senantiasa terjaga untuk selalu menegakkan shalat berarti ia telah dianggap shaleh. Dalam posisi seperti ini, orang tersebut telah merasakan tingkat kepuasan batin yang tinggi dan secara psikologi jiwanya telah mengalami ketenangan dalam menghadapi setiap permasalahan kehidupannya. Hal ini akan berpengaruh secara positif bagi tingkat produksi yang berjangka pendek, karena dengan hati yang tenang dan tidak ada gangguan-gangguan dalam jiwanya ia akan melakukan aktifitas produksinya dengan tenang pula dan akhirnya akan dicapai tingkat produksi yang diharapkannya.Selama ini, kesan yang terbangun dalam alam pikiran kebanyakan pelaku ekonomi -apalagi mereka yang berlatar belakang konvensional- melihat bahwa keshaleh-an seseorang merupakan hambatan dan perintang untuk melakukan aktifitas produksi. Orang yang shaleh dalam pandangannya terkesan sebagai sosok orang pemalas yang waktunya hanya dihabiskan untuk beribadah dan tidak jarang menghiraukan aktifitas ekonomi yang dijalaninya. Akhirnya, mereka mempunyai pemikiran negatif terhadap nilai keshalehan tersebut. Mengapa harus berbuat shaleh, sedangkan keshalehan tersebut hanya membawa kerugian (loss) bagi aktifitas ekonomi? Sebuah logika berfikir yang salah dan perlu diluruskan. Pelurusan pemikiran tersebut akan membawa hasil jika diacukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, baik yang termaktub dalam al-Qur’an al-Karim ataupun as-Sunnah as-Shadiqah.Orientasi ProduksiKitab suci al-Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian yang luas. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan bukannya untuk mem-produksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif. Hal ini ditegaskan al-Qur’an yang tidak memperbolehkan produksi barang-barang mewah yang berlebihan dalam keadaan apapun.Namun demikian, secara jelas peraturan ini memberikan kebebasan yang sangat luas bagi manusia untuk berusaha memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi dalam memenuhi tuntutan kehidupan ekonomi. Dengan memberikan landasan ruhani bagi manusia sehingga sifat manusia yang semula tamak dan mementingkan diri sendiri menjadi terkendali.Di dalam QS. Al-Ma’arij [70]: 19, sifat-sifat alami manusia yang menjadi asas semua kegiatan ekonomi diterangkan: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”. Sifat loba manusia menjadikan keluh kesah, tidak sabar dan gelisah dalam perjuangan mendapatkan kekayaan dan dengan begitu memacu manusia untuk melakukan berbagai aktifitas produktif. Manusia akan semakin giat memuaskan kehendaknya yang terus bertambah, sehingga akibatnya manusia cenderung melakukan kerusakan di bidang produksi.Mengacu pada pemikiran as-Syatibi, bahwa kebutuhan dasar manusia harus mencakup lima hal, yaitu terjaganya kehidupan beragama (ad-din), terpeliharanya jiwa (an-nafs), terjaminnya berkreasi dan berfikir (al-‘aql), terpenuhinya kebutuhan materi (al-mal), dan keberlangsungan meneruskan keturunan (an-nasl). Maka orientasi yang dibangun dalam melakukan produksi adalah tindakan yang seharusnya dilakukan oleh setiap pelaku ekonomi muslim dalam mengarahkan kegiatan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang lima tersebut. Jika kita gambarkan dalam bentuk bagan adalah sebagai berikut:Gambaran di atas memberikan pemahaman pada kita bahwa orientasi yang ingin dicapai oleh proses produksi menjangkau pada aspek yang universal dan berdimensi spiritual. Inilah yang menambah keyakinan bagi kita akan kesempurnaan ajaran Islam yang tertulis dalam QS. Al-Maidah [5]: 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. Tidak ada keraguan bagi seorang muslim untuk memberikan kebenaran bagi ajaran Allah Swt yang ada dalam al-Qur’an al-Karim.Penawaran Islamhttp://nuraini69.blogspot.com/